c

Selamat

Sabtu, 4 Mei 2024

EKONOMI

31 Desember 2022

18:00 WIB

Menanti Pelangi Setelah Badai Pergi

Jika mau selamat dari tech winter saat ini, perusahaan startup harus berorientasi profit, bukan sekadar mengandalkan valuasi dan memperdagangkan potensi

Penulis: Yoseph Krishna,Fitriana Monica Sari,Nuzulia Nur Rahma,

Editor: Fin Harini

Menanti Pelangi Setelah Badai Pergi
Menanti Pelangi Setelah Badai Pergi
Ilustrasi Start Up. Envato/Rawpixel

JAKARTA – Tahun 2020 dan 2021 menjadi tahun yang bersahabat bagi bisnis rintisan atau startup teknologi. Berbagai pembatasan aktivitas demi mengerem laju penularan wabah membuat layanan online jadi andalan.

Pada saat bisnis offline yang mengandalkan pertemuan langsung meriang bahkan tumbang, kinerja startup justru membuncah seiring dengan melonjaknya pertumbuhan pengguna. Pandemic winner, begitu banyak orang menyebut bisnis startup kala itu.

Sayangnya, pesta tak berlangsung lama. Pada 2022, ketika pandemi mulai mereda, cerita sebaliknya justru harus ditelan mentah-mentah oleh startup. Dari pandemic winner, startup teknologi dilanda awan mendung, datangnya tech winter.

Satu persatu, sejumlah startup mulai angkat tangan. Pengurangan karyawan pun terpaksa jadi pilihan demi bertahan. Pengurangan karyawan bisa berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pemberhentian sementara (hiring freeze) untuk beberapa pekerja.

Kondisi ini tak terlepas dari tidak ada angka pertumbuhan secara finansial yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Kalau pun ada, pertumbuhan bisnis tidak agresif, malah mengarah pada kerugian.

Dilansir dari Trueup, sepanjang tahun berjalan, sudah terjadi sebanyak 1.503 kasus PHK yang dilakukan oleh startup di seluruh dunia. Tech winter bahkan telah memakan korban hingga 235.639 karyawan terkena PHK.

Di Indonesia, Shopee Indonesia hingga Shipper menjadi salah satu dari sekian banyak startup yang melakukan PHK. 

Sementara itu, JD.ID dan Tokocrypto mengumumkan efisiensi karyawan untuk dua kali dalam setahun terakhir.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menguraikan sejumlah biang kerok yang membuat badai PHK melanda banyak startup. 

Menurutnya, gelombang PHK digital disebabkan oleh tekanan makro-ekonomi yang cukup berat paska pandemi, mulai dari kenaikan inflasi, tren penyesuaian suku bunga, pelemahan daya beli, risiko geopolitik, dan model bisnis yang berubah signifikan.

“Paska pandemi awalnya diharapkan akan terjadi kenaikan jumlah user dan profitabilitas layanan yang kontinu. Sebaliknya, harapan mulai pupus ketika konsumen terutama di Indonesia dan negara Asia Tenggara berhadapan dengan naiknya inflasi pangan dan energi sekaligus. Sehingga mengurangi pembelian barang dan jasa melalui layanan platform digital,” ungkapnya kepada Validnews, Sabtu (24/12).

Rendah Profitabilitas
Bhima menjelaskan, hampir sebagian besar startup yang melakukan PHK massal adalah startup yang disebut sebagai ‘Pandemic Darling’ atau perusahaan yang meraup kenaikan Gross Merchandise Value (GMV) selama puncak pandemi 2020-2021. Karena valuasinya tinggi, mereka dipersepsikan mudah cari pendanaan baru.

Namun fakta berkata lain. Agresivitas perusahaan digital dalam berekspansi yang kadung jadi andalan selama ini, ternyata tak sebanding dengan pencarian dana baru dari investor. 

Banyak investor mulai menyadari dan menarik diri. Mereka pun menjauhi perusahaan dengan valuasi tinggi, tapi rendah profitabilitas, atau model bisnisnya tidak berkelanjutan.

Fenomena overstaffing atau melakukan rekrutmen secara agresif, kata Bhima, juga jadi salah satu penyebab akhirnya PHK massal terjadi. Banyak founder dan CEO perusahaan yang terlalu optimis.

Padahal, setelah pandemi reda, masyarakat lebih memilih omnichannel, bahkan secara penuh berbelanja di toko offline. Hanya pembayaran saja yang menggunakan digital/mobile banking. Transaksi, tetap dilakukan secara offline.

“Akibat overstaffing biaya operasional membengkak, dan menjadi beban kelangsungan perusahaan digital,” terangnya.

Perubahan regulasi pun, sambungnya, punya efek terhadap kelanjutan lini bisnis raksasa digital, terutama di bidang keuangan. Sejak adanya standardisasi QRIS, banyak pengguna dompet digital yang kembali ke mobile banking.

Nah, beberapa perusahaan tidak mengantisipasi adanya perubahan cara main (level of playing field) dari regulasi, sehingga menekan berbagai prospek pertumbuhan.

Pendanaan Cekak
Disrupsi pasca pandemi, diperparah dengan adanya kenaikan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat (AS). Hal ini membuat para pemodal beralih mencari margin dari suku bunga, ketimbang menanamkan dananya di startup. Tak heran, pendanaan buat startup pun kering, termasuk di Indonesia.

Kepada Validnews, Jumat (30/12), Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda mengungkapkan, investasi di sektor digital di Indonesia pada 2021 mencapai Rp144,06 triliun. 

Pada tahun ini, banyak perusahaan startup yang memperoleh pendanaan dengan nilai besar, untuk kemudian digunakan berekspansi, termasuk menambah sumber daya manusia (SDM).

Namun, tahun berganti, pada 2022, nilai investasi di sektor digital hingga November 2022, tinggal Rp53,58 triliun.

“Kenaikan suku bunga acuan yang menaikkan cost of fund dari investasi membuat investor enggan berinvestasi dengan tingkat suku bunga yang tinggi. Akibatnya, nilai investasi terus merosot. Yang terjadi adalah PHK untuk efisiensi perusahaan,” kata Huda.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Johnny G Plate mengamini. Dia mengatakan, fenomena tech winter saat ini tengah melanda sektor ekonomi digital dunia. 

Tercermin dari tren penurunan aliran pendanaan startup digital di wilayah Asia sebesar 60% secara tahunan (year- on-year/yoy), dan 33% secara quarter-to-quarter (qtq) pada triwulan III-2022.

Lebih lanjut, berdasarkan laporan CB Insights, nilai pendanaan startup di skala global pada kuartal III- 2022 mencapai US$74,5 miliar. Anjlok 54,57% (yoy) jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$164 miliar.

Jumlah kesepakatan pendanaan pada kuartal III-2022 pun turut merosot 19,52% (yoy), dari 9.862 kesepakatan menjadi 7.936 kesepakatan.

Ketua Umum Indonesia E-Commerce Association (idEA) 2018-2020 sekaligus Penasihat idEA Ignatius Untung menyebut, pendanaan pada startup sejatinya sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan bisnisperusahaan. Ini lantaran siklus startup dan bisnis pada umumnya berbeda.

Pada usaha konvensional atau non teknologi, biasnya orang mencoba dari kecil dahulu, kemudian dapat profit, baru memperbesar skal usaha.  

Sementara untuk startup, profit bukan tujuan di awal karena lebih dulu mengutamakan pertumbuhan pengguna yang dikuantifikasi menjadi valuasi.

Bisa dibilang, di awal, startup hanya didesain untuk ‘bakar uang’, demi mendapatkan potensi yang bisa dinikmati nanti. Uniknya, ‘potensi’ ini dimonetisasi sedemikian rupa untuk bisa diperdagangkan. 

Tak heran, ketika uang investasi dari investor habis untuk berinvestasi dan jor-joran promosi, mereka butuh suntikan modal lagi.

“Penyebab PHK pada startup ada dua. Tidak bisa dipungkiri, ada venture capital yang memang bisnisnya dari beli perusahaan masih kecil terus membesar (potensi). Giliran membesar dijual, dia out. Keluarnya biasa di tengah. Walaupun ada juga investor yang masuk dan bertahan sampai profit, dan perusahaan tidak perlu fundraising lagi,” jelasnya saat dihubungi Validnews, Rabu (21/12).

Dia menampik pendapat yang mengatakan, terjadinya PHK di industri startup digital karena adanya missmanagement. Pasalnya, mengejar top line, revenue, pertumbuhan, baru profit belakangan, sudah menjadi kesepakatan antara manajemen dengan investor.

”Jadi bukan missmanagement. Karena tidak ada startup yang dapet investasi dari investor yang melakukan sesuatu tanpa diawasi investornya. Jadi, bukan berarti setelah dapat investasi dari investor terus bebas semaunya, itu diawasi investor,” tuturnya.

Ignatius menuturkan, investor sendiri terbagi menjadi beberapa macam tipe. Ada investor yang membeli perusahaan pada fase tertentu, kemudian dikembangkan dan dijual. 

Ada pula investor yang tidak membutuhkan profit, karena banyak startup yang dibeli investor lain tidak semuanya sudah profit.

Biasanya, mereka akan melihat pertumbuhan bisnis perusahaan, sehingga nilai investasi cepat dan bisa berkali lipat. Oleh karena itu, Ignatius berpesan agar startup harus bisa membuat profit. Dengan demikian, perusahaan dapat terus berjalan dan dapat bertahan di tengah badai tech winter.

Antisipasi Resesi
Senada Ignatius, East Ventures menjelaskan, startup memang dirancang untuk tidak menghasikan profit sejak hari pertama. Diperlukan waktu sejak hari pendapatan investasi untuk melakukan desain produk, akuisisi pelanggan, dan menemukan produk yang sesuai dengan pasar (product market fit).

Garis waktu menuju profitabilitas juga berbeda. Beberapa startup mungkin lebih cepat, dan beberapa lainnya mungkin membutuhkan lebih banyak waktu. 

Oleh karena itu, ada banyak tahapan pendanaan untuk startup ini dengan tujuan utama mencapai profitabilitas.

“Beberapa startup telah melakukan beberapa perencanaan mengenai waktu untuk menggalang pendanaan. Namun, beberapa faktor eksternal yang berubah dengan cepat, di mana jatuhnya pasar publik (public market) di Amerika, telah mempengaruhi nilai valuasi perusahaan secara keseluruhan. Terutama para startup Indonesia yang pada umumnya membandingkan valuasi dengan pasar publik di Amerika,” kata Managing Partner at East Ventures, Roderick Purwana kepada Validnews, Minggu (18/12).

Seperti yang diketahui, belakangan perekonomian dunia tengah disibukkan oleh upaya mengantisipasi resesi. Kenaikan suku bunga, inflasi tinggi, dan perang Rusia-Ukraina, yang mengakibatkan gangguan rantai pasokan, pengetatan regulasi startup di China, dan penjualan besar-besaran saham teknologi di Amerika jadi isu yang mencuat.

Hal-hal itu, disebutnya, membuat investor tahap lanjut semakin takut membayar valuasi tinggi. Ini juga mempengaruhi suku bunga dan membuat modal yang tidak tersalurkan. 

Muncul juga denominator effect yang membuat investor berhenti berinvestasi di startup yang memiliki valuasi lebih tinggi dari pasar publik.

Sementara faktor internalnya, Indonesia mengalami akselerasi digital dalam dua tahun terakhir karena pandemi covid-19, sehingga banyak startup yang terlalu percaya diri dan tidak hati-hati dalam mengatur pengeluarannya. 

Beberapa dari mereka beranggapan, percepatan yang terjadi akan berlangsung terus menerus. Sampai mereka menemui realita, terdapat perbedaan antara harapan dan kenyataan.

“Hal-hal tersebut menyebabkan perusahaan mungkin perlu mengalami efisiensi karena uang menjadi ’lebih pintar’ atau ’sulit’ didapat, dan tentunya efisiensi diambil sebagai pilihan yang paling sulit dan terakhir untuk memastikan keberlangsungan operasi perusahaan secara keseluruhan,” ungkapnya.

Meski begitu, Roderick menegaskan, ke depan bukan berarti investasi startup akan loyo. East Ventures justru melihat ada perkembangan yang sangat positif dari startup di Indonesia dan Asia, terutama Asia Tenggara. 

Pada kuartal III-2022, misalnya, East Ventures telah melakukan lebih dari 80 pendanaan untuk startup di Asia Tenggara.

“Di East Ventures sendiri, kami telah menyelesaikan lebih dari 80 deal per kuartal III-2022, di mana sebenarnya angka ini sudah setara dengan jumlah pendanaan yang kami berikan pada tahun 2021,” ujar Roderick bangga.

Menurut Roderick, perusahaan melakukan beberapa startegi dalam menghadapi kondisi krisis. 

Pada masa pandemi covid-19, misalnya, perusahaan mengambil langkah proaktif untuk memastikan keberlangsungan portofolio, pendiri, dan karyawan dalam melewati masa sulit ini.

Kemudian di tengah ketidakpastian geopolitik, inflasi yang meningkat, dan kenaikan suku bunga, perusahaan tetap optimistis terhadap hambatan sekuler berupa pertumbuhan pendapatan menengah, pola konsumsi yang kuat, dan peningkatan teknologi.

East Ventures sendiri telah berinvestasi di Asia Tenggara selama lebih dari satu dekade melalui siklus ekonomi.

”Kami percaya prospek jangka panjang untuk ekonomi digital masih sangat bagus. Karena infrastruktur digital sudah ada, penetrasi internet yang terus meningkat, dan pengalaman para founders menghadapi krisis sebelunya telah ada. Hal tersebut menjadi fondasi kita untuk terus menavigasi dan melewari krisis apapun kedepannya,” tuturnya.

Masih Ada Potensi
Ignatius juga melihat potensi yang masih sangat besar untuk perkembangan startup di Indonesia dan Asia ke depan. Bahkan menurutnya, kondisi saat ini justru lebih menarik karena pertumbuhan perusahaan startup jadi lebih sehat.

“Kemarin kan yang dikejar top line, revenue-nya naik, pertumbuhan bisnis berkali-kali lipat bahkan tanpa profit. Nah, dengan situasi sekarang, semua startup dituntut untuk profit, jadi bisnisnya lebih real, lebih sehat,” cetusnya.

Meski demikian, dia mengaku tidak dapat memprediksi badai PHK pada 2023 masih akan berlanjut atau tidak. 

Namun dirinya optimistis PHK pada tahun depan bisa saja tidak terjadi, mengingat Indonesia masih memiliki pertumbuhan ekonomi yang bagus.

Berbeda dengan Ignatius, Bhima meyakini gelombang PHK diperkirakan terus terjadi di berbagai perusahaan layanan digital lainnya. Mulai dari Fintech, Edutech, Healthtech tak luput dari ancaman ini.

“Tahun 2023, kondisi ekonomi dengan adanya ancaman resesi global, membuat persaingan pencarian dana dari investor semakin ketat,” ungkapnya.

Oleh karena itu, menurutnya, founder maupun CEO perusahaan digital, harus bersiap menghadapi tekanan yang lebih besar.

Regulasi Khusus
Selain persiapan dari perusahaan, Bhima meminta agar pemerintah turun tangan memastikan korban PHK, baik karyawan tetap maupun karyawan kontrak yang diputus masa kerjanya, mendapatkan hak-hak sesuai peraturan ketenagakerjaan.

Karena skala PHK-nya masif, dia menilai Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) harus membuat posko untuk menampung apabila ada hak pekerja yang tidak dibayar penuh, maupun ditangguhkan seperti pesangon dan sebagainya.

Pemerintah, lanjutnya, juga perlu mempersiapkan lapangan kerja baru. Dia memberikan contoh, korban PHK startup dapat diserap ke anak cucu BUMN. 

Hal ini untuk menghindari hysteresis atau pelemahan keahlian, lantaran korban PHK digital yang notabene adalah high-skill worker (keahlian tinggi) menganggur terlalu lama. 

Padahal, Indonesia sendiri diperkirakan masih memiliki kekurangan  9 juta tenaga kerja di ekosistem digital.

Tak sampai disitu, Bhima pun menyarankan agar pemerintah mulai mengatur model bisnis e- commerce dan ride-hailing yang melakukan promo dan diskon secara besar-besaran hanya sekadar untuk mempertahankan market share

Karena dampaknya, persaingan usaha sektor digital menjadi kurang sehat.

“Konsumen baru mungkin akan tergoda promo, tapi untuk terus menerus melakukan promo, sebenarnya suicide mission (misi bunuh diri) bagi startup. Ketika pendanaan berkurang, sementara yang dikejar hanya valuasi, maka promo dan diskon menjadi jebakan keuangan. Harusnya perusahaan digital lebih mendorong perlombaan fitur yang memang dibutuhkan oleh konsumen,” pungkas Bhima.

Sepakat, Ignatius juga meminta pemerintah segera membuat regulasi yang mengatur predatory pricing. Sebab, menurut dia, predatory pricing hanya menguntungkan orang atau perusahaan yang punya uang besar.

“Ketika tidak diatur, akhirnya market akan dikuasai kapitalis. Perusahaan yang punya modal besar akan menguasai. Mereka bisa set harga di bawah harga pasaran, meski rugi sekalipun. Tujuannya untuk memenangkan market dengan cara pemain lain mati dan keluar dari pasar. Lalu dia memonopoli dan menetapkan harga semaunya,” tandasnya.

So, asal bersiap diri, selalu ada potensi munculnya pelangi setelah badai pergi. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar