11 Juli 2024
20:27 WIB
Menanti Daerah Hidup Mandiri
Untuk menciptakan daerah mandiri, maka pemerintah daerah (pemda) wajib meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di wilayah masing-masing. Tak hanya berharap suntikan dari pusat.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan paparan saat Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Keuangan Daerah Tahun 2022 Kemendagri di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (2/6/2022). Antara Foto/Asprilla Dwi Adha
JAKARTA - Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 mengamanatkan adanya pemerataan pembangunan. Salah satunya lewat penyelesaian ketimpangan untuk mencapai salah satu Visi Indonesia Emas 2045, yakni kemiskinan menuju 0% dan ketimpangan berkurang.
Namun pada 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kemiskinan perdesaan masih mencapai 12,22%, jauh di atas persentase kemiskinan perkotaan yakni sebesar 7,29%. Untuk itu, demi mewujudkan pembangunan yang merata, tidak hanya perlu mereduksi pengurangan ketimpangan antara wilayah barat dengan wilayah timur Indonesia. Akan tetapi juga, menekan ketimpangan antara perkotaan dan pedesaan.
Dalam hal ini, Indeks Kemandirian Fiskal Daerah (IKFD), bisa menjadi gambaran untuk mengetahui seberapa besar kemampuan suatu daerah dalam membiayai belanja daerah tanpa tergantung pada pendapatan transfer.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, pasal 280 ayat (1) huruf a, Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan pengelolaan keuangan daerah secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
Kemandirian Fiskal Pemerintah Daerah yang dirilis pada Mei 2021 untuk hasil tahun 2020 menunjukkan, sebagian besar pemda masuk dalam kategori “Belum Mandiri”. Hal ini dapat diketahui dengan menghitung rasio antara pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan.
Kinerja fiskal daerah terlihat dari banyaknya daerah mengalami kontraksi belanja yang terjadi secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Ini menunjukkan, sebagian besar daerah mengalami pertumbuhan negatif untuk belanja daerah.
Menurut laporan Indeks Kemandirian Fiskal (IKF) Daerah dari reviu yang dilakukan atas 503 pemda dari total 542 pemda, tercatat, mayoritas IKF 503 pemda yang dianalisis masih berstatus Belum Mandiri (443 pemda atau 88,07%). Disusul status Menuju Kemandirian (50 pemda atau 9,94%), kemudian status Mandiri (10 pemda atau 1,99%).
Laporan tersebut menyatakan, pada tahun 2020 tidak terdapat pemda yang berstatus Sangat Mandiri karena Kabupaten Badung, Bali yang selama kurun 2013-2019 menjadi satu-satunya pemda yang memperoleh status ini mengalami penurunan status menjadi Mandiri. Sejak Tahun 2013 hingga 2020 Status IKF mayoritas pemda yang dianalisis memiliki tren datar, flat/tidak mengalami perubahan status).
Pemda dengan tren status datar masih didominasi oleh pemda dengan status Belum Mandiri (433 pemda atau 92,52%) disusul pemda dengan status Menuju Kemandirian (28 pemda atau 5,98%) dan pemda dengan status Mandiri (tujuh pemda atau 1,50%).
Sementara itu, menurut peta kapasitas fiskal daerah tahun 2023, dari total 508 Kabupaten dan Kota di Indonesia yang diukur, 103 di antaranya mendapat predikat sangat tinggi sedangkan 70 di antaranya menyandang predikat sangat rendah. Kondisi tergambar dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 193/PMK.07/2022 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah.
Sebagai informasi, kapasitas fiskal daerah sendiri adalah kemampuan keuangan masing-masing daerah yang dicerminkan melalui pendapatan daerah, dikurangi dengan pendapatan yang penggunaannya sudah ditentukan dan belanja tertentu.
Besaran kapasitas fiskal daerah pada suatu daerah, dibagi dengan rata-rata kapasitas fiskal daerah untuk menghitung indeks kapasitas fiskal daerah (IKFD). Berdasarkan IKFD itu, daerah dikelompokkan menjadi 5 kategori kapasitas fiskal daerah. Mulai rentang sangat rendah sampai sangat tinggi.
Hambatan Menjadi Daerah Mandiri
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengungkapkan bahwa terdapat lima tantangan utama mengapa suatu daerah mengalami kesulitan menyandang status mandiri. Pertama, hambatan dari segi level kebijakan.
Direktur Eksekutif KPPOD Herman Nurcahyadi Suparman menjelaskan, Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD) yang mengatur pajak retribusi dan transfer ke daerah, masih menjadi masalah. KPPOD melihat masalah besar di undang-undang tersebut, yakni hanya menguntungkan daerah dengan potensi sektor jasa dan perdagangan.
"Undang-undang ini sangat menguntungkan daerah-daerah yang punya keunggulan di sektor jasa dan perdagangan," kata dia kepada Validnews, Selasa (9/7).
Herman mencontohkan, daerah-daerah pusat pariwisata seperti Bali dengan pajak-pajak yang ada di bawah kewenangan kota dan provinsi, terutama dengan karakter jasa dan perdagangan seperti restoran, hotel, hiburan sangat diuntungkan.
Sebaliknya, daerah-daerah lain yang tidak mempunyai keunggulan seperti Bali, sangat susah untuk meningkatkan kemandirian fiskal dari pajak dan retribusi daerahnya. “Itu yang kami lihat gitu, ya,” ucap Herman.
Hambatan kedua, yaitu level administrasi atau proses pemungutan pajak. Menurut catatan KPPOD, masih banyak daerah-daerah yang memiliki potensial yang sangat besar dari pajak dan retribusi, tapi karena ketiadaan data, kemudian sistem pemungutannya masih manual. Ini membuat potensi-potensi tadi tidak bisa dioptimalkan.
"Jadi itu layer kedua yang kami lihat persoalannya ya. Kami selalu mendorong pemerintah daerah itu, kan sekarang kita lagi ramai-ramainya dengan upaya digitalisasi jadi proses digitalisasi pemungutan pajak itu benar-benar dioptimalkan," ucapnya.
Hambatan ketiga, Herman menyebut ini tidak terkait langsung dengan fiskal. Namun, menurutnya, hal ini sangat mendukung peningkatan kemandirian fiskal daerah, yakni kebijakan-kebijakan terkait seperti kemudahan dan juga kepastian perizinan berusaha.
Dia berpandangan, daerah-daerah yang memiliki inovasi terkait perizinan berusaha biasanya membuat para pelaku usaha, terutama UMKM dan sektor-sektor terkait bisa bertumbuh. Dengan adanya kemudahan dan juga kepastian pelayanan perizinan usaha, sambungnya, pada gilirannya bisa meningkatkan pajak dan retribusi daerah.
Keempat, Herman mengungkapkan, terdapat satu kebijakan yang cukup menarik yang diatur dalam UU HKPD, yakni insentif fiskal. Dari catatan KPPOD, dalam kajian yang pernah dilakukan, ketika daerah berani menerapkan insentif fiskal kepada perangkat pelaku usaha, dalam waktu 2-3 tahun ke depan bisa berdampak dengan penerimaan retribusi daerahnya.
Hambatan terakhir, KPPOD menyebut kualitas sumber daya manusia juga menjadi tantangan kemandirian suatu daerah.
"Kita selalu bicara SDM juga. SDM, terutama bagaimana kualitas SDM, misal para pemungut pajak di daerah itu, itu juga bisa mampu menunjang performa penerimaan pajak di daerah gitu," kata Herman.
Peningkatan PAD
Kepada Validnews, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Lucky Ali Firman mengatakan, untuk menciptakan daerah mandiri maka pemerintah daerah (pemda) harus meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di wilayah masing-masing. Dia meyakini, semakin tinggi PAD, maka kapasitas fiskal daerah semakin baik.
"Mandiri itu salah satu ukurannya ialah PAD yang meningkat. Tugas kita adalah bagaimana kita gunakan PAD itu untuk mendorong pemda lebih mandiri lagi. Meningkatkan PAD-nya, itu yang kita dorong terus," ujar Lucky seusai rapat bersama Badan Anggaran DPR RI, Selasa (9/7).
Luky mengatakan, saat ini salah satu tantangan dan kesulitan suatu daerah mencapai predikat mandiri karena PAD itu sendiri. Sejauh ini, dia mengungkapkan Kementerian Keuangan sudah memberikan bimbingan kepada Pemda terkait pentingnya pertumbuhan PAD, misalnya lewat pajak yang harus dikembangkan.
"Karena retribusi tersebut (pajak) sudah jelas aturannya," ujar dia.
Di samping itu, kemandirian terkait PAD ini menurutnya juga bergantung pada faktor eksternal. Misalnya saja jika ekonomi nasional dan global membaik, PAD juga bisa ikut membaik. Selain itu, ekonomi setiap daerah memiliki karakteristik dan sumber penghasilan yang berbeda-beda, ini tergantung dari bagaimana mata pencaharian daerah itu sendiri.
"Seperti tambang misalnya. Kalau misalnya ditanya kemandirian itu adalah, kita dorong PAD-nya," imbuhnya.
Meski tidak menyebutkan berapa jumlah daerah yang telah berstatus mandiri, Luky memberi gambaran sejauh ini pihaknya melihat PAD pemda dari tahun ke tahun terus membaik, meskipun beberapa di antaranya masih bergantung pada transferan pemerintah pusat.
"Kalau PAD, kita kan sudah membaik terus. Tetapi kalau ditanya sudah ada perbaikan, tentu sudah ada perbaikan. Saya tidak ingat angkanya. Tapi gini, salah satu ukurannya yaitu angka dari PAD nanti liat saja angkanya, pada meningkat, itu sudah pada positif," kata Luky.
Dengan begitu, menurutnya, pembangunan daerah dapat terus dijalankan sesuai dengan rencana dan target yang telah ditetapkan. PAD yang kuat, kata Lucky, dapat membuat daerah tidak terpengaruh terhadap dinamika fiskal di tingkat pusat sehingga lebih mandiri.
“Dengan meningkatnya PAD, pemda relatif tidak bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat,” ujarnya.
Bantuan Pemerintah Pusat
Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) menyatakan, untuk menuju daerah mandiri, peran dari TKD (transfer ke daerah) menjadi krusial dan bisa membantu daerah khususnya yang tergolong belum mandiri.
Direktur Eksekutif Apkasi Sarman Simanjorang menjelaskan, dalam mengelola TKD, pihaknya mengadakan Apkasi Procurement Network. Ini, kata Sarman, memiliki dua peran, pertama adalah bagaimana penyerapan anggaran agar bisa tepat waktu dan tepat sasaran. Kedua, dapat membantu dalam kerangka untuk mendukung program pemerintah. Yaitu, agar produk Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
"Belanja APBN, APBD itu, dia mengutamakan produk Indonesia. Bagaimana tadi yang disampaikan oleh Pak Presiden. Ya karena itu juga masih cukup-cukup rendah dalam hal ini," kata dia kepada Validnews, Rabu (10/7).
Sarman menyebut, TKD bisa membantu untuk mendukung kapasitas fiskal daerah yang rendah agar bisa naik. Dia juga mendorong agar penggunaan TKD digunakan sebaik baiknya.
"Misalnya tadi bagaimana agar bupati-bupati ke depan itu lebih kreatif. Memanfaatkan berbagai keunggulan-keunggulan yang ada di daerahnya. Supaya para kepala daerah kita ini ke depan jangan bergantung hanya dari mengharap terus dari dana transfer dari pusat," ucap dia.
Lebih lanjut, dia mengimbau agar kepala daerah juga bisa menggerakkan investasi di daerahnya masing-masing. Yaitu, dengan memanfaatkan keunggulan daerah agar bisa menjadi peluang bisnis sehingga mampu meningkatkan pendapatan asli daerah.
Meski begitu, ia juga menekankan, untuk meningkatkan PAD, pemerintah daerah juga perlu membangun SDM nya agar lebih maju lagi. Ini diperlukan untuk membentuk pengatur daerah agar lebih baik dan produktif.
"Dari sisi sumber daya manusia, dari sisi sistem, dari sisi sosialisasi, dari sisi pembinaan. Saya rasa ini menjadi tugas kita bersama dan Apkasi akan selalu konsisten untuk memperbaiki itu," kata Sarman.
Bagaimana Dengan Jakarta?
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) DKI Jakarta menunjukkan, daerah ini sudah mencapai status sebagai pemda yang mandiri.
"Pendapatan Asli Daerah mengalami peningkatan setiap tahunnya, walaupun terjadi penurunan pada tahun 2020 yang dikarenakan adanya Pandemi Covid-19 dan kembali meningkat di tahun selanjutnya," kata Kepala Bapenda Provinsi DKI Jakarta Lusiana Herawati dalam keterangan tertulis, Rabu (10/7).
Jika diselisik lebih lanjut, data menunjukkan jumlah PAD Jakarta pada tahun 2022 sebesar Rp45,6 triliun. Angka ini naik dibandingkan pada tahun 2021 yang sebesar Rp41,6 triliun dan pendapatan pada tahun 2020 sebesar Rp37,4 triliun.
Lusiana bilang, dalam meningkatkan pendapatan daerah pihaknya melakukan beberapa upaya. Misalnya saja dari segi pajak daerah dan retribusi daerah. Pemprov DKI telah melakukan perubahan dan penyempurnaan peraturan terkait Pajak Daerah sebagai amanat UU HKPD N0. 1 Tahun 2022, serta melakukan strategi peningkatan pajak dan retribusi daerah.
Untuk intensifikasi pajak daerah misalnya, pemprov melakukan pengembangan digitalisasi pelayanan pemungutan pajak daerah, pemutakhiran dan penyempurnaan data subjek dan objek pajak daerah, pemeriksaan terhadap wajib pajak self assessment serta banyak lainnya.
Sementara itu, untuk ekstensifikasi pajak daerah, dilihat dari pertumbuhan kendaraan bermotor baru, pertumbuhan penjualan properti meningkat, stabilitas harga bahan bakar minyak (BBM) dan pengukuhan wajib pajak baru berdasarkan pendataan. Lusiana mengatakan, pencapaian PAD DKI Jakarta yang cukup besar ini memiliki pengaruh yang besar terhadap Indeks Kemandirian Fiskal Daerah.
"Iya sangat berpengaruh. Berdasarkan Peringkat Lima Besar data Indeks Kemandirian Fiskal Daerah (IKFD) DKI Jakarta memiliki Angka indeks sebesar 0,7107 dengan kriteria Mandiri," kata dia.
Dia menjelaskan, dalam menentukan indeks kapasitas fiskal daerah, pendapatan dan belanja merupakan faktor penentu dalam pengukuran IKFD. Oleh karena itu, Lusiana menilai, upaya-upaya yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta dalam mengoptimalkan PAD memberikan dampak yang positif ke dalam angka Indeks Kemandirian Fiskal Daerah.
"Semakin tinggi PAD yang berhasil diperoleh maka hal tersebut akan semakin meningkatkan indeks KFD dan juga berlaku sebaliknya," ucap Lusiana.