c

Selamat

Kamis, 25 April 2024

EKONOMI

19 Oktober 2021

20:50 WIB

Menakar Optimisme Transisi Ke Energi Bersih

Iklim investasi sektor EBT di Indonesia harus diperbaiki. Ketidakpastian dan hambatan terkait perizinan yang bisa membuat proyek dieksekusi lamban, harus dihilangkan

Penulis: Rheza Alfian,Yoseph Krishna,Zsasya Senorita,Khairul Kahfi,

Editor: Faisal Rachman

Menakar Optimisme Transisi Ke Energi Bersih
Menakar Optimisme Transisi Ke Energi Bersih
Petugas mengecek panel surya di Kampung Wejim Timur, Distrik Kepulauan Sembilan, Kabupaten Raja Ampa t, Papua Barat, Rabu (3/2/2021). ANTARAFOTO/Olha Mulalinda

JAKARTA – Semangat beralih ke energi bersih belakangan makin digaungkan di Indonesia. Isu pemanasan global, masih menjadi alasan utama dunia internasional untuk mengurangi emisi karbon yang lepas ke udara.

Pemerintah Indonesia sendiri sudah berjanji untuk aktif menurunkan tingkat emisi. Pada pertemuan Conference of the Parties (COP) ke-21 yang diselenggarakan di Paris medio 2015, Presiden Joko Widodo menyampaikan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% atau 834 juta ton CO2 pada 2030 mendatang. Kesepakatan ini lebih populer dengan sebutan Paris Agreement.

Sektor energi pun kebagian tugas ‘berat’ untuk membenahi kegiatan bisnisnya. Maklum, sektor usaha ini memang menjadi penyumbang emisi terbesar, yakni 43,83% di atas sektor transportasi (24,64%), serta industri manufaktur dan konstruksi (21,46%).

Jika dirinci lebih jauh berdasarkan data inventarisasi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Tahun 2020 yang dibuat Kementerian ESDM, penyumbang emisi GRK terbesar sektor energi adalah pembangkit listrik, terutama yang dihasilkan dari pembakaran batu bara.

Dari target penurunan emisi sebanyak 29% pada 2030, sektor energi diminta menghilangkan 314 juta ton CO2 emisi dari kondisi business as usual. Demi mencapai target tersebut, Pemerintah Indonesia meramu berbagai cara untuk perlahan menggantikan penggunaan batu bara dalam mata rantai produksi listrik.

Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021–2030 pun lahir, dengan klaim ‘berpihak pada energi hijau’. Merujuk RUPTL tersebut, pemerintah berencana menambah pengembangan pembangkit EBT sebesar 20,92 GW dalam 10 tahun ke depan dengan potensi investasi mencapai Rp781 triliun.

Tambahan Pembangkit EBT mendominasi porsi sebesar 51,6% dari total tambahan pembangkit RUPTL 2021–2030. Dalam rangka mencapai target penambahan pembangkit dalam 10 tahun ke depan, pemerintah pun mempertimbangkan keterbatasan kemampuan investasi PLN.

Mau tak mau, hal ini membuka peran Independent Power Producer (IPP) lebih besar, termasuk dalam pengembangan pembangkit berbasis EBT. Proyek-proyek pembangkit listrik EBT pun diproyeksikan akan didominasi perusahaan swasta dengan porsi sebesar 64,8%.

“Dalam 10 tahun ke depan Pemerintah merencanakan tambahan pengembangan pembangkit EBT sebesar 20,92 GW. Adapun khusus untuk PLTS, peran swasta akan sebesar 63,7% dan PLTS On Grid melibatkan peran swasta sebesar 54,4%,” jelas Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Dadan Kusdiana dalam wawancara dengan Validnews, Selasa (19/10).

Pemerintah pun optimistis, Indonesia bisa melakukan transisi energi karena punya potensi EBT yang besar. Kementerian ESDM mencatat, potensi EBT Indonesia ada 417,8 Gigawatt (GW) bila dikonversi ke listrik. Terdiri dari senergi surya 207,8 GW, air 75 GW, angin 60,6 GW, bioenergi 32,6 GW, panas bumi 23,9 GW, dan samudera 17,9 GW.

Pada Webinar Diseminasi RUPTL PT PLN (Persero) 2021–2030 beberapa waktu lalu, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, dengan kecenderungan harga PLTS yang semakin murah dan masa pembangunan lebih cepat, porsi PLTS didorong lebih besar dibanding RUPTL sebelumnya.

Di sisi lain, pemanfaatan energi panas bumi dan hidro juga akan dioptimalkan agar mampu menjaga keandalan sistem kelistrikan. Dikutip dari Renstra EBTKE 2020-2024, pengembangan energi panas bumi diproyeksi mencapai 7,2 GW pada 2025 dan 17,6 GW pada 2050 demi menunjang kebutuhan listrik yang pasti lebih besar dari kebutuhan sekarang. 

Panas Bumi
Pemerintah pun menyusun rasionalitas pemanfaatan panas bumi untuk menarik investor. Selain potensi sumber energinya yang besar, panas bumi juga diyakini lebih andal dibandingkan energi fosil.

Antara lain karena PLTP bisa dioperasikan sampai lebih dari 30 tahun. Kemudian sumber energinya berkelanjutan atau tidak akan habis dan tidak membutuhkan eskalasi biaya bahan bakar sehingga harga listrik masa depan dijamin stabil.

Selain itu, ramah lingkungan dengan emisi CO2 berkisar 75 gram pe kwh, lebih rendah dari emisi yang dihasilkan energi fosil. Serta lebih andal dibandingkan EBT lain karena tidak tergantung musim, tidak bersifat intermittent (berselang-red), dan penggunaan lahan lebih kecil daripada EBT lain.

Bila melihat data Badan Geologi, sebaran panas bumi di Indonesia diidentifikasikan paling banyak berada di Sumatra, mencapai total 9.679 MW. Disusul Pulau Jawa sebanyak 8.107 MW dan Sulawesi sebanyak 1.363 MW.

Namun, ada bermacam tantangan dalam mengembangkan panas bumi. Salah satunya, diperlukan waktu hingga 7 tahun untuk pengembangan energi panas bumi secara efektif, hingga pembangkit listrik tersebut beroperasi. Pengalaman membuktikan, proses di lapangan justru memerlukan waktu yang lebih lama, karena beberapa tantangan dari sisi teknis, ekonomi, lingkungan, dan dinamika sosial.

Ditjen EBTKE sendiri, sudah merangkum lima tantangan yang akan dihadapi badan usaha pengembang panas bumi. Antara lain, area prospek berada pada kawasan hutan konservasi yang sulit dikembangkan.

Kemudian, pengembangan energi panas bumi mempunyai beberapa risiko yang berbeda-beda di setiap tahapan. Semakin tinggi tahapan pengembangan, risiko akan semakin kecil. Grafik risiko pengembangan menunjukkan, pada tahap penjajakan eksplorasi, risiko pengembangan dapat mencapai 100%.

Selanjutnya pada tahap survei detail, risiko pengembangan akan turun hingga 60%. Dan, pada tahap pengeboran sumur landaian suhu, tingkat risiko pengembangan akan turun menjadi 50% dan seterusnya.

Asal tahu saja, besaran risiko pengembangan proyek energi panas bumi dapat memengaruhi biaya pembangkitan listrik suatu proyek PLTP. Karenanya, perlu adanya kepastian pendanaan dan juga kepastian pembelian listrik oleh PLN.

Ada pula isu sosial berupa penolakan masyarakat sekitar terhadap pengembangan energi panas bumi. Masyarakat umumnya khawatir, proyek panas bumi bisa mengganggu ketersediaan air bersih, sampai kekhawatiran kerusakan lingkungan.

Terakhir, terkait masalah pendanaan. Mayoritas pengembang panas bumi memiliki kemampuan pendanaan yang terbatas untuk dapat membiayai kegiatan eksplorasi, khususnya pengeboran yang memerlukan biaya tinggi.

Energi Surya
Sementara untuk energi surya, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menunjukkan Indonesia memiliki total potensi sebesar 207.898 MWp yang tersebar di 34 Provinsi. Potensi teknis energi surya Indonesia paling banyak berada di Kalimantan Barat sebesar 20.113 MW, disusul Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur yang masing-masing punya potensi 17.233 MW dan 13.479 MW.

Meski Indonesia mendapat sinar matahari yang cukup sepanjang tahun, pengembangan pemanfaatan energi surya di Indonesia nyatanya belum ‘secerah’ potensinya. Hingga Semester I 2021, Ditjen EBTKE mencatat pemanfaatan sinar matahari menjadi listrik di Indonesia baru mencapai 182,3 MW atau hanya 0,087% dari potensi.

Penyebabnya, menurut Buku Renstra EBTKE 2020–2024 adalah harga jual listrik yang kurang kompetitif. Regulasi pengusahaan dan industri dalam bidang energi surya dalam negeri juga disebut belum mendukung penuh.

Misalnya, industri modul surya dalam negeri belum menyentuh sisi hulu. Sebagian besar produsen modul surya memproduksi modul surya dari tahap assembling, sekalipun sebagian sudah ada yang memulai dari tahap printing cell.

Selain itu, regulasi atau kebijakan fiskal dan non-fiskal di Indonesia juga belum optimal dalam mendukung pengembangan energi surya. Pengembangan dan pemanfaatan energi surya yang telah dilakukan hingga saat ini, sebagian besar untuk pembangkit listrik dengan menggunakan solar panel atau fotovoltaik. Padahal, masih terdapat teknologi lainnya yang belum dikembangkan salah satunya teknologi dengan memanfaatkan solar thermal.

Realisasi Investasi
Tidak hanya energi surya, pengembangan pembangkit listrik bersumber dari EBT lainnya juga terpantau lamban. Setidaknya hal ini terlihat dari penambahan kapasitas pembangkit EBT di Indonesia dalam lima tahun terakhir.

“Kenaikan rata-rata penambahan kapasitas pembangkit EBT sebesar 4% per tahunnya, dan untuk periode Januari–Juni 2021 terdapat tambahan kapasitas PLT EBT 172 MW,” ujar Dadan.

Penambahan kapasitas pembangkit EBT yang lambat pun sejalan dengan catatan investasi sub sektor EBTKE. Realisasi pada Semester I 2021 baru mencapai US$720 juta dari target full year di angka US$2,04 miliar.

“Sedangkan capaian investasi bidang Aneka EBT sampai Juni 2021 yaitu sebesar US$0,23 miliar, yang terdiri dari realisasi investasi dari PT PLN, Pengembang IPP, APBN, PLTS Atap dan Wilayah Usaha,” sambung Dadan.

Senasib, pemerintah juga mengungkapkan, investasi pada sub sektor panas bumi dalam tiga tahun terakhir cenderung menurun. Pelelangan WKP yang terakhir dilaksanakan pada 2019 sepi peminat.

Untuk Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (PSPE), penerbitan yang terakhir dilakukan pada awal 2020. Praktis hampir dalam dua tahun terakhir, tidak ada investasi lapangan panas bumi yang baru.

“Pada sub sektor panas bumi, umumnya investor memiliki latar belakang usaha di bidang panas bumi baik sebagai pengembang maupun usaha yang ada kaitannya dengan panas bumi. Sehingga kemungkinan tidak terkait dengan preferensi antara berinvestasi di energi fosil atau investasi di EBT,” jelas Dadan.

Meski begitu, ia mengaku, sejauh ini tetap ada beberapa calon pengembang yang menyatakan minat untuk berinvestasi di lapangan baru. Hanya saja, belum dapat diwujudkan, karena pelelangan WKP baru akan dilaksanakan setelah selesainya pengeboran eksplorasi oleh pemerintah.

Nah, respons calon investor dalam pelelangan WKP tersebut lah yang nantinya dapat dijadikan salah satu tolok ukur, dalam menilai minat investasi panas bumi.

“Beberapa upaya yang dilakukan Pemerintah untuk mengurangi risiko pemboran di bagian hulu, di antaranya melalui government drilling. Program ini akan memberikan manfaat berupa data yang lebih akurat terkait panas bumi di suatu daerah. Diharapkan program ini akan meningkatkan iklim investasi dan bisnis,” tegas mantan Kepala Balitbang ESDM tersebut.

Kendala investasi ini semua, diakui oleh Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Ia mengingatkan, bila pemerintah ingin mendorong investasi swasta sebagaimana dirancang dalam RUPTL 2021-2030, maka iklim investasi sektor EBT di Indonesia harus diperbaiki. Ketidakpastian dan hambatan terkait perizinan yang bisa membuat proyek dieksekusi lamban, harus dihilangkan.

“Ambil contoh, proses di indonesia dari inisiasi awal, persiapan, lelang, sampai dengan approval akhir financial closed itu, makan waktu lebih dari 3 tahun. Negara lain bisa di bawah dua tahun. Karena semakin cepat itu, risikonya bisa diminimalkan, kemudian biayanya juga lebih bisa dikendalikan. Kalau semakin lamban kan biaya meningkat terus,” papar Fabby.

Pemerintah Optimistis
Meski onak dan duri menghadang, pemerintah nyatanya tetap teguh dengan rencananya sendiri dalam menjalani proses transisi energi ini. Namun, apakah EBT yang menggantikan energi fosil nantinya, benar-benar bisa memenuhi kebutuhan listrik masyarakat Indonesia dengan baik? Itu lain soal.

Padahal, pemerintah harus ingat, setidaknya pemenuhan energi harus memenuhi prinsip 5K yakni kecukupan, keandalan, keberlanjutan, keterjangkauan, dan keadilan. Kekhawatiran pun muncul mendengar kabar krisis energi di Inggris dan beberapa negara Eropa mulai bergulir.

Mereka yang lebih dulu mulai transisi ke EBT, ternyata terpaksa harus menahan malu untuk kembali menggunakan PLTU berbasis batu bara untuk memenuhi kebutuhan energi listriknya. Mungkin mereka luput berfikir, harga gas yang dipakai dalam proses transisi energi, ternyata bisa tiba-tiba melambung, setelah ada pemulihan mobilitas manusia tatkala pandemi melandai.

“Kalau kita lihat di Amerika Serikat, EBT sendiri hanya 12% pada 2020. Kalau Inggris sudah lama pakai fosil, mereka sudah 400 tahun pakai batu bara, sejak era revolusi industri,” ujar Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro beberapa waktu lalu.

Menurutnya, meski dari segi potensi dan jenis sumber dayanya EBT bisa memenuhi aspek kecukupan dan keberlanjutan, namun bisa jadi tidak andal, terjangkau, dan adil bila menemui banyak kendala pada proses pengembangannya.

Senada, pengamat energi Mamit Setiawan menilai, transisi energi menuju terbarukan memang suatu keniscayaan, mengingat sudah banyak negara berkomitmen untuk menerapkannya. Namun, untuk Indonesia, ia melihat, belum bisa menerapkan EBT secara keseluruhan.

“Transisi energi pasti terjadi, tapi sesuaikan kondisi. Kita harus melihat kondisi bahwa kita banyak belum siapnya. Karena masyarakat kita belum siap membeli energi dengan harga mahal,” kata Mamit. 

Meski begitu, Direktur Perencanaan Korporat PLN Evy Haryadi memastikan, krisis yang dialami Inggris dan sejumlah negara Eropa tidak akan terjadi di Indonesia. Pasalnya, transisi energi akan dilakukan bertahap hingga mencapai Net Zero Emission pada 2060.

Belum lagi, masih ada proyek pembangunan PLTU yang berjalan hingga 2027 yang membuat Indonesia masih dalam kondisi over supply listrik sampai sekitar tahun 2030. Lalu, proyeksi pertumbuhan permintaan listrik juga terkoreksi menjadi 4,9% per tahun dari 6,4% akibat pandemi.

“Sehingga kondisi yang terjadi di Inggris di mana kemudian kita khawatir, ini sebenarnya tidak akan terjadi di kita, karena sebetulnya kita masih punya banyak sumber energi,” tegas Hariyad pada diskusi virtual beberapa waktu lalu.

Terkait aspek keberlanjutan, ia juga memastikan, EBT yang dikembangkan di Indonesia dapat awet memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Ini karena menggunakan air, panas bumi, dan surya sebagai energi terbarukan yang diklaim tidak akan habis.

“Pemenuhannya banyak dari dalam negeri, di mana PLTA dan Geothermal menjadi backbone utama di dalam RUPTL 2021-2030. Ada PLTP mencapai 3,3 GW dan PLTS sendiri 4,7 GW,” sambungnya.

Ia melanjutkan, untuk meningkatkan keandalan listrik dan meningkatkan penetrasi EBT yang lokasi sumber energinya jauh dari pusat permintaan listrik, pemerintah mendorong pengembangan interkoneksi ketenagalistrikan dalam pulau maupun antarpulau.

Kementerian ESDM pun berharap, interkoneksi di dalam Pulau Kalimantan dan Sulawesi sudah terwujud pada 2024, sebagai bagian dari rencana Pemerintah untuk interkoneksi seluruh pulau besar yaitu Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.

“Selanjutnya dilakukan kajian untuk interkoneksi antar-pulau yang disebut dengan Super Grid yang menghubungkan antar pulau besar di Indonesia. Dalam hal ini, selain meningkatkan keandalan juga dapat mengatasi adanya over supply di suatu sistem besar,” tandas Menteri ESDM Arifin Tasrif.

Untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dan penyaluran tenaga listrik bagi masyarakat pedesaan di 3T yang selama ini dilayani oleh pembangkit listrik diesel, pemerintah mendorong Program Dedieselisasi. Salah satunya melalui penggantian PLTD dengan Pembangkit EBT sesuai dengan potensi energi terbarukan setempat.

Selain itu, Pemerintah juga mendorong Program PLTS Atap dalam rangka meningkatkan peran serta konsumen dalam penggunaan energi bersih. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana menyampaikan, selain perencanaan pembangkitan, rencana pembangunan transmisi juga menjadi perhatian khusus pemerintah.

Hal tersebut dilakukan dalam rangka meningkatkan keandalan, menurunkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP), penyaluran energi listrik dari daerah yang over supply ke daerah yang defisit, penyaluran listrik ke daerah Kawasan Industri, Kawasan Ekonomi Khusus, Smelter, dan lain-lain.

“Pemerintah juga fokus meningkatkan pemanfaatan sumber daya EBT ke pusat beban, mengingat potensi EBT jauh dari pusat beban listrik. Rencana pembangunan jaringan distribusi bagi masyarakat yang belum teraliri listrik dan peningkatan jam nyala menjadi 24 jam pada sistem isolated, juga menjadi perhatian dari Pemerintah dan PLN,” tambah Rida.

Ia mengaku, pemerintah dan PLN sudah sangat berhati-hati menyusun RUPTL PT PLN (Persero) 2021-2030, baik dari sisi kebutuhan demand listrik maupun dari sisi perencanaan pembangkitan, transmisi, dan distribusi. Pihaknya sadar, dengan keterbatasan kemampuan investasi, PLN memilih lebih fokus berinvestasi pada pengembangan dan penguatan sistem penyaluran tenaga listrik serta peningkatan pelayanan konsumen.

“Pada sisi infrastruktur PLN akan meminimalkan penambahan kapasitas infrastruktur baru dan melaksanakan relokasi pembangkit PLTG/GU ke daerah-daerah yang membutuhkan. Untuk meminimalkan biaya investasi dan meningkatkan utilisasi aset serta melaksanakan negosiasi penyesuaian jadwal, baik itu kepada IPP pembangkit maupun penyedia bahan bakar,” ujar Direktur Utama PLN, Zulkifli Zaini.

Terlepas dari itu semua, Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal BKPM Yuliot pun mengaku optimistis, investasi untuk pengembangan EBT di Indonesia masih menarik buat investor.

“Menteri Investasi kan sangat rajin sekarang menemui investor, tidak dalam forum besar, tapi langsung jemput ketemu investor sesuai dengan sektor spesifik langsung ketemu. Antara lain ke Eropa, Belanda, Jerman yang bergerak di bidang energi saja,” tandas Yuliot kepada Validnews, Senin (18/10). 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar