03 Oktober 2024
20:30 WIB
Membumikan Susu Ikan Lewat Program Makan Siang
Bahan baku melimpah membuat susu ikan jadi inovasi menggantikan impor susu sapi. Penyematan ‘susu’ masih menyisakan polemik.
Penulis: Yoseph Krishna, Khairul Kahfi, Nuzulia Nur Rahma, Aurora K M Simanjuntak
Editor: Fin Harini
Pekerja menunjukkan produk makanan dari ekstrak protein ikan atau Hidrolisat Protein Ikan (HPI) di PT Berikan Bahari Indonesia di Kandanghaur, Indramayu Jawa Barat, Rabu (18/9/2024). Antara Foto/Dedhez Anggara
JAKARTA - Sebagai upaya memajukan sektor perikanan dan meningkatkan gizi masyarakat, Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengusung program "Susu Ikan". Ini disebut sebagai salah satu inovasi unggulan dalam masa kepemimpinan mereka.
Program ini berencana menjadikan ikan sebagai sumber protein alternatif agar mudah diakses oleh masyarakat, terutama bagi anak-anak dan kelompok rentan lainnya. Pemilihan susu ikan dalam program ini disebabkan kerapnya Indonesia mengimpor produk luar negeri, termasuk sapi dan produk susu, di tengah produksi yang seret.
Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat sepanjang 2019-2021, produksi susu segar dalam negeri (SSDN) meningkat. Namun produksi SSDN anjlok pada 2022. Bersamaan dengan itu, impor susu jadi meningkat untuk menambal kebutuhan. Sepanjang 2019-2021, jumlah produk susu yang diimpor Indonesia fluktuatif, namun kemudian mengalami lonjakan pada 2022.
Lebih rinci, mengutip data Buku Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan Ditjen PKH Tahun 2023, produksi SSDN pada 2019 sebesar 944,54 juta ton, lalu 2020 naik menjadi 946,91 juta ton. Produksi SSDN pada 2021 mulai turun tipis menjadi 946,39 juta ton. Kemudian, produksinya anjlok menjadi 824,27 pada 2022.
Penurunan juga terjadi pada populasi sapi perah di Indonesia. Pada 2019, jumlahnya ada sebanyak 565.001. Terjadi kenaikan pada tahun berikutnya. Kemudian, pada 2022 menjadi 507.075. Jelas terjadi penurunan.
Tak pelak, impor susu lantas naik. Pada 2019, susu yang diimpor sejumlah 495.102 juta ton, lalu 2020 turun menjadi 484.775 juta ton. Pada 2021 naik lagi menjadi 541.897 juta ton, dan pada 2022 melonjak jadi 584.614 juta ton.
Berdasarkan hal tersebut akhirnya pemerintah membuat manuver. Susu ikan sebagai alternatif dipilih memenuhi menu program Makan Bergizi Gratis (MBG). Tapi, sebenarnya apa itu susu ikan? Bagaimana pengolahannya?
Susu ikan adalah produk berbasis protein ikan yang diolah hingga menyerupai susu. Meskipun diberi nama 'susu' pada kenyataannya produk ini bukan berasal dari kelenjar susu seperti susu sapi atau susu kambing. Yang disebut susu dalam terminologi adalah hasil ekstraksi protein ikan.
Pada pertengahan September lalu, Validnews berkesempatan berkunjung ke satu-satunya pabrik hidrolisat protein ikan (HPI) di Indonesia untuk secara langsung melihat proses pembuatan susu ikan dari awal ikan segar datang hingga menjadi bubuk yang siap diseduh seperti susu.
Berlokasi di Kecamatan Kandanghaur, Indramayu, PT. Berikan Bahari Indonesia memiliki kapasitas produksi hingga 30 ton hidrolisat protein ikan dalam sebulan.
Pabrik ini menggunakan ikan petek sebagai bahan baku utama pembuatan susu ikan. Sekilas, ikan ini berukuran kecil kurang dari setapak tangan. Ikan ini sering dianggap bernilai jual rendah dan bahkan sering tidak dimanfaatkan oleh nelayan.
Ikan segar yang didatangkan langsung dari nelayan ini akan langsung ditimbang dan disortir di pabrik HPI Indramayu. Setelah bersih, ikan akan digiling hingga menjadi bubur.
Berikutnya bubur ikan ini akan diolah menggunakan mesin hidrolisat protein selama hampir tiga jam. Proses ini akan memisahkan protein ikan dari tulangnya. Hasil akhir dari tahap ini adalah cairan berprotein tinggi yang nantinya akan menjadi bahan utama susu ikan.
Kemudian, cairan protein ikan ini akan dimasukkan ke dalam feed tank spray dryer, yakni sebuah mesin yang memanaskan cairan hingga menguap dan berubah menjadi tepung. Proses pengeringan ini membutuhkan waktu 12 jam, dan hasil akhirnya berupa tepung protein ikan.
Tepung protein ikan ini nantinya akan dibawa ke pabrik di Bekasi. Di sini, tepung diformulasikan lebih lanjut dengan menambahkan berbagai bahan mulai dari emulsi, pengental, pengawet, pemanis hingga perisa seperti coklat dan strawberry.

Industri Susu Ikan di Indonesia
Pendiri Berikan Bahari Indonesia, Yogie Arry mengatakan, HPI merupakan nilai tambah dari industri perikanan yang sudah lama pihaknya inovasikan. Tak sekadar memproses produk perikanan menjadi produk tradisional, proses HPI justru memberikan nilai tambah yang lebih tinggi.
"(Pengolahan produk perikanan.red) bisa menjadi feed stock, produk-produk tradisional seperti ikan asin dan lain-lain, kemudian meningkat menjadi produk fungsional seperti bahan baku kosmetik dan kemudian produk farmasi di mana nilai tertinggi dari nilai tambah adalah produk farmasi," ucap Yogie.
Sebagai salah satu negara dengan penghasil ikan terbesar, Yogie meyakini Indonesia mampu memproduksi protein dari bahan baku lokal.
Yogie menambahkan, pabrik HPI juga merupakan bentuk dari ekonomi sirkular. Sebab, bahan baku pembuatan HPI umumnya menggunakan ikan yang tidak bernilai di mata nelayan yakni ikan petek. Padahal, jumlah ikan ini melimpah dan mudah disediakan nelayan di sepanjang pesisir Indramayu hingga Subang.
Untuk memproduksi HPI, investasi yang ditanamkan Berikan Bahari Indonesia dalam pabrik tersebut tidak main-main. Nilainya mencapai Rp15 miliar dengan tingkat pengembalian investasi mencapai 130% per tahun.
Dia pun mengkalkulasi, dengan satu industri HPI kapasitas 30 ton per bulan, pihaknya bisa menyediakan untuk kebutuhan susu ikan dalam kemasan 120 mili, untuk 169 ribu anak sekolah.
Dalam kesempatan terpisah, Chief RnD dan Quality Control Berikan Protein, Iwa Sudarmawan membeberkan beberapa kandungan yang ada di dalam produk Surikan, yakni 40% HPI, non dairy creamer, perisa coklat atau stroberi, beserta gula.
Saat ditanyai mengenai perbandingan kadar gula pada susu ikan dan susu sapi, Iwa mengaku Surikan hanya menggunakan setengah dari kadar gula di produk susu sapi.
"Kandungan gulanya kalau dibandingin dengan susu bubuk sejenis saat ini, ini setengahnya. Jadi kalau susu-susu bubuk, susu sapi itu, itu ada kisaran 20%-an gulanya. Sedangkan yang kita pakai itu ada di sekitar 8,8 persajinya, jadi 20 gram," ungkap Iwa.
Lebih rinci, dalam dua versi rasa yang dimiliki Surikan, rasa strawberry disebut memiliki kadar gula lebih rendah daripada rasa coklat. Ini bisa terjadi lantaran susu varian strawberry memiliki campuran stevia di dalamya.
"Yang strawberry ini sudah pakai gula stevia, tapi kalau yang coklat itu yang masih murni gula. Tapi ini sekarang masih ingin dikurangi lagi (kadar gulanya). Mungkin karena kita nanti akan launching juga satu lagi yang vanila. Mungkin nanti versi yang vanila, itu yang versi yang paling low sugar," sebut dia.
Lantaran terbuat dari ikan, banyak yang mengkhawatirkannya akan berbau amis dengan rasa yang kurang enak. Iwa rupanya menyadari hal ini. Dia melakukan beberapa upaya agar mengurangi rasa dan bau yang kurang enak dari HPI.
"Jadi kalau untuk ini, kita juga sambil jalan juga. Kita juga untuk mengoptimalisasikan bagaimana supaya semakin hari itu kita bisa semakin optimalkan proteinnya, semakin kita tekan bau amisnya," kata dia.
Validnews dalam kesempatan tersebut berkesempatan mencicipi dua varian Surikan. Pada kesan pertama melihat sajian susu ikan, baik rasa coklat maupun stroberi memiliki penampilan layaknya susu sapi yang banyak dijual di supermarket.
Namun jika didekatkan ke hidung, aroma ikan masih sedikit tercium. Selain itu, pada tegukan pertama akan meninggalkan rasa lengket dan bau amis pada langit-langit mulut.
Potensi Industri HPI Global dan Dalam Negeri
Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan Budi Sulistiyo mengatakan, HPI bukanlah produk pertama di dunia. Beberapa negara seperti Korea, Norwegia serta beberapa daerah lain di Eropa sudah mengedarkan produk ini untuk pemenuhan kebutuhan protein.
Dia menjelaskan, beberapa negara tersebut memanfaatkan HPI untuk memfortifikasi produk makanan dan minuman. Ini dilakukan dengan mencampurkan HPI pada makanan-makanan untuk meningkatkan penyediaan protein di masyarakat mereka.
"Banyak sekali negara-negara yang sudah menerapkan itu. Indonesia sekarang memulai dengan produk dalam negeri, teknologi juga dalam negeri. Ini menjadi satu kesempatan untuk membangkitkan industri hidrolisat protein ikan berbasis teknologi anak bangsa," imbuhnya.
Menurut data Global Market Insight, pasar hidrolisat protein ikan secara global pada 2019 diperkirakan sebesar US$197,35 juta. Pasar ini diperkirakan tumbuh lebih dari 4,5% CAGR antara tahun 2020 dan 2026 atau senilai US$424,75 juta.
Sementara itu, pasar hidrolisat protein ikan global untuk pakan ternak dan aplikasi makanan hewan peliharaan akan melampaui US$375 juta pada 2032.
"Meningkatnya kesadaran akan kualitas produk akhir yang berasal dari hewani seperti susu, telur, dan daging kemungkinan akan meningkatkan permintaan produk. Produsen dengan cepat mengadopsi sumber protein alami dalam pakan untuk meningkatkan kualitas produk turunan hewani yang akan memicu statistik industri hidrolisat protein ikan," tulis riset tersebut.
Budi memaparkan pihaknya memiliki gambaran untuk menumbuhkan industri HPI di dalam negeri. Sekaligus memperkuat UKM dengan mendekatkan pabrik dengan sumber bahan baku. Dalam implementasinya, KKP mendorong adanya pembangunan pabrik di sepanjang pantai di Indonesia.
"Jadi tangkapan nelayan lokal sudah ada yang menampung di pabrik HPI yang menyediakan industri susu ikan. Sebagai gambaran saja, dalam 2-3 tahun ke depan itu bisa mensubstitusi komplementer kebutuhan susu utamanya asupan protein," terang Budi.
Hitung-hitungan KKP, 10% dari kebutuhan susu bagi 4,1 juta anak Indonesia bisa menumbuhkan setidaknya 6.150-an pabrik dengan kapasitas dua ton di tiap-tiap titik pantai Indonesia.
Dari ribuan pabrik ini, diperlukan setidaknya 770 ribu ton ikan per tahun dengan harga eceran tertinggi (HET) mencapai Rp7,8 triliun per tahun. Output HPI yang dihasilkan bisa mencapai 147 ribu ton pertahun dengan nilai ekonomi Rp29,5 triliun.
Dan dari bahan baku tadi secara hitung-hitungan akan menghasilkan 492 ribu ton susu dengan perputaran uang dari produk susu mencapai Rp70 triliun per tahun.
Di sisi lain, hitungan KKP memperkirakan industri ini dapat menampung setidaknya 86 ribu nelayan kecil, 73 ribu pekerja industri HPI dan 35 ribu pekerja industri susu ikan. Dengan demikian, jumlah lapangan pekerjaan yang terbuka mencapai 195 ribu pekerja.
"Itu baru 10% dari komplementer saja ya, kita bertahap namun secara konkret kita siapkan dengan baik agar bisa terjadi di dua tahun kemudian. Itu akan menjadi kesempatan pertumbuhan ekonomi lokal, melibatkan masyarakat lokal dan penerapan tenaga kerja dari satu produk hilirisasi hasil perikanan," imbuhnya.
Kandungan Gizi Susu Ikan
Lantaran memiliki beberapa bahan tambahan kimia, gula dan perisa untuk menyesuaikan selera masyarakat, Peneliti Tim Hilirisasi Perikanan INDEF, Auhadilah meminta agar produsen susu ikan tetap memperhatikan kandungan gizi dari produknya.
"Jika menyesuaikan dengan selera pasar dalam bentuk olahan yang bervariasi rasa, saya kira menarik saja. Hanya yang lebih penting adalah kandungan gizinya. Jangan sampai malah penambahan bahan kimia lain akibat memenuhi selera pasar, justru kurang bagus untuk kesehatan," kata Auhadillah kepada Validnews, Kamis (3/10).
Selain itu, dia mengatakan, mengingat masyarakat terutama anak-anak cenderung pilah-pilih makanan, sensitif serta rentan alergi maka yang harus produsen perhatikan adalah penggunaan ikan sebagai bahan baku utamanya.
Dia meminta agar produsen susu ikan sebisa mungkin hanya menggunakan ikan yang segar, bisa dari ikan utuh ataupun sisa olahan filet ikan sehingga lebih berkualitas. Auhadillah juga mewanti-wanti agar tidak memakai bahan baku dari limbah ikan atau ikan-ikan yang kualitasnya jelek.
"Karena susu ikan yang bahan utamanya adalah HPI ini adalah untuk asupan protein, tentu yang harus diperhatikan adalah kandungan gizinya. Meski begitu, sebetulnya konsumsi langsung daging ikannya jauh lebih baik karena dapat dipastikan gizinya lebih tinggi," imbuhnya.
Di sisi lain, Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman justru mengkritisi penggunaan kata 'susu' pada produk minuman hasil olahan ikan ini.
Menurut dia, produk ini merupakan ekstaksi dari ikan dan menghasilkan akhirnya berupa bubuk ikan, sehingga penyematan 'susu' harusnya tidak bisa dibenarkan.
"Yang jelas definisi susu bukan itu. Susu, sudah jelas dari definisi codex, adalah hasil dari perahan hewan. Mereka (susu ikan) ekstraksi ikan sebenarnya, tapi itu enggak boleh dibilang susu," sergah Adhi.
Dia menjelaskan, definisi susu pada produk ini bisa menyalahi aturan dan kategori pangan yang didasari oleh Codex Alimentarius Commission (CAC) serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Dalam standar tersebut tertulis bahwa susu adalah sekresi payudara dari hewan yang diperoleh dari satu atau lebih pemerahan tanpa penambahan atau ekstraksi darinya, dimaksudkan untuk dikonsumsi sebagai susu cair atau untuk diproses lebih lanjut.
"Jadi menurut saya jangan dibikin bingung, ya susu adalah hasil perahan dari mamalia. Boleh aja dipakai untuk program makan siang sebagai tambahan protein, saya kira cukup bagus juga, tapi nggak boleh dibilang susu," tegasnya.
Meski begitu, Adhi mengatakan bahwa GAPMMI tetap mendukung segala bentuk inovasi produk baru. Hanya saja jika terkait kategori pangan menurutnya perlu ditetapkan sesuai standar BPOM. Ini termasuk di dalamnya semua produk harus diklasifikasikan dan syaratnya harus sesuai dengan kategorinya. Lalu yang terpenting juga adalah memiliki izin edar.
Asal tahu saja, susu ikan dengan merek Surikan hingga saat ini belum terdaftar izin edar BPOM. Saat ini, susu ikan katanya masih terdaftar sebagai Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT).
PIRT adalah izin untuk sebuah usaha yang hanya skala rumahan. Meski hanya skala usaha rumahan, izin tetap diperlukan sebagai jaminan produk yang diedarkan memenuhi standar keamanan makanan atau izin edar produk pangan. Karena masih terdaftar sebagai PIRT, pengawasan peredaran susu ikan berada di ranah dinas kesehatan setempat.
Terhadap aspek ini, sebelumnya, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Taruna Ikrar menyatakan akan mempercepat izin edar susu ikan. Menurutnya, jika susu ikan memang aman, berkualitas baik, dan sesuai standar, BPOM tidak akan mempersulit penerbitan izin edar. Apalagi, katanya, susu ikan memiliki protein yang tinggi.
Dia mengimbau masyarakat agar tidak menolak kepada hal-hal baru, baik obat maupun makanan yang inovatif. BPOM akan berkomitmen pada sesuatu yang bermanfaat dan aman bagi masyarakat
"Maka Badan POM akan mempercepat proses itu. Mempercepat seluruhnya, bukan hanya susu ikan. Kan urusan izin edar ini banyak banget," sebutnya.