c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

20 November 2023

20:25 WIB

Membawa Ikan Patin Mendunia

Dirintis anak muda, Rafins Snack bisa menjadi pemain lokal yang merambah regional.

Penulis: Fitriana Monica Sari

Editor: Fin Harini

Membawa Ikan Patin Mendunia
Membawa Ikan Patin Mendunia
Tampilan camilan salted egg fish skin produksi Rafins Snack. Dok/Rafins Snack

JAKARTA – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjadikan ikan patin sebagai komoditas unggulan budi daya air tawar Indonesia. Tak hanya memiliki potensi jadi komoditas ekspor dengan nilai tinggi, patin bisa mendukung ketahanan pangan. 

Maklum, bukan hanya relatif mudah dibudidaya, kandungan gizi patin juga mumpuni. Patin punya kandungan asam lemak omega 3, meliputi EPA< DHA dan linoleat, yang punya manfaat baik untuk tubuh. 

Mengonsumsi ikan ini bisa mencegah penyumbatan pembuluh darah, menjaga kesehatan kulit, memelihara kesehatan jantung, hingga mengurangi gejala depresi dan alergi. Banyak bukan kegunaannya.

Bagi masyarakat, patin juga dikenal terutama di daerah Kalimantan dan Sumatra bagian Selatan. Biasanya, ikan patin sering dimanfaatkan menjadi berbagai macam olahan masakan. Mulai dari sup ikan patin, abon, hingga gulai ikan patin.

Campuran bumbu Indonesia yang sangat kompleks dalam olahan ikan patin ini, menciptakan rasa masakan yang lezat dan menggugah selera dari yang muda sampai yang tua.

Sayang, kebanyakan orang hanya mengolah daging ikan patin saja. Padahal, dagingnya hanya sekitar 35% dari total berat ikan. Aneka bagian lainnya masih dimanfaatkan, seperti kulit yang bisa diolah menjadi camilan keripik (snack fish skin).

Ialah Muhammad Ravie Cahya Ansor (24), lelaki asal Lampung yang lantas berinisiatif membuat keripik kulit ikan patin yang gurih dan pastinya memiliki rasa yang enak juga. 

"Ikan patin paling mirip sama kulit ikan salmon karena dia ada dua warna. Bagian perutnya atau bawahnya itu putih, atasnya itu abu-abu kehitaman," kata Ravie saat berbincang dengan Validnews melalui sambungan telepon, Selasa (14/11).

Kulit ikan patin dibalur tepung, kemudian digoreng dalam minyak panas dan diberi cita rasa telur asin. Istilah kekinian lebih dikenal dengan nama skin fish salted egg.

Ide Ravie benar memantik rasa penasaran konsumen. Hanya selang waktu tiga bulan sejak buka, dia sudah dibanjiri pesanan. Penjualannya pun terus bertambah.   

Ravie pun kian percaya diri menambah varian produk. 

Hingga kini, Rafins Snack telah memiliki beberapa produk. Tak hanya keripik kulit ikan patin saja, dia juga mengolah keripik talas, pisang, singkong, dan kentang.

Selain menjual rasa, Ravie juga melengkapi aneka produknya dengan berbagai perizinan dan sertifikasi, mulai dari MD BPOM, sertifikasi halal, dan SNI. 

Ravie juga sudah menerapkan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang membantu mencegah kontaminasi pada produk pangan dan menjamin keamanannya, serta , prinsip Good Manufacture Produce (GMP).

Dari Tugas Kampus
Apakah bisnis ini dipikirkannya matang? Jalan ceritanya unik. Semua bermula dari  tugas kampus sebagai persyaratan kelulusan menyelesaikan Program D1 di Sekolah Bisnis Umar Usman, Jakarta Selatan dan untuk melanjutkan ke ESQ Business School.

Keputusan Ravie memilih sekolah bisnis tak muluk-muluk. Kala itu, dirinya berharap bisa segera cepat cari uang setelah lulus.

Nah, untuk lulus dari sekolah bisnis tersebut, mahasiswa harus membuat business performance, yaitu laporan kinerja bisnis yang dimiliki.

Dalam tugas akhir itu, mahasiswa harus mempresentasikan beberapa hal. Di antaranya, bisnis apa yang dijalankan, produk apa yang diproduksi, hingga bagaimana strategi pemasarannya.

Ravie yang jatuh cinta pada makanan dan minuman, langsung mantap memilih bisnis food and beverage (F&B) sebagai pilihan. Ada beberapa produk yang terlintas di benaknya. Coffee shop adalah salah satunya.

Namun setelah dia pelajari lebih dalam, bisnis coffee shop ternyata tidaklah tahan jangka lama. Pasalnya, coffee shop kerap dijadikan sebagai tempat nongkrong saja. Konsumen hanya memesan secangkir kopi, kemudian bisa nongkrong dalam waktu yang lama.

Berdasarkan grafik, bisnis coffee shop juga hanya ramai di awal buka. Seiring waktu berjalan atau ada kompetitor yang membuka coffee shop baru, maka konsumen akan pindah.

Ravie pun kemudian sempat berpikir untuk membuka restoran. Tapi sama dengan coffee shop, restoran memiliki beberapa kendala. Konsumen akan terkendala jika jarak lokasi terlalu jauh. 

Kecuali, sudah viral dan terkenal benar-benar enak sehingga konsumen rela tetap datang.

Setelah berbagai pertimbangan, akhirnya pilihan Ravie jatuh pada produk makanan kemasan. Meski sudah mengerucut, langkah Ravie tak langsung mulus. Banyaknya opsi malah membuatnya galau menentukan produk yang ingin digarap. 

"Kalau saya kan dari Lampung, kalau Lampung itu kan terkenal banget sama keripik pisang coklat. Cuman kalau kita bikin keripik pisang coklat itu value-nya nggak ada, sama dengan keripik pisang coklat yang lain," ujarnya bercerita.

Inspirasi dan Peluang
Dia pun kembali menimbang-nimbang untuk produk lainnya. Pada saat keresahan menghampiri, Ravie berkesempatan untuk mengikuti International Challenge ke Singapura pada tahun 2018. Di bandara, Ravie melihat banyak orang mengantri membeli snack kulit ikan salmon dengan brand Irvins.

Harga jual snack ini terbilang mahal, yakni mencapai Rp160 ribu per 100 gram. Mereka yang membeli snack Irvins ini juga dibatasi. Satu orang hanya boleh beli maksimal lima bungkus supaya konsumen lain bisa kebagian.

"Saya lihat ada makanan di bandara, orang itu beli sampai jastip-jastip sampai ngantri-ngantri dan satu orang dimaksimalin hanya boleh beli lima pcs. Karena keterbatasan produk dan permintaannya yang sangat tinggi, ternyata produk itu adalah infants dari Singapura, yaitu kulit ikan dengan rasa telur asin. Tapi harga per 100 gramnya itu sampai dengan Rp160 ribu, kalau dijastipin sampai Rp220 ribu per 100 gramnya waktu itu," jelasnya.

Di tengah maraknya produk kudapan ringan impor yang masuk ke Indonesia, Ravie melihat peluang. Dia kian yakin, bisa menciptakan snack kualitas nasional dengan bahan baku 100% lokal.

Anak pertama dari empat bersaudara ini juga ingin membawa pesan bahwa produk anak bangsa dapat bersaing di pasar nasional maupun internasional.

Ravie pun mantap membuat snack kulit ikan rasa telor asin sebagai proyek dari program business performance kampusnya. Tepatnya, dia ingin membuat produk serupa dengan harga yang lebih masuk ke kantong pasar Indonesia.

"Kita lihat ada problem apa yang bisa kita selesaikan. Pertama masalahnya adalah di harga, bisa enggak ya kalau kita bikin produk serupa harganya lebih murah supaya market di Indonesia yang ngeluarin Rp100 ribu untuk jajan makanan kemasan itu merasa berat, tetap bisa beli. Jadi ngegarap market yang menengah," terang Ravie.

Modal awal memproduksi snack fish skin diakui Ravie tidak terlalu besarHanya dibutuhkan modal sebesar Rp500 ribu untuk membeli bahan kulit ikan salmon yang sudah digoreng sebanyak 1 kg yang dipesan dari Bali serta membeli bumbu dan kemasan di Bandung.

Bermodalkan resep dari Google dan YouTube, Ravie melakukan trial and error beberapa kali. Semua dilakukannya secara otodidak. Maklum, dia tidak memiliki latar belakang keluarga kuliner.

Orang tuanya adalah pekerja. Ibunya merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS), sedangkan bapaknya adalah pegawai swasta.

Dari 1 kg kulit ikan tersebut, ternyata hanya menghasilkan 10 kemasan dengan berat 50 gram per kemasan snack fish skin dengan rasa telor asin. Kemudian, dia jadikan tester untuk membuka pre order (PO). Dia tawarkan itu kepada teman-temannya.

"Dulu karena modalnya Rp500 ribu jadinya cuma 10 pcs. Kita jadikan tester. Kita open PO. Kita tanya ke teman-teman yang ada followers atau yang dia suka jastip gitu. Awalnya kita jual 50 gram itu dengan harga Rp15 ribu. Jadi masuk ke market Indonesia lebih diterima dengan baik," katanya.

Beralih ke Ikan Patin
Meski produk awal sudah diterima pasar, Ravie ingin memasang harga yang lebih terjangkau. Karena itu, mencoba mensubsitusi kulit ikan salmon dengan kulit ikan-ikan lain yang banyak terdapat di Indonesia. Apalagi, ikan salmon masih tergolong mahal di tanah air.

Percobaan pertama, Ravie menggunakan kulit ikan kakap. Sayangnya, sisik besar membuat camilan terkesan seperti kulit ular. Khawatir konsumen kabur, Ravie urung menggunakan bahan baku kakap.

Uji coba berikutnya, Ravie beralih ke kulit tenggiri. Sayangnya, kulit ikan ini terlalu tebal dan amis. Selain itu, waktu digoreng kulit tenggiri tidak mengembang. Kesimpulannya, bahan ini tidak bisa dijadikan camilan yang crunchy

Ravie juga sempat mencoba kulit ikan lele. Alih-alih mekar, kulit lele justru mengkerut. Warnanya pun hitam tak menarik.

Hingga akhirnya, dia mencoba kulit ikan patin. Nah, ikan ini yang paling mendekati ikan salmon. Ikan patin memiliki dua warna. Bagian perut atau bawahnya berwarna putih, sedangkan atasnya berwarna abu-abu kehitaman.

Ditambah, ikan patin tidak punya sisik, sehingga tidak ada tekstur sisik-sisiknya. Setelah dicoba ternyata rasanya pun mirip dengan ikan salmon seperti di awal yang dia coba. 

"Dan fun fact-nya, sekarang Irvins malah pakai kulit ikan patin juga, terus kulit ikan salmonnya dijadikan produk premium sama dia," imbuhnya.

Produk Rafins Snack dijual dengan harga yang terjangkau. Mulai dari Rp16.000 untuk Cassava hingga Rp28.000 untuk Fish Skin. Dalam sebulan, Ravie bisa menjual sebanyak 7.000 hingga 10.000 pcs. 

"Kalau kapasitas produksi kita ada di 1.500 pcs per hari. Tapi, untuk produksi harian paling baru tergantung orderan sih, kalau produksi harian sekarang ada yang produksi 2.000, 1.500, dan 500 pcs, tergantung permintaan," ujar Ravie.

Saat ini, Ravie sudah tak lagi bekerja secara mandiri. Dia sudah dibantu oleh 18 karyawan yang menempati berbagai posisi. Ada 15 di bagian produksi dan tiga karyawan di bagian office.

Selain itu, Rafins Snack juga sudah tidak berproduksi di kamar kosan di daerah Depok. Melainkan, sudah punya pabrik di Lampung.

Tak hanya tersebar di seluruh pelosok Indonesia, produk Rafins Snack kini sudah tersebar ke beberapa negara, seperti Turki, Mesir, Malaysia, dan Singapura.

Lulus Ujian
Kepada Validnews, Ravie bercerita, ada sejumlah suka duka selama dia merintis bisnis yang telah berusia lima tahun, atau berdiri sejak 14 Agustus 2018 silam ini.

Salah satu suka yang dia rasakan adalah saat terus mendapatkan pemasukan dan bisa membuka lapangan pekerjaan untuk beberapa karyawannya.

Sementara itu, dalam merintis bisnis Rafins Skin yang telah berdiri kokoh saat ini, juga diakuinya tidaklah mudah. Terdapat beberapa rintangan yang harus dilewati. Bahkan terkadang datangnya ujug-ujug tak kenal waktu.

Saat pada awal membuka usaha, misalnya, keluhan berdatangan dari konsumen terkait kemasan yang digunakan untuk membungkus produknya. 

Selain itu, konsumen juga sempat mengeluh pada proses ekspedisi atau pengiriman saat ada beberapa paket yang hilang.

"Kalau keluhan konsumen itu sudah kita lalui dari tahun-tahun yang lama sih, kemasannya bocor atau pengirimannya hilang satu. Kalau sekarang memang sudah nggak ada, sudah antisipasi," tegasnya.

Rafins Snack juga sempat terdampak saat pandemi covid-19. Sebelum pagebluk datang, Rafins Snack dijanjikan menjadi satu-satunya oleh-oleh untuk sebuah event nasional yang digelar di Lampung. Persiapan untuk memenuhi permintaan oleh-oleh itu tuntas dilakukan Ravie. 

Konsep telah dipikirkan dengan matang, tugas sudah dibagi dengan karyawan, produksi hingga 10 ribu pcs juga dilakukan. Apa daya, pandemi sudah keburu datang.

"Terus kita pikir ah covid, satu minggu dua minggu juga hilang. Eh, ternyata tiga tahun gitu kan," timpalnya.

Masifnya penularan covid membuat pemerintah memberlakukan PSBB untuk mengerem penularan, menjadi batu ujian selanjutnya bagi Rafins Snack. Larangan masyarakat beraktivitas di luar rumah juga berpengaruh pada toko oleh-oleh, mall, dan hotel.

Alhasil, produk yang sudah dipajang baik di toko oleh-oleh dan mall terpaksa dikembalikan. Hal ini tentu membuat produknya makin menumpuk.

Ravie pun memutar otak. Dia memikirkan cara agar tetap bisa menjual produk Rafins Snack yang telah terlanjur diproduksi, dan pada saat bersamaan juga harus tetap menggaji karyawannya di tengah lesunya pesanan yang masuk.

Dia mulai melakukan riset. Hasilnya, ternyata kebiasaan atau behavior masyarakat tidak berubah, melainkan hanya berpindah saja.

Dari yang awalnya suka belanja di mal, belanja di toko-toko retail atau belanja offline, semenjak pandemi mereka beralih berbelanja dari rumah alias lewat online.

Ravie pun mencoba penjualan online. Hanya saja, merek asal Lampung ini tidak menjual produk langsung ke konsumen, melainkan kepada penjual dengan menawarkan paket distributor.

"Jadi kita jangan menjual ke konsumen, tapi kita menjual ke penjual. Jadi kita bikin paket distributor. Kita bikin paket reseller. Terus kita juga mengajak driver Gojek untuk kerja sama membawa produk Rafins Snack dulu," terang Ravie.

Dengan berbagai taktik tersebut, dalam kurun waktu tiga bulan saja, pesanan yang masuk kembali meningkat. Bahkan, dikatakan Ravie jumlahnya lebih tinggi daripada sebelum covid-19.

Sekarang, Rafins Snack sudah memiliki offline store, distributor, dan beberapa reseller di berbagai daerah di Indonesia.

Mimpi Ke Depan
Dari perjalanan bisnisnya, ke depan, Ravie berharap apa yang dirintisnya terus memperluas jangkauan pasarnya, terlebih di luar negeri. 

Dia berharap bisa menambah kapasitas produksi dan membuka lapangan pekerjaan yang lebih banyak lagi untuk orang-orang di sekitarnya.

Ravie juga mengaku ingin membuka jalan kepada para mahasiswa yang ingin mencoba usaha tanpa perlu mengurus legalitas. "Yang penting dia coba belajar jualan dulu aja gitu," katanya.

Tak hanya fokus di produksi, lelaki kelahiran tahun 1999 turut ingin mulai membuka usaha di hulu dan hilir. Dengan demikian, bisnisnya bisa lebih komprehensif.

"Jadi saya kan menggunakan kulit ikan, saya pengin buka usaha di bidang pengelolaan ikannya supaya bahan bakunya aman, cost produksinya juga bisa lebih murah," pungkas Ravie. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar