13 Maret 2023
19:50 WIB
JAKARTA - Keseragaman mata uang dan persatuan moneter atau monetary union di kawasan, belum menjadi prioritas ASEAN saat ini. Pasalnya, ASEAN menyadari masih banyak agenda lain yang ingin lebiu dulu diwujudkan organisasi tersebut.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) Kao Him Hourn. saat mengisi kuliah umum di Universitas Pelita Harapan di Tangerang, Senin (13/3) mengatakan, pemulihan pascapandemi menjadi prioritas ASEAN sekarang ini.
“Saya kira gagasan soal persatuan moneter sudah dibahas sejak 10 tahun bahkan 20 tahun yang lalu. Namun, perjalanannya masih sangat jauh karena kami memiliki prioritas lain,” ucap Hourn dalam kuliah umum yang diikuti secara daring di Jakarta.
Selain pemulihan pascapandemi, Hourn menyebut beberapa agenda lain yang juga menjadi prioritas untuk segera diwujudkan. Seperti konektivitas ASEAN, penerapan ekonomi biru atau blue economy, serta meningkatkan perdagangan antar negara-negara ASEAN.
“Ini yang menjadi prioritas. Terkait persatuan moneter, saya kira itu masih terlalu membingungkan,” kata Hourn.
Mata Uang Bersama ASEAN Belum Dibutuhkan
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri juga menilai, belum saatnya Indonesia dan ASEAN membentuk mata uang bersama seperti yang terjadi pada Eropa.
Menurut Yose, mata uang bersama belum terlalu dibutuhkan di ASEAN saat ini, mengingat sejumlah negara di Asia Tenggara kini telah menjalin kerja sama pembayaran berbasis digital yang akan memudahkan pembayaran di kawasan.
"Saya kira konektivitas pembayaran ini juga sejalan dengan inisiatif multi-tahun ASEAN untuk memiliki sistem pembayaran lintas batas, misalnya QRIS Indonesia dapat digunakan di negara lain," ujar Yose dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa.
"Jika itu bisa diimplementasikan dengan sukses, saya kira kita tidak perlu mata uang bersama, setidaknya dalam beberapa tahun ke depan," imbuhnya.
Presiden Joko Widodo menghadiri KTT ASEAN ke-38 dan 39 secara dalam jaringan di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Selasa (26/10/2021). ANTARAFOTO/Biro Pers dan Media Kepresidenan/Lukas
QR Lintas Negara
Untuk diketahui, Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun ini telah mengusulkan pengembangan regional payment connectivity guna mendukung pembayaran lintas batas.
Lima bank sentral di Asia Tenggara yaitu Bank Indonesia (BI), Bank Negara Malaysia (BNM), Bangko Sentral ng Pilipinas (BSP), Monetary Authority of Singapore (MAS), dan Bank of Thailand (BOT), juga telah sepakat untuk meningkatkan kerja sama konektivitas pembayaran di kawasan.
Kerja sama ditujukan untuk mewujudkan dan mendukung pembayaran lintas batas yang lebih cepat, murah, transparan, dan inklusif dengan mengintegrasikan infrastruktur pembayaran digital masing-masing, termasuk QR lintas negara dan fast payment.
Indonesia saat ini telah memiliki sejumlah teknologi pembayaran berbasis digital, seperti Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) dan BI Fast. Kedua teknologi itu memungkinkan masyarakat untuk melakukan transaksi hanya melalui scan QR di lima negara tersebut.Namun, sejak regional payment connectivity disepakati pada November 2022, QRIS lintas negara saat ini baru bisa digunakan di Thailand.
Alih-alih menanti terciptanya mata uang bersama yang rumit, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Doni Primanto Joewono mengatakan kerja sama mata uang lokal melalui Local Currency Settlement (LCS) secara luas, telah mendorong peningkatan volume perdagangan dan investasi antarnegara ASEAN, termasuk Indonesia.
Pada tahun 2018 BI menetapkan inisiatif LCS yang mendiversifikasi penyelesaian transaksi bilateral antara Indonesia dan negara mitra, dengan menggunakan mata uang lokal negara masing-masing. "Ini sebagai upaya BI dalam mendukung otorisasi pembayaran lintas batas," ujar Doni baru-baru ini.
Ia menjelaskan transisi pencatatan metode LCS dilakukan melalui bank mitra Appointed Cross Currency Dealer (ACCD) dengan beberapa penyesuaian yang diperlukan. Bank ACCD ditunjuk oleh otoritas kedua negara untuk memfasilitasi pelaksanaan LCS melalui pembukaan rekening mata uang negara mitra di negara masing-masing.
Menurut Doni, penerapan LCS menjadi gambaran, sinergi antarnegara menjadi kunci agar bisa maju dan berkembang. "Kemungkinan untuk pulih dari pandemi covid-19 dapat dicapai dengan sinergi melalui pendekatan inovatif dan merangkul era baru yaitu era digital," ucapnya.
BI mencatat realisasi transaksi LCS pada tahun 2021 mencapai US$2,5 miliar, naik signifikan dari tahun 2020 yang hanya sebesar US$797 juta. Pada tahun ini otoritas moneter pun menargetkan transaksi melalui LCS bisa meningkat 10% dari pencapaian tahun lalu.