c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

22 Juni 2024

17:53 WIB

Masalah Rafaksi Migor, Dulu Pemerintah Teken Kontrak Dengan Produsen

Saat krisis minyak goreng pada 2022 lalu, pemerintah meneken perjanjian dengan produsen, bukan peritel, sehingga pemerintah membayar utang rafaksi migor kepada produsen.

Penulis: Aurora K M Simanjuntak

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted">Masalah Rafaksi Migor, Dulu Pemerintah Teken Kontrak Dengan Produsen</p>
<p id="isPasted">Masalah Rafaksi Migor, Dulu Pemerintah Teken Kontrak Dengan Produsen</p>

Pedagang memperlihatkan minyak goreng kemasan bersubsidi Minyakita di Pasar Barito, Kota Ternate, Maluku Utara, Rabu (8/2/2023). Antara Foto/Andri Saputra

JAKARTA - Krisis minyak goreng (migor) pada 2022 menimbulkan utang rafaksi, yang belum dibayarkan oleh pemerintah kepada produsen serta peritel hingga saat ini. Pemerintah menyatakan akan membayar utang tersebut kepada produsen minyak goreng.

Pada saat itu, pemerintah meneken perjanjian dengan produsen migor untuk penyediaan kebutuhan Minyak Goreng Kemasan, yang saat ini disebut Minyakita.

Sementara itu, para peritel domestik tidak meneken perjanjian langsung dengan pemerintah untuk memasok komoditas migor. Melainkan, posisi peritel menjadi pihak yang menjual migor dengan harga sesuai kebijakan “satu harga minyak goreng” yang pada itu senilai Rp14.000/liter.

Hal itu disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey kepada Validnews. Karena peritel tidak terlibat perjanjian langsung, maka pemerintah membayarkan utang rafaksi migor kepada produsen.

"Betul (Aprindo tidak ada perjanjian tertulis). Jadi waktu itu peritel mendapat tugas saja, sesuai Pasal 12 Permendag 3/2022, tugas kami menjualkan minyak goreng satu harga," ujar Roy kepada Validnews, Sabtu (22/6).

Ketum Aprindo menerangkan utang rafaksi minyak goreng ini sah saja dibayarkan pemerintah kepada produsen, karena sesuai ketentuan dalam Permendag 3/2022. Sebab, memang produsen migor lah yang meneken kontrak dengan pemerintah.

"Jadi memang perjanjiannya enggak langsung dengan kita, tapi pemerintah dengan produsen," terang Roy.

Nantinya, setelah mendapatkan pembayaran utang rafaksi dari pemerintah, produsen juga harus membayarkan selisih harga kepada peritel yang sudah menjual migor di bawah harga pasaran saat itu karena peristiwa krisis minyak goreng.

Roy menjelaskan dana yang dipakai untuk membayarkan utang rafaksi kepada produsen itu bersumber dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Artinya, bukan dana dari APBN ataupun belanja Kementerian/Lembaga, dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag).

"Di Permendag 3/2022, BPDPKS yang membayar (utang rafaksi migor), jadi bukan uang APBN ataupun uang dari anggaran Kemendag. Kemudian, perjanjian pembayaran dari pemerintah itu diberikan kepada produsen, memang produsen yang membuat perjanjian," imbuhnya.

Baca Juga: Utang Rafaksi Minyak Goreng Dibayar ke Produsen, Ini Tanggapan Aprindo

Transparansi
Seperti diketahui, Indonesia sempat mengalami krisis minyak goreng pada 2022, kondisi di mana harga migor saat itu menjulang tinggi dan membuat masyarakat ricuh. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah menerapkan kebijakan satu harga minyak goreng yang dipatok senilai Rp14.000/liter.

Dalam hal ini, Roy menjelaskan posisi peritel menjadi pihak yang ikut menanggung kerugian akibat selisih penjualan migor pada 2022 lalu karena pemerintah menerapkan kebijakan minyak goreng satu harga.

Roy mencontohkan, sederhananya, peritel membeli migor dari produsen dengan harga normal senilai Rp20.000. Ketika pemerintah menerapkan kebijakan “satu harga”, maka peritel harus menjual migor dengan harga yang lebih rendah daripada harga belinya, yaitu harga jualnya Rp14.000/liter.

Selisih harga penjualan itulah yang menjadi utang rafaksi, dan harus dibayarkan produsen migor kepada peritel. Sementara produsen pun, sampai sekarang masih menunggu pembayaran utang rafaksi tersebut.

Lebih lanjut, meski peritel domestik tidak menerima pembayaran utang rafaksi langsung dari pemerintah, Aprindo meminta transparansi dari pemerintah ataupun BPDPKS mengenai perhitungan utang rafaksi, termasuk yang akan dibayarkan kepada produsen migor.

"Kami ingin keterbukaan dari pemerintah sebenarnya berapa sih (utang rafaksi) yang harusnya dibayarkan? Kemarin dari hasil pembicaraan, pernyataan Kemendag bahwa akan dibayarkan sesuai perhitungan Sucofindo," kata Roy.

Adapun besaran klaim pembayaran rafaksi migor yang telah diverifikasi oleh Sucofindo totalnya senilai Rp474,8 miliar. Sementara menurut Roy, jumlah utang rafaksi migor lebih dari perhitungan Sucofindo tersebut, yaitu di atas Rp800 miliar.

"(Hitungan Sucofindo) itu Rp474 miliar ini sudah gabungan dari rafaksi dari minyak goreng retail dan rafaksi dari produsen kepada pasar rakyat. Nah kalau digabung itu sebenarnya totalnya hampir sekitar Rp800 miliar lebih, perhitungan dari awal ya," ujar Roy.

Baca Juga: Yang Krusial Dari Fenomena Harga Minyak Goreng

Perhitungan Tak Tepat
Melihat perhitungan Sucofindo tersebut, Roy menilai kalkulasi tersebut kurang tepat dan tidak transparan. Menurutnya, perhitungan Sucofindo tidak sesuai dengan perhitungan yang dilakukan peritel.

Karena itu, apabila pembayaran utang rafaksi migor menggunakan perhitungan Sucofindo, maka peritel merugi.

"Berarti kan kami berkurang di atas 50% ya, dari perhitungan yang dilakukan oleh Sucofindo. Ini yang kami sudah buat pernyataan, pada prinsipnya kami meminta transparansi data perhitungan Sucofindo tapi belum diberikan. Sampai hari ini tidak diberikan," tandas Ketum Aprindo.

Karena belum ada transparansi kalkulasi, Roy mengaku pihak peritel saat ini menerima perhitungan rafaksi dari Sucofindo sambil menunggu kejelasan pembayaran utang rafaksi migor dari BPDPKS.

"Tahap pertama ini kami mau menerima saja dulu, supaya bisa melihat berapa yang dibayarkan. Nah nanti tahap kedua, kami akan perhitungkan apakah sudah sesuai, sudah benar dengan yang menurut Sucofindo itu," papar Roy.

Apabila setelah observasi dan menghitung kembali, seluruh anggota Aprindo melihat bahwa hitungan pembayaran utang rafaksi ternyata tidak sesuai, maka para peritel domestik akan meminta tanggapan pemerintah. Lalu jika tidak ditanggapi, barulah akan dilawan dengan cara menempuh proses hukum.

“Bakal polemik baru lagi. Kami sekarang sudah dirugikan, dari 2,5 tahun lalu belum dibayarkan, ini berapa besar bunga yang hilang, berapa besar nilai kerugian yang sudah ditanggung. Kalau nanti dibayar hanya sesuai Sucofindo, kemudian nilainya jauh daripada perhitungan sebenarnya maka kami akan bawa persoalan ini lagi," tutup Roy.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar