21 Juli 2025
20:42 WIB
Mametto Leather, Perjalanan Mengubah Hobi Jadi Duit
Mengubah hobi menjadi pekerjaan, apalagi menjadi duit, bukan hal mudah. Mametto Leather salah satu yang berhasil melakukannya.
Penulis: Fin Harini
Editor: Fin Harini
Produk kerajinan kulit handmade Mametto Leather yang dipamerkan di ajang Solo Art Market (SAM) di Solo, Jawa Tengah, Minggu (20/7). ValidNewsID/Fin Harini
SOLO - Bermula dari hobi, lalu jadi ide untuk mewariskan sebuah usaha untuk anak-anak kelak. Begitulah yang dilakukan Nur Achmad Zaenal dengan membuka sebuah usaha kerajinan kulit yang diberi nama Mametto Leather. Ya, buat banyak orang, apa yang dilakukannya adalah mimpi.
Semuanya bermula dari Medio 2016. Kala itu pria yang akrab disapa Achmad ini mulai berkenalan dengan kerajinan dari kulit. Achmad yang hobi mengulik jam antik bertemu dengan seorang teman yang membuat strap jam dari kulit.
Achmad langsung jatuh hati pada kerajinan kulit. Jadilah hobinya bertambah: membuat aneka produk dari kulit. Padahal, Achmad tak memiliki kemampuan soal kulit. Tak satu pun alat yang ia miliki untuk membuat kerajinan tersebut.
Dari Youtube, ia mengenal beragam peralatan yang digunakan untuk membuat kerajinan kulit, mulai dari prong punch atau alat mirip garpu untuk membuat lubang tempat benang dimasukkan saat menjahit, awl atau alat untuk membuat lubang misalnya untuk memasang kancing, alat untuk memotong, hingga untuk menipiskan kulit.
“Tahun 2016 itu awal pertama kali pegang kulit. Akhirnya aku belajar otodidak dari Youtube, belajar teknik-teknik menjahit dari Youtube,” katanya saat berbincang dengan ValidNews di sela Solo Art Market (SAM), Minggu (21/7) di Solo, Jawa Tengah.
Dari Youtube pula ia belajar teknik menjahit kulit secara manual, hingga gaya desain produk.“Aku kiblatnya ke Jepang,” tutur Achmad.
Kebiasaan mengumpulkan ilmu untuk mempertajam teknik masih dilakukan Achmad hingga kini. Ia mengikuti obrolan grup di sebuah media sosial, atau berdiskusi dengan teman-temannya sesama crafter kulit.
Sembari belajar, Achmad mulai berburu peralatan. Tak seperti sekarang, saat itu peralatan untuk kerajinan kulit masih langka. Biasanya peralatan itu didatangkan dari Jepang atau China dan belum banyak buatan lokal.
Achmad harus mencari importir untuk membeli kebutuhan peralatan yang diperlukan. “Saking susahnya mencari alat, aku pernah bikin sendiri dari garpu,” ujarnya sambil tertawa.
Namanya hobi, Achmad membuat berbagai barang yang ia mau tanpa memikirkan ongkos produksi atau kapan balik modal. Benar-benar suka-suka. Bahkan, ia tak sayang untuk melepas bahan baku kulit, atau membiarkan stok kulit yang dimilikinya ditebus murah oleh teman.
Seiring berjalannya waktu, Achmad dan istri mulai memikirkan untuk mengubah hobi menjadi usaha. Apalagi, saat itu Achmad meninggalkan pekerjaannya di Jakarta dan pindah ke Solo, kota istrinya. Terbersit juga pemikiran untuk merintis usaha, dan mewariskan ke anak mereka kelak. Hobi ini mulai dipikirkannya serius.
Tahun 2019, Achmad mulai mengubah hobi menjadi usaha, dimulai dengan melayani pesanan yang muncul dari para kenalan. Saat menekuni hobi, Achmad kerap membuat produk untuk dipakai mertua atau sang istri, salah satunya lanyard.
Pesanan pun mengalir setelah kenalan melihat hasil karya Achmad. Ada yang memesan hingga 15 buah untuk seragam kantor.
“Jadi, dari 2016-2018 masih hobi. Lalu 2019 mulai kerja. Ya dianggap yang hobi itu sebagai RnD, seharga motor Ninja. Ya RnD kan mahal,” candanya.
Pengunjung menyambangi stand kerajinan kulit handmade Mametto Leather di ajang Solo Art Market (SAM) di Solo, Jawa Tengah, Minggu (20/7). ValidNewsID/Fin Harini
RnD Kedua
Tapi, memulai usaha tak mudah. Ada banyak hal yang harus dilakukan Achmad agar konsumen datang dan meminang produk yang ia buat, dan membuat bisnisnya tumbuh kuat.
Salah satu perubahan yang dilakukan Achmad di awal adalah menekan idealismenya sebagai crafter. Jika di awal Achmad memegang teguh ide dan konsep produk yang ia hasilkan, ia kemudian mulai merangkul selera pasar tanpa meninggalkan konsep dasar yang menjadi pakem Mametto Leather.
“Soalnya kiblatnya ke Jepang, jadi kadang desainnya tidak biasa di sini. Tapi ya berusaha menekan ego. Makanya aku nulis ‘your ego is not your amigo’ di salah satu tas,” katanya.
Bagi Achmad, kalimat ini bukan sekedar kalimat nyeleneh untuk disematkan di produk demi memenuhi selera pembeli muda. Kalimat ini juga jadi pengingat dirinya, bahwa ego kerap kali justru menghambat pertumbuhan dan kesuksesan pribadi, lantaran ego lebih fokus pada diri sendiri.
Dengan merangkul selera pembeli, Achmad justru melahirkan produk baru. Ia memberikan contoh, salah satunya pengembangan dompet kartu. Achmad membuat produk itu berdasarkan prilaku konsumen saat ini yang mengarah ke cashless dan hanya membawa dompet kecil untuk kartu.
Suatu saat, seorang konsumen menanyakan apakah ada dompet kartu yang diberi kaitan, sehingga mudah dicantolkan di tas atau lanyard.
“Akhirnya jadi begini, ada kaitannya supaya mudah. Jadi ini usulannya dari orang Jakarta, kan mereka naik MRT, Transjakarta, KRL dan kartunya harus gampang diambil. Jadi biasanya digantungkan di tas atau lanyard,” katanya.
Permintaan konsumen kini dimaknai Achmad sebagai belanja ide untuk mendesain produk baru yang relevan dengan kebutuhan konsumen.
Soal belanja ide ini, Achmad tak hanya menunggu ide dari konsumen. Sesi jalan-jalan pacaran dengan istri kini juga dipakai untuk memerhatikan apa saja yang dipakai oleh masyarakat dan mencari ide produk baru.
Meski melakukan perubahan, Achmad mempertahankan pakem desain Jepang. Misalnya, dompet yang dilengkapi kantong untuk koin. Bagi masyarakat Jepang yang masih menghargai uang koin, keberadaan kantong ini penting. Sementara, kantong itu jarang ada di desain dompet lokal. Maklum, masyarakat Indonesia jarang menggunakan uang koin.
“Tapi, konsumen malah melihat dompet yang ada kantong koinnya itu unik, lucu. Dan akhirnya membeli,” katanya.
Sebagai informasi, Mametto Leather membatasi jumlah produk per desain. Tujuannya agar konsumen senang lantaran memakai produk yang memang limited, bukan pasaran.

Selain merangkul selera konsumen, Achmad juga mengubah cara berhadapan dengan konsumen. Pria introvert ini tadinya tidak nyaman untuk berhadapan dengan konsumen. Namun, pelan-pelan, kini ia lebih luwes berhadapan dengan konsumen.
Soal dilema penetapan harga yang kerap dialami para crafter juga pernah dirasakan Achmad. Satu sisi, dia ingin menghargai kerja keras dan karyanya. Di sisi lain, UMR Solo membatasi daya beli.
Akhirnya Achmad mencari jalan tengah. Ia tak ingin mengurangi kualitas kulit yang jadi bahan baku. Untuk yang satu ini, Achmad berkeras Mametto Leather tetap menggunakan kulit ecco leather dengan kualitas mumpuni. Kulit kualitas ini biasanya dikirim ke luar negeri.
Alasan Achmad kekeuh menggunakan kulit kualitas top ini adalah kulit lokal yang pernah digunakan Mametto umumnya didempul agar permukaan mulus. Dempul ini justru membuat proses pewarnaan atau penipisan, jika memang ada yang terlalu tebal, jadi terkendala. Hasilnya tak bagus.
“Kalau eco leather, luka di kulit ya dibiarkan saja. Nah, ini justru aku pakai dan jadi trik marketing,” katanya.
Kalau konsumen menanyakan kenapa ada bekas garis, ia akan menjelaskan bahwa ini jadi salah satu penanda kalau kulit yang digunakan asli dari sapi, dan sapi tak selalu mulus. Bekas luka justru jadi signature sebuah produk. Dan biasanya, konsumen akan menerima.
Untuk menekan harga, Achmad menggunakan hardware seperti kancing, resleting, atau kait dengan kualitas medium. Diakuinya, kualitas ini tak long lasting, ada masanya hardware ini akan mengalami kerusakan. Karena itu, Achmad memberikan garansi produk Mametto Leather. Produk yang mengalami kerusakan bisa dibawa kembali untuk diperbaiki. Langkah ini juga dipakai Achmad untuk meriset, merek hardware apa yang lebih kuat.
Berbagai perubahan dilakukan Achmad tak berlangsung begitu saja. Perubahan ini melewati proses sejak awal hobi berubah menjadi bisnis. Achmad yang seorang seniman kerap berseberangan dengan istri yang punya latar belakang marketing di awal perjalanan Mametto sebagai bisnis. Banyak hal yang tidak bertemu.
Sang istri akhirnya resign dan off setahun, demi mempelajari dunia produksi kerajinan. Setelah lebih memahami dunia crafter, ia juga mengubah pandangannya. Di sisi lain, Achmad juga mulai menerima pandangan istri, sehingga keduanya lebih klop.
Pertemuan antara idealisme crafter dan sisi marketing ini yang kemudian mendorong perubahan-perubahan.
“Ya bisa dibilang ini RnD kedua,” ucapnya.
Pemilik Mametto Leather, Nur Achmad Zaenal, tengah mengerjakan sebuah tas, di sela Solo Art Market di Solo, Jawa Tengah, Minggu (20/7). ValidNewsID/Fin Harini
Titik Balik di SAM
Bisnis Mametto Leather menanjak setelah ikut Solo Art Market (SAM). Ini adalah pasar seni untuk mewadahi crafter, tak hanya di area seputar Solo namun juga daerah lain.
Semula, ajang yang juga membuka kesempatan masyarakat untuk belajar aneka kerajinan tangan ini diadakan tiap pekan kedua dan keempat. Namun, mulai Agustus mendatang, SAM hadir tiap pekan.
“Ada keuntungan mengikuti SAM ini, kita disediakan tempat. Dengan biaya terjangkau, kita dibantu promosi, ya di Ig (Instagram), di Tiktok,” sebut Achmad.
Mametto Leather yang tak memiliki toko offline, dan hanya bersandar pada akun Instagram, menjadikan SAM sebagai toko offline-nya. Sebelum mengikuti SAM, kebanyakan konsumen mengetahui dari akun Instagram dan penjualan bersifat custom. Kini, jumlah konsumen bertambah dengan komposisi berimbang antara custom dan pembeli produk jadi di SAM.
Diakuinya, tak setiap pekan ia menikmati penjualan. Ada kalanya zonk, tak ada produk yang dipinang pelanggan meski seharian berjualan.
Achmad tak berkecil hati. Kembali ia mengingat, produk yang ia jual bukanlah produk yang dibeli orang setiap hari. Tapi, SAM membuka peluang yang cukup besar. Tak jarang ia mendapat konsumen dari kota lain seperti Jakarta, yang mengetahui soal Mametto Craft dari SAM.
“Saya pernah dapat pesanan cukup besar dari sebuah bank swasta di Jakarta. Saya tanya, tahu Mametto Leather dari mana? Ternyata tahu dari SAM, pas ke Solo pas main ke SAM,” ungkapnya.
Tak jarang pengunjung SAM jadi pelanggan tetap dan repeat order berkali-kali. Bahkan, ada yang meminta Mametto Leather untuk mengikuti bazar atau menggelar workshop di kota asal mereka.
Bergaul akrab dengan sesama crafter di SAM juga menumbuhkan ide kolaborasi. Terkini, Mametto Leather membuat sebuah tas dengan warna burgundy yang dilengkapi dengan hiasan penyu, kerang, kuda laut dan ganggang, dengan sisi terbuat dari resin buah karya crafter lain. Melengkapi tampilan cantik tas itu, ada strap kain yang dibuat menggunakan teknik tenun kartu, juga karya crafter lainnya.
Pasar yang semakin luas berdampak pada rupiah yang dikumpulkan Achmad. Omzet naik pesat, hingga kini rata-rata ia mengantongi omzet Rp5 juta per bulan. Diakui Achmad, omzet tidak merata namun sesuai siklus yakni melandai di awal hingga pertengahan tahun dan bakal menanjak hingga akhir tahun.
Kini, Achmad mulai berfikir untuk mempekerjakan karyawan. Kenaikan permintaan membuat Achmad mulai merasa keteteran mengisi stok. Maklum, proses pembuatan satu produk memakan waktu cukup lama lantaran semua dikerjakan manual menggunakan tangan.
“Kalau habis event kayak di Bintaro kemarin, atau pas ada custom, stok untuk mengisi SAM ya berkurang. Ini nggak sebanyak biasanya,” kata Achmad, merujuk pada display yang tak terlalu ramai oleh produk Mametto.
Achmad memang mengaku mendahulukan pesanan custom yang sudah pasti.
Opsi mempekerjakan karyawan tadinya tidak ada dalam benak Achmad maupun istrinya. Keduanya sadar, tak semua orang cukup tekun untuk mengerjakan kerajinan kulit. Padahal, selain design unik, ada kualitas yang juga jadi keunggulan Mametto Leather.