c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

18 Februari 2025

12:38 WIB

LPEM UI: Penertiban Kawasan Hutan Harus Dilakukan Dengan Bijak

Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan sebaiknya melakukan verifikasi lahan-lahan sawit secara detail, sebelum melakukan penertiban. Jangan sampai justru mengganggu iklim investasi

<p>LPEM UI: Penertiban Kawasan Hutan Harus Dilakukan Dengan Bijak</p>
<p>LPEM UI: Penertiban Kawasan Hutan Harus Dilakukan Dengan Bijak</p>

 Polisi Hutan menertibkan aktivitas perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam kawasan hutan produksi di Desa Pelepak Putih, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitumg, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. dok. Antaranews

JAKARTA - Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Eugenia Mardanugraha menilai, penertiban kawasan hutan harus dilakukan dengan bijak. Langkah tersebut juga harus dilakukan dengan memprioritaskan kegiatan ekonomi yang sudah berjalan di lahan tersebut.

Hal ini mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, yang menurut Euginia sebaiknya tidak dijalankan secara membabi buta, tanpa melihat sejarah munculnya tumpang tindih lahan kelapa sawit di kawasan hutan tersebut. Dengan begitu, kebijakan yang diambil pemerintah tidak merugikan kepentingan masyarakat secara luas serta tidak berakibat buruk pada iklim investasi di Indonesia.

“Perpres ini tujuannya baik tapi jangan dijalankan secara membabi buta,” kata Euginia, dikutip dari keterangan resmi di Jakarta, Selasa (18/2).

Menurut dia, Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan sebaiknya melakukan verifikasi lahan-lahan sawit tersebut secara detail sebelum melakukan penertiban. Perpres No. 5 Tahun 2025 mengenai Penertiban Kawasan Hutan ini juga mengatur pembentukan Satgas Penertiban Kawasan Hutan yang memiliki sejumlah tugas.

Tugas tersebut yaitu melaksanakan penertiban kawasan hutan melalui penagihan dikenakan sanksi denda administratif, pidana, penguasaan kembali kawasan hutan dan pemulihan aset di kawasan hutan. Lebih lanjut, Euginia berharap pemerintah tidak mengambil alih begitu saja, tapi harus melalui proses yang jelas dan berkeadilan.

Terlebih, di atas lahan-lahan sawit tersebut, rata-rata sudah ada kegiatan ekonomi yang melibatkan banyak pihak. “Saya kurang setuju (direbut kembali). Mereka juga sudah berkontribusi untuk Indonesia. Dulunya hutan, ditanam sawit, sawitnya dijual. Multiplier ekonominya sudah besar,” kata dia.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut, dari total 16,38 juta hektare kebun kelapa sawit, terdapat lebih kurang 3,3 juta hektare lahan berada di dalam kawasan hutan.

Karena itu, dia mengusulkan agar pemerintah bermusyawarah dengan seluruh pihak terkait di industri sawit untuk menemukan jalan terbaik. Kalau misalnya ada sanksi denda, hal tersebut bisa dilakukan dengan perhitungan yang jelas. “Intinya jangan sampai menjadi lahan kosong yang tidak ada nilai ekonominya karena diambil alih oleh pemerintah. Jangan sampai nilai ekonominya turun,” ujar dia.

Ketahanan Pangan
Polri dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) sendiri, menjalin kolaborasi dalam pemanfaatan hutan, guna mendukung program ketahanan pangan pemerintah. Kolaborasi itu dibicarakan dalam pertemuan antara Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni dan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo di Gedung Rupatama Mabes Polri, Jakarta, Senin.

Raja Juli mengatakan, Kemenhut memiliki nomenklatur yang disebut sebagai cadangan, pangan, energi, dan air. Pihaknya telah mengidentifikasi tanah-tanah yang bisa dimanfaatkan.

"Ada 20,6 juta hektare tanah yang dapat dipergunakan untuk cadangan pangan, energi, dan air," ucapnya.

Tanah-tanah tersebut, kata dia, akan dimanfaatkan untuk kepentingan pangan tidak dengan cara deforestasi, melainkan dengan cara tumpang sari atau agroforestri, yaitu dengan menanami kembali lahan-lahan yang sudah tandus.

"Kita kembali tanam pohon-pohon keras atau HHBK (hasil hutan bukan kayu). Tapi saat bersamaan kita bisa tanam jagung, padi gogo, sorgum, dan lain sebagainya sehingga akan mendukung ketahanan pangan, energi, dan air serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat," tuturnya.

Oleh karena itu, ia berharap agar ada penandatanganan perjanjian kerja sama (PKS) antara kepolisian di tingkat kapolda dengan UPT Kemenhut di daerah-daerah, guna mengidentifikasi lahan-lahan yang berpotensi untuk dijadikan lahan cadangan pangan dan energi.

Sementara itu, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menyambut baik ajakan kerja sama Menhut terkait upaya identifikasi lahan-lahan guna ketahanan pangan. "Setelah ini, secara teknis akan dibuat perjanjian kerja sama, sehingga kemudian Bapak Menteri Kehutanan bisa memberikan ruang mana yang bisa kita kerja samakan untuk mendorong program-program ketahanan pangan," ujarnya.

Dirinya pun memastikan pula, masyarakat akan dilibatkan dalam upaya penanaman hutan. "Tentunya kami selalu akan melibatkan kelompok masyarakat, apakah itu masyarakat perhutanan sosial ataupun masyarakat yang ada di sekitar hutan sehingga ini menjadi hubungan kerja sama, kinerja antara masyarakat, pemerintah dengan pemerintah terkait lainnya," ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut, Kapolri Sigit dan Menhut Raja Juli menandatangani perpanjangan nota kesepahaman dalam hal penegakan hukum guna melindungi hutan. Salah satu hal yang menjadi perhatian kedua belah pihak tersebut adalah potensi karhutla mengingat saat ini sudah mulai memasuki musim panas.

"Tentunya, (nota kesepahaman, red.) ini memperkuat sinergisitas kita dalam hal penegakan dan juga terkait dengan pelanggaran-pelanggaran hukum yang terkait dengan masalah kehutanan. Polri siap untuk melaksanakan back up untuk betul-betul bisa menyelamatkan hutan," kata Kapolri.

UUD Pasal 33
Sebelumnya, Raja Juli Antoni mengatakan Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) menjadi pedoman dalam menjalankan Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin. Pasal 33 UUD yang selalu ditekankan Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan, yakni mengatur tentang perekonomian Indonesia, termasuk sumber daya alam yang dikuasai negara.

"Saya berharap dengan satgas baru ini, Pasal 33 yang selalu menjadi 'stressing' Pak Presiden Prabowo dapat kita menjadikan pedoman untuk menjalankan satgas ini. Jadi ini nothing personal," kata Raja Juli.

Raja Juli mengapresiasi dibentuknya Satgas Penertiban Kawasan Hutan, karena tata kelola hutan, khususnya dari industri kelapa sawit telah menjadi permasalahan puluhan tahun. Bahkan, Presiden Ke-7 RI Joko Widodo juga pernah membentuk satgas serupa dengan menunjuk Luhut Binsar Panjaitan yang saat itu sebagai Ketua Pengarah Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara.

"Ini adalah masalah yang telah terlaksana, telah terlanjur terjadi 20-30 tahun. Terakhir Pak Jokowi juga membuat satgas yang dipimpin oleh Pak Luhut. Saya (sebagai) wakil ketua pelaksana. Sudah bekerja keras tapi belum selesai," kata Raja Juli.

Ia menambahkan, satgas yang dibentuk Presiden Prabowo melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 mengenai Penertiban Kawasan Hutan, ini berupaya untuk mengoptimalkan fungsi hutan untuk menyejahterakan masyarakat. Pembentukan satgas ini, kata Raja Juli, tidak bermaksud membuat jera perusahaan sawit tertentu.

"Pak Prabowo waktu itu menyatakan ini tidak ada persoalan-personal apalagi soal kemarahan atau dendam. Tapi semata-mata untuk mendekatkan Pasal 33 yang ujungnya adalah memaksimalkan fungsi lahan kita," kata Raja Juli.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, Satgas Penertiban Kawasan Hutan dipimpin oleh Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin sebagai Ketua Pengarah, kemudian Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah menjadi Ketua Pelaksana. Satgas ini akan bertugas melaksanakan penertiban kawasan hutan melalui penagihan denda administratif, penguasaan kembali kawasan hutan dan pemulihan aset di kawasan hutan.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar