24 April 2024
14:27 WIB
LPEM FEB UI Sarankan BI Tahan Suku Bunga di Posisi 6% Bulan Ini
Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia menilai BI masih memiliki beberapa opsi kebijakan selain menaikkan suku bunga acuan, terlebih karena dukungan jumlah cadangan devisa yang besar.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Editor: Fin Harini
Logo Bank Indonesia. Shutterstock/dok
JAKARTA - LPEM FEB Universitas Indonesia menyarankan agar Bank Indonesia mempertahankan suku bunga bank sentral tetap pada posisi 6% pada April 2024.
Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky menilai kenaikan suku bunga BI lebih dari 6% akan merugikan sektor riil. Menurutnya, BI masih memiliki beberapa opsi kebijakan lain, termasuk intervensi karena dukungan jumlah cadangan devisa yang besar hingga US$140,4 miliar per Maret 2024.
"Kami berpandangan bahwa BI perlu mempertahankan suku bunga kebijakannya pada 6,00% untuk saat ini," ujarnya dalam laporan Seri Analisis Makroekonomi Rapat Dewan Gubernur BI April 2024, Rabu (24/4).
Riefky juga meminta BI mempertimbangkan dua hal agar tidak mengerek BI Rate di atas 6%. Pertama, laju inflasi umum yang meskipun meningkat menjadi 3,05% yoy pada Maret 2024 namun masih dalam kisaran target BI.
Kedua, pelemahan rupiah karena sentimen ‘high-for-longer’ suku bunga bank sentral Amerika Serikat The Fed dan konflik global, terutama perang Timur Tengah.
Terkait inflasi, Riefky menjelaskan inflasi umum pada Maret 2024 lebih tinggi dari posisi Februari 2024 yang sebesar 2,75% yoy. Dengan begitu, inflasi melanjutkan tren kenaikan sejak Januari 2024.
"Meski angka inflasi terakhir ini merupakan yang tertinggi dalam tujuh bulan terakhir, angka tersebut masih berada dalam kisaran target BI sebesar 2,5% hingga 3,5%," terangnya.
Baca Juga: Pelemahan Rupiah Dorong BI Ambil Langkah Hawkish
Riefky menjelaskan peningkatan inflasi umum disebabkan kenaikan harga pangan. Dalam enam bulan terakhir, kenaikan harga pangan merupakan penyumbang utama inflasi tahunan. Itu karena musim panen tahun ini tertunda dan bergeser ke akhir Maret 2024 hingga April 2024.
Kenaikan harga pangan tercermin pada laju inflasi kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau yang naik 7,43% yoy pada Maret 2024. Angka itu naik dari 6,36% yoy pada Februari 2024, sehingga memiliki andil 2,09 poin persentase terhadap inflasi tahunan.
"Dalam sebulan terakhir, kenaikan harga pangan semakin diperburuk oleh meningkatnya permintaan pangan," tambah Riefky.
Selanjutnya, LPEM UI juga menyoroti kenaikan inflasi inti yang merupakan kenaikan pertama kali setelah tren penurunan sejak Desember 2022. Kenaikan inflasi inti disebabkan adanya peningkatan permintaan selama Ramadan.
Secara tahunan, inflasi inti Maret 2024 tercatat sebesar 1,77% yoy atau meningkat dibandingkan Februari 2024 yang sebesar 1,68% yoy. Sementara secara bulanan, inflasi inti Maret 2024 meningkat menjadi 0,23% mtm.
"Peningkatan inflasi inti disebabkan oleh kenaikan harga emas perhiasan, minyak goreng, dan nasi lauk pauk. Selain itu, efek musiman pada bulan Ramadan dan hari raya Idulfitri menyebabkan peningkatan permintaan," jelas Ekonom UI.
Riefky menambahkan kebutuhan transportasi selama kegiatan mudik Idulfitri 2024 juga diperkirakan turut berkontribusi terhadap kenaikan inflasi.
Ke depan, dengan serangkaian aspek inflasi tersebut, LPEM FEB UI meminta pemerintah melakukan antisipasi.
"Secara eksternal, pemerintah Indonesia harus mengantisipasi potensi kenaikan harga minyak akibat meningkatnya konflik antara Iran dan Israel, yang mungkin berdampak pada harga komoditas lainnya. Selain itu, pelemahan rupiah kemungkinan akan memberikan tekanan kenaikan harga melalui inflasi impor," ujarnya.
Tekanan Rupiah Karena Peristiwa Global
Selanjutnya, Ekonom UI memberikan alasan lain bagi BI untuk menahan suku bunga. Salah satu yang terpenting adalah rupiah tengah menghadapi tekanan mata uang yang sangat besar karena serangkaian peristiwa global, dan lonjakan arus keluar modal dalam dua minggu terakhir.
Hal tersebut dipicu oleh dua hal, yakni ketegangan geopolitik di Timur Tengah serta sentimen ‘high-for-longer’ suku bunga bank sentral Amerika Serikat The Fed.
Riefky menyampaikan dalam dua minggu terakhir, situasi perekonomian global dipenuhi berbagai peristiwa. Data inflasi AS yang dirilis pada 10 April secara mengejutkan meningkat ke 3,5% yoy pada Maret 2024. Naik dari posisi Februari 2024 yang sebesar 3,2% yoy, karena didorong oleh beberapa komponen harga seperti bahan bakar, harga sewa, dan asuransi kendaraan.
Angka inflasi AS yang lebih tinggi dari perkiraan ini membuat ekspektasi pasar jadi pesimis terhadap penurunan suku bunga the Fed pada Juni 2024. Saat ini, investor memproyeksikan penurunan suku bunga pertama oleh The Fed baru akan terjadi pada September.
Sementara itu, sebagian kecil investor menduga akan terjadi paling banyak satu kali pemotongan suku bunga acuan The Fed di tahun ini.
"Rilis data inflasi AS memicu gejolak di pasar keuangan dan mendorong aksi flight-to-safety oleh investor serta mengalihkan modalnya dari negara berkembang," kata Riefky.
Berikutnya, adanya peristiwa Iran VS Israel. Ekonom UI itu menilai eskalasi tensi geopolitik dua negara tersebut menyebabkan gejolak lanjutan di pasar keuangan global dan mengamplifikasi perpindahan modal ke aset safe-haven.
Bahkan, sambungnya, sebelum rilis data inflasi AS dan meningkatnya ketegangan konflik Iran-Israel, pasar keuangan Indonesia sudah berada dalam tekanan yang cukup masif.
Tercatat ada arus modal keluar dari RI sejak akhir Maret hingga awal April yang dipicu oleh sentimen; AS berpotensi menahan suku bunga acuannya lebih lama dan mendorong investor mengalihkan portofolionya sebelum periode penutupan pasar keuangan selama periode libur panjang Idulfitri.
Baca Juga: Rupiah Melemah Pengaruh Indikator Ekonomi AS Yang Kokoh
"Ketika pasar modal Indonesia kembali dibuka pada 16 April, Rupiah sudah berada di atas Rp16,000/US$ dan langsung mengalami arus modal keluar. Selama minggu pertama pasca libur Lebaran, arus modal keluar mencapai US$0,49 miliar," tutur Riefky.
Lalu, akumulasi modal keluar selama satu bulan terakhir (18 Maret-18 April 2024) mencapai US$2,11 miliar. Ini tercatat sebagai arus modal keluar bulanan terbesar sejak September 2023.
Akibatnya, imbal hasil Surat Utang Pemerintah Indonesia tenor 10 tahun meningkat ke 7,03% dari 6,67% sebulan sebelumnya. Itu mencapai titik tertingginya dalam lima bulan terakhir.
Serupa, imbal hasil Surat Utang Pemerintah Indonesia untuk tenor 1 tahun juga melonjak ke 6,33% dari 6,19% pada periode yang sama. Sebagai bentuk respons, BI meningkatkan intensitas intervensi moneter melalui strategi ‘triple intervention’ yaitu intervensi aktif di pasar spot valuta asing, pembelian SBN, dan intervensi di pasar domestic non-delivery forward (DNDF).
"Intervensi yang dilakukan BI dalam seminggu terakhir mampu menstabilkan nilai tukar Rupiah. Namun, karena besarnya tekanan eksternal, berbagai intervensi ini ‘hanya’ mampu menstabilkan Rupiah di kisaran Rp16.200/US$," ungkap Ekonom UI.
Riefky menyampaikan rupiah sejauh ini terdepresiasi sekitar 2,98% mtm atau 5,5% ytd terhadap dolar AS. Ini tercatat sebagai salah satu mata uang dengan performa terburuk dibandingkan negara peers dan hanya lebih baik dari Lira Brazil dalam satu bulan terakhir.
Tingkat Cadev RI Masih Besar
Ekonom LPEM UI menyampaikan BI masih bisa melakukan manuver menstabilkan rupiah selain menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate, terlebih karena dukungan cadangan devisa (cadev) yang masih tergolong besar.
Riefky menyebut cadev Maret 2024 berada di angka US$140,4 miliar. Ia menilai tingkat cadev masih tinggi, di mana sekarang ini cadev setara dengan 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Itu jauh di atas standar kecukupan internasional sebesar 3 bulan impor.
"Kondisi cadangan devisa saat ini memberikan BI ruang yang cukup untuk melakukan intervensi dalam rangka stabilisasi nilai tukar Rupiah, di tengah tekanan besar terhadap mata uang domestik," katanya.
Indonesia berada dalam tekanan nilai tukar yang masif dan mengalami arus modal keluar yang signifikan dalam dua minggu terakhir. Walaupun terdapat ruang untuk kenaikan suku bunga acuan, LPEM UI menilai keputusan menaikkan BI Rate bukanlah langkah ideal yang perlu diambil saat ini.
Baca Juga: Rupiah Rabu Pagi Naik 55 Poin Menjadi Rp16.165 Per Dolar AS
Dalam beberapa hari terakhir, Rupiah mulai stabil di level kenormalan baru yaitu sekitar Rp16.200/US$ seiring dengan sentimen ‘high-for-longer’ yang sudah mulai termaterialisasi dan belum adanya eskalasi lebih lanjut dari konflik di Timur Tengah.
BI juga memiliki beberapa alternatif kebijakan yang dapat dioptimalisasi dengan dukungan cadangan devisa yang memadai. Di sisi lain, menaikkan suku bunga akan meningkatkan biaya pinjaman dan berdampak negatif terhadap sektor riil.
"Sehingga, peningkatan BI Rate dapat dipertimbangkan sebagai opsi terakhir menimbang potensi risiko domestik yang akan muncul. Menimbang berbagai hal tersebut, kami berpandangan BI perlu menahan suku bunga acuannya di 6,00% saat ini," tutup Riefky.