28 Desember 2022
20:00 WIB
JAKARTA – Layanan teknologi finansial alias fintech tumbuh pesat dalam beberapa tahun belakangan. Namun, pertumbuhan fintech perlu diimbangi dengan peningkatan literasi alias pemahaman masyarakat dalam menggunakan layanan fintech secara aman.
"Kita sadari bersama bahwa risiko kejahatan siber dalam transaksi digital tidak bisa dihindari. Justru, penguatan literasi menjadi benteng pertahanan yang harus terus diperkuat oleh seluruh lapisan masyarakat," kata Ketua Umum Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) Pandu Patria Sjahrir, di Jakarta, Rabu (28/12).
Pada September 2021 tercatat jumlah perusahaan fintech di Indonesia mencapai 785 perusahaan. Transaksi ekonomi digital Indonesia pada 2030 sendiri diperkirakan mencapai US$315 miliar.
Namun, pertumbuhan fintech juga menimbulkan tantangan, data dari CekRekening.id yang dikelola oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dan dikutip AFTECH menunjukkan, dalam lima tahun terakhir terdapat 486.000 laporan soal tindak pidana transakssi elektronik.
AFTECH memberikan lima cara supaya masyarakat bisa menggunakan layanan fintech secara aman. Pertama, ketika tertarik menggunakan layanan fintech, pastikan perusahaan itu sudah terdaftar dan memiliki izin resmi.
Pengecekan bisa dilakukan dengan mengakses situs cekfintech.id. Masukkan nama fintech yang ingin dicek, kemudian situs itu akan memberikan informasi status izin dari regulator, baik dari Kementerian Kominfo, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Bank Indonesia (BI).
Kedua, sebelum memutuskan menggunakan produk dan layanan dari sebuah fintech, konsumen harus mengenal lebih jauh soal produk dan layanan itu. Hal yang perlu diketahui antara lain adalah risiko jangka panjang ketika menggunakan layanan fintech.
”Ketiga, bijak memilih layanan dan aplikasi akan membantu konsumen menjaga privasi, melindungi data pribadi dan menjamin keamanan transaksi. Dari sekian banyak layanan, pilih fintech yang menjamin keamanan data pribadi konsumen,” ujarnya.
Keempat, waspada dengan iming-iming hadiah besar karena bisa saja tawaran itu adalah penipuan. Jika mendapatkan pesan singkat atau email dari orang yang tidak dikenal, apalagi tidak memberikan informasi yang jelas soa perusahaan, abaikan saja pesan itu.
Hindari mengeklik tautan yang diberikan apalagi memberikan informasi data pribadi. Terakhir, perbanyak informasi tentang layanan fintech.
Baca Juga:
Mahasiswa IPB Korban Penipuan Dapat Restrukturisasi Pinjaman
Industri Fintech Perlu Kolaborasi di Tengah Tech Winter
Penetrasi Fintech Perlu Diimbangi Literasi Keuangan Digital

Kepercayaan Masyarakat
Steering Committe Indonesia Fintech Society (Ifsoc) Hendri Saparini menilai kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan finansial berbasis teknologi (fintech) pendanaan bersama atau fintech peer to peer lending perlu terus ditingkatkan.
“Tidak hanya itu, juga kolaborasi lebih mendalam dengan institusi sektor jasa keuangan lain seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembangunan Daerah (BPD),” ujarnya.
Kolaborasi ini perlu ditingkatkan untuk memperkuat manajemen risiko dan menjaga kualitas pinjaman yang disalurkan, mengingat kredit tidak lancar dan kredit macet fintech peer to peer lending berpotensi mengalami kenaikan.
Penyaluran pembiayaan dari fintech peer to peer lending sendiri, tercatat terus bertumbuh hingga mencapai Rp18,7 triliun pada bulan Oktober 2022. Di sisi lain, penurunan signifikan perusahaan penyedia pinjaman online (pinjol) ilegal yang ditutup mengindikasikan semakin kuatnya upaya pencegahan aktivitas pinjol ilegal di Indonesia.
”Hendri pun mengapresiasi upaya kolaboratif pemangku kepentingan terkait dalam meningkatkan kredibilitas fintech peer to peer lending. masyarakat perlu didorong secara masif, misalnya dengan sektor jasa keuangan lainnya seperti BPR dan BPD,” ujarnya.
Peningkatan kualitas fintech peer to peer lending dipandang penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
“Kita sangat perlu mengembangkan fintech peer to peer lending yang sehat karena kita ingin mendorong inklusi keuangan. Dengan struktur ekonomi dan pelaku usaha kita sebagian besar disusun oleh UMKM ini mendorong inklusi keuangan menjadi sangat penting,” imbuhnya.
Sementara itu, Analisis Senior Deputi Direktur Pengaturan, Penelitian, dan Pengembangan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tomi Joko Irianto mengatakan, penyedia layanan fintech untuk memperhitungkan kepercayaan konsumen dalam keberlangsungan berbagai aktivitas ekonomi vital di ranah digital (digital trust).
"Berbagai tantangan seperti perlindungan data pribadi, keamanan siber, e-KYC dalam mengukur kemampuan lembaga jasa keuangan untuk mengenal konsumennya secara elektronik," kata Tomi dalam siaran pers yang diterima pada Sabtu.
Ia melanjutkan, hal tersebut termasuk keandalan sistemnya, kualitas kredit skornya, layanan kepada konsumennya, serta edukasi kepada publik terhadap manfaat dan layanan lembaga keuangan nonbank.
"(Itu semua) menjadi hal penting yang perlu diperhatikan oleh seluruh stakeholder karena berdampak pada keberlangsungan bisnis maupun perlindungan konsumen," ujarnya.

Ekosistem Digital
Untuk diketahui, meningkatnya penetrasi pengguna internet di tengah maraknya berbagai kejahatan siber seperti pencurian identitas, menjadikan digital trust semakin penting untuk dibangun demi mendorong masuknya masyarakat ke dalam ekosistem digital. Berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia pada Oktober 2022, sekitar 41,6% masyarakat Indonesia meragukan atau bahkan merasa data pribadi yang didaftarkan dalam aplikasi digital tidak terjamin kerahasiaannya.
Masih dalam riset yang sama, meskipun mayoritas (75,1%) belum pernah mendengar atau mengetahui tentang rancangan UU PDP, namun mayoritas masyarakat menyatakan semakin percaya data pribadi akan terlindungi jika UU PDP diberlakukan (61,4%).
Untuk itu, pemerintah telah mengesahkan Undang Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) belum lama ini yang memberikan kerangka aturan komprehensif pelindungan data pribadi masyarakat dalam ekosistem digital.
"Dengan adanya UU PDP, seluruh peraturan yang lain dikelompokkan menjadi satu peraturan. Meskipun peraturan pidana yang mengikat semua pihak ini telah dihadirkan ke dalam ekosistem digital, peraturan ini tidak dapat bergerak sendiri melainkan memerlukan partisipasi proaktif dari para pemangku kepentingan lainnya dan masyarakat umum sebagai konsumen," kata praktisi hukum Erwandi Hendarta.
Sependapat, Chief of Revenue VIDA Adrian Anwar mengatakan, peningkatan literasi keuangan perlu dilakukan dan memperhatikan empat hal, yaitu mengetahui produk digital, bijak memanfaatkan, risiko dan kontrol, dan penyelesaian masalah.
"VIDA berpandangan untuk terus meningkatkan literasi keuangan masyarakat, penetrasi teknologi di Indonesia perlu terus ditingkatkan. Selain aspek keamanan, pemberian akses layanan digital yang inklusif juga harus nyaman dan dapat digunakan oleh seluruh kalangan masyarakat," tandasnya.