c

Selamat

Jumat, 19 April 2024

EKONOMI

20 September 2021

19:47 WIB

Legislator Minta Holding SugarCo Tajamkan Strategi

Sejumlah persoalan masih belum ditangkap pemangku holding pabrik gula SugarCo.

Penulis: Khairul Kahfi

Editor: Fin Harini

Legislator Minta <i>Holding</i> SugarCo Tajamkan Strategi
Legislator Minta <i>Holding</i> SugarCo Tajamkan Strategi
Ilustrasi. Foto udara antrean truk pengangkut tebu di pabrik gula PT. Rejoso Manis Indo (RMI) Blitar, Jawa Timur, Selasa (15/6/2021). ANTARA FOTO/Irfan Anshori.

JAKARTA – Anggota legislator mengingatkan pembentukan holding pabrik gula SugarCo agar langsung menyelesaikan persoalan yang membelit industri tersebut. Hingga kini masih banyak persoalan mendasar yang dihadapi oleh agroindustri gula tebu di tingkat nasional. 

Anggota Komisi VI DPR Herman Khaeron menjelaskan, upaya itu mesti melalui beberapa tahapan untuk segera diselesaikan terlebih dulu. Pertama, menyelaraskan soal data industri pergulaan di dalam negeri yang masih belum jelas.

Ia mencontohkan, perkiraan Kementan sepanjang 2021 konsumsi gula diproyeksi mencapai 5,26 juta ton. Sementara, USDA memprediksi konsumsi gula di Indonesia bisa menyentuh sekitar 6,9 juta ton. 

Kemudian, Indonesia juga memprediksi produksi gula dari dalam negeri bakal mencapai sekitar 2,48 juta ton/tahun. Lagi-lagi jumlahnya masih belum selaras dengan data USDA yang memprediksi produksinya hanya sekitar 2,1 juta ton/tahun. 

"Coba dari sini saja gap-nya sudah terlalu jauh. Bayangkan (hitungan.red) versi Indonesia, kebutuhannya diturunkan, tapi produksinya dinaikkan. Padahal, USDA menyebut kebutuhannya terlampau tinggi namun produksinya lebih rendah dari hasil yang diperoleh Kementan," terangnya dalam RDPU dengan PTPN III, Jakarta, Senin (20/9).

Karena itu, lanjutnya, semua pihak mesti mendudukkan persoalan data yang ada dengan saksama. Keandalan data yang dikantongi mampu membuat tujuan pemasaran lebih terarah dan lebih baik. 

Kedua, Herman juga menyoroti persoalan produktivitas tebu nasional yang menghasilkan rendemen sekitar 52,2 ton/ha. Jumlah itu tergolong minim dibanding negara lain, seperti Brasil yang mampu mencapai 74,37 ton/ha serta China sebesar 79,68 ton/ha. 

Dirinya menganggap, perbandingan produktivitas tersebut mesti dilakukan agar rencana pembentukan holding gula tersebut dapat mencapai visi penyejahteraan petani. Saat ini pun, ungkapnya, petani tebu masih gamang untuk tetap melanjutkan proses tanam. 

Pasalnya, tingkat keuntungan yang petani tebu masih cenderung lebih rendah dibandingkan menanam padi, jagung atau bawang. Sementara, penanaman gula hanya moncer pada momentum harga gula yang tinggi dengan kualitas unggul 

"Yang bisa dipanen tiap enam bulan maksimum dan terbatas musim hujan. Kalau masuk musim kemarau ya enggak bisa nanam, kecuali bisa dilakukan intensif (sistem tanam)," ujarnya. 

Ketiga, dari sisi industri, ada sekitar 40 pabrik gula yang dimiliki sudah berumur satu abad. Penilaiannya, konsolidasi yang sudah dilakukan sejatinya memang bagus, namun perlu usaha lebih ekstra 

"Jadi kalau pabrik gula umurnya 100 tahun, mau dilihat dari sisi teknologi, mekanisasi hingga efisiensi; akan lebih banyak menemui kekurangan daripada memenuhi standar yang diinginkan," tegasnya. 

Karena itu, kembali dirinya mengingatkan tujuan menyejahterakan petani akan begitu utopis dicapai holding pabrik gula. Di tengah fakta dominasi pabrik tua serta harga gula di pasaran. PIHPS mencatat rerata harga gula pasaran dijual Rp14.600/kg, sementara harga acuan gula di pabrik Rp12.500/kg.

"Kalau melihat soalan ini, jelas kita butuh kerja keras... Persoalan dasarnya bukan hanya sekadar menghitung kebutuhan dan bisa penuhi lantas bisa menyejahterakan petani. Semuanya mesti dikupas lewat FGD," pungkasnya. 

Target SugarCo 
Pada kesempatan sama, Dirut PT Perkebunan Nusantara III (persero) Muhammad Abdul Ghani optimistis kehadiran holding BUMN pabrik gula via SugarCo, akan bermanfaat bagi Indonesia ke depan.

Ia pun menerangkan, konsolidasi 35 pabrik gula milik holding perkebunan ini bertujuan mewujudkan transformasi bisnis gula PTPN. Lewat kemandirian gula konsumsi, mengurangi impor, meningkatkan kesejahteraan petani, dan menjaga stabilitas harga di tingkat ritel.

Ia pun mengakui, saat ini sekitar 150 ribu hektare lahan tebu PTPN Group masih menghadapi berbagai tantangan dari sisi operasional dan finansial. 

Produktivitas tebu di 2020 berkisar di angka 67 ton/ha dengan rendemen kurang dari 7%. Sementara produksi gula PTPN Group pada 2020, sebanyak 704 ribu ton atau 34% dari total produksi domestik.

"(Makanya) dengan SugarCo, kita targetkan lahan meningkat menjadi 248 ribu ha; produktivitas tebu hingga 84 ton/ha dengan rendemen 8,6%; serta produksi gula mencapai 1,8 juta ton atau 70% dari total produksi domestik pada 2024," jelas Ghani. 

Kehadiran SugarCo juga, lanjutnya, merupakan upaya agar menjaga petani tebu tetap bertahan untuk budidaya dan tidak beralih menanam sektor lain. 

Untuk itu, Ghani menargetkan adanya peningkatan sisa hasil usaha atau SHU petani tebu dari Rp3,7 juta/ha/tahun pada 2020, melonjak jadi Rp21,2 juta/ha/tahun di 2024.

"Kalau PTPN tidak bisa menaikkan pendapatan di atas Rp11 juta/ha, jangan harap petani mau menanam tebu. Patokannya harus di atas rata-rata komoditas padi yang sebesar Rp11 juta/ha," terangnya. 

Informasi saja, PT Sinergi Gula Nusantara atau SugarCo telah memperoleh pengesahan Kemenkum HAM pada 19 Agustus 2021. Entitas yang sama juga telah mendapat persetujuan rencana restrukturisasi dan divestasi bisnis gula PTPN Group melalui single entity

Nantinya, kepemilikan saham di SugarCo terdiri atas PTPN atau pemerintah dan investor, masing-masing sebesar 51% dan 49%. 

Saat ini, SugarCo masih memproses persetujuan kreditur setelah penilaian aset tetap oleh KJPP selesai. Serta proses restrukturisasi dan divestasi bisnis gula PTPN yang dikawal oleh BPKP.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar