10 Juli 2023
12:39 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam menilai, implementasi dan penerapan biaya QRIS terbaru belum tepat dilakukan saat ini. Pada kondisi perekonomian yang masih dalam fase pemulihan, regulator semestinya harus tetap berpihak pada pelaku usaha mikro, bukan sebaliknya.
“Kenaikan biaya MDR (Merchant Discount Rate/Tingkat Diskon Pedagang) tentunya akan berdampak pada pendapatan yang akan diperoleh UMi (Ultra Mikro), karena ada tambahan biaya operasional yang ditanggung,” jelasnya dalam keterangan resmi yang diterima, Senin (10/7).
Perlu dicatat, sambungnya, masih terdapat biaya yang harus dikeluarkan merchant atau pedagang dalam penggunaan QRIS. Oleh karena itu, Ecky merasa, tambahan MDR tersebut pasti akan membebani pedagang, khususnya dari kalangan UMi.
Sebagai informasi, per 1 Juli 2023, Bank Indonesia telah efektif memberlakukan kebijakan biaya layanan QRIS atau Merchant Discount Rate/MDR) kepada merchant sebesar 0,3%. Besaran MDR 0,3% yang ditetapkan regulator tersebut merupakan MDR untuk pedagang usaha mikro (UMi), di mana sebelumnya diatur sebesar 0%.
Baca Juga: Sasar Masyarakat Desa, OJK Resmikan Ekosistem Keuangan Inklusif
Buat yang masih awam, MDR merupakan biaya yang yang ditagihkan oleh Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) dinyatakan dalam persentase terhadap Harga Jual merchant, yang tidak termasuk nilai tambahan seperti nilai tipping dan processing fee.
Ecky menjelaskan, jika terdapat transaksi sebesar Rp100.000, maka tidak semua nilai itu akan diterima oleh pedagang. Karena harus dikurangi biaya MDR sebesar 0,3%, ditambah biaya setelmen atau settlement fee sebesar Rp2.000 hingga Rp5.900.
Dengan kata lain, berdasarkan hitungannya, pedagang hanya akan menerima hasil transaksi tersebut berkisar Rp93.900-97.700. Dirinya pun mengingatkan, pedagang UMi mengumpulkan laba usaha dari setiap rupiah yang diterima.
“Jika masih harus dikurangi lagi karena pemakaian QRIS, lalu apa yang bisa dibawa pulang ke rumah kalau banyak biaya-biaya yang kemudian timbul,” paparnya.
Selanjutnya, Ecky pun menggarisbawahi, bahwa UMI mengumpulkan keuntungan untuk menghidupi keluarga, bukan seperti korporat besar untuk membangun kerajaan bisnis.
Karenanya, dia kembali menyampaikan, BI sebagai regulator semestinya tak hanya memikirkan bagaimana pengusaha besar, dalam hal ini PJP, bank dan pihak terkait lainnya, dapat bertahan dalam kondisi saat ini. Namun, BI mesti lebih berpihak pada UMi yang menjadi penyokong dalam ekonomi inklusif.
“Terlebih dalam UU PPSK, BI dituntut untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan bertugas untuk turut serta meningkatkan inklusi ekonomi,” jelas Ecky.
Ecky meneruskan bahwa PJP, bank dan pihak terkait lainnya telah mendapat nilai MDR dari dari setiap transaksi yang dilakukan oleh merchant reguler, seperti institusi pendidikan dan SPBU yang nilainya antara 0,4% hingga 0,7%.
“Dengan demikian, tidak menjadi persoalan jika UMi yang dimiliki oleh rakyat kecil mendapat insentif berupa pembebasan biaya MDR,” sebutnya.
Baca Juga: QR Code Thailand-Kamboja Terkoneksi, Keuangan ASEAN Makin Konkret
Ecky pun mengajak seluruh elemen berpikir ulang untuk menjadi bagian dalam mengantarkan Indonesia menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
Menurutnya, berkualitas tak hanya pada nilai yang besar, namun juga harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.
Karena itu, ia berharap regulator dapat membuat aturan yang adil dan berimbang untuk seluruh pelaku ekonomi. Pengusaha besar didorong tidak hanya berorientasi laba, tetapi juga mulai memberikan ruang dan mengambil bagian dalam membantu UMI bertahan dalam kondisi yang dituntut berubah cepat mengikuti perkembangan teknologi informasi saat ini.
“Jika hal ini terwujud, maka inklusif ekonomi yang digaungkan, tidak lagi hanya menjadi wacana,” pungkasnya.