22 September 2023
20:44 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menegaskan, Kemenkeu mesti cermat melakukan penjaminan atas percepatan penyelenggaraan prasarana-sarana Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Jika perlu, untuk menutup celah dan potensi kerugian, pemerintah dapat meninjau ulang kebijakan tersebut.
“Jangan sampai merugikan keuangan negara di kemudian hari. Apalagi tahun 2015 lalu, pemerintah pernah menolak proposal KCJB dari Jepang, karena adanya syarat jaminan dari pemerintah,” terangnya melalui keterangan tertulis, Jakarta, Jumat (22/9).
Seperti diketahui, Kemenkeu telah meneken Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 89/2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Penjaminan Pemerintah untuk Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung.
Pasal 2 dalam beleid itu menyebutkan, bahwa penjaminan pemerintah untuk percepatan penyelenggaraan prasarana-sarana kereta cepat antara Jakarta dan Bandung disediakan, dalam rangka memperoleh pendanaan atas kenaikan dan/atau perubahan biaya (cost overrun) sesuai dengan hasil keputusan Komite.
Anis berargumen, penerbitan PMK tersebut menunjukkan bahwa pemerintah tidak konsisten dan terbuka terkait proses pembangunan KCJB. Terlihat dari melencengnya komitmen awal pemerintah, yakni pembiayaan KCJB bersifat antar bisnis atau business to business (b-to-b).
Baca Juga: "Whoosh" Jadi Nama Kereta Cepat Indonesia
Kemudian, pemerintah mengajukan Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk KAI, dan dilanjutkan dengan meminta pemberian subsidi tiket. Dirinya pun mengaku kaget ketika pemerintah yang dapat menjamin proyek KCJB ini lewat APBN, bila terjadi perubahan biaya (cost overrun).
“Hal ini menunjukkan, proyek ini dari awal tidak punya perencanaan yang matang dan akhirnya membebani APBN," ujar Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini.
Sejatinya, Legislator Dapil DKI Jakarta I mengingatkan, APBN merupakan amanah konstitusi yang harus dipergunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia pun menegaskan, proyek KCJB tidak punya tingkat signifikansi yang tinggi terhadap kebutuhan masyarakat yang harus didanai oleh APBN.
Di banding itu, masih ada banyak persoalan bangsa yang patut dan layak dibiayai oleh APBN untuk membantu kehidupan masyarakat, seperti kemiskinan ekstrem, stunting, fasilitas puskesmas, tenaga honorer, membantu petani, hingga nelayan.
“KCJB proyek mercusuar pemerintah yang belum dibutuhkan masyarakat saat ini, cost-nya jauh lebih besar ketimbang manfaat yang bisa dirasakan masyarakat luas," jelasnya.
Sebelumnya, Stafsus Menkeu Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menerangkan, penjaminan untuk percepatan penyelenggaraan prasarana-sarana KCJB bukan yang pertama dilakukan pemerintah. Skema ini sudah biasa dilakukan dalam sejumlah proyek infrastruktur.
Ia mencontohkan, penjaminan dilakukan pada Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Batu Bara PT PLN 10.000 MW tahap I dan II, Proyek Jalan Tol Trans Sumatera, Proyek LRT Jabodebek, Proyek Gothermal/PLTP Dieng II dan Patuha, serta Proyek Penguatan Jaringan Kelistrikan.
“Lalu masalahnya di mana? Tidak ada. Selama ini (skema penjaminan proyek) dijamin aman, karena tata kelola dan manajemen risiko sangat dijaga. Yang bermasalah itu pikiran jorok, seolah APBN digadaikan ke China,” sebutnya dalam utas @/prastow yang dipantau Validnews, Selasa (19/9).
Pada dasarnya, pemerintah memberikan penjaminan kepada PT KAI sebagai pemegang saham mayoritas KCJB, agar dapat meningkatkan reputasinya ke pemberi pinjaman. Tujuannya, meningkatkan kepercayaan pemberi pinjaman terhadap proyek terkait sehingga dapat mengurangi biaya.
Dirinya menekankan, yang melakukan peminjaman adalah PT KAI ke kreditur, bukan pemerintah. Adapun, alasan Kemenkeu mengeluarkan PMK 89/2023 adalah untuk menjalankan amanat Perpres 93/2021 dan sebagai bentuk dukungan pemerintah dalam percepatan penyelesaian Pembangunan KCJB.
Baca Juga: Tiga Hari Uji Coba, Kereta Cepat Angkut 4.552 Penumpang
Penjaminan KCJB Dijalankan Hati-hati
Prastowo mengakui, keterlambatan penyelesaian proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung menyebabkan tambahan biaya atau cost overrun. Untuk mengatasi ini, pemerintah memberikan dukungan berupa Penjaminan Pemerintah terhadap pinjaman PT KAI.
Ia menjabarkan, bahwa kebijakan pemberian penjaminan pemerintah akan mengacu kepada keputusan Rapat Komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang beranggotakan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan, dan Menteri BUMN.
“Ini forum kolegial-formal, agar keputusan yang diambil memiliki tata kelola yang baik,” terangnya.
Dalam upaya mitigasi risiko atas pelaksanaan penjaminan, pemerintah melaksanakan monitoring dan evaluasi secara berkala atas penjaminan yang diberikan.
Penjaminan ini juga sesuai dengan tata kelola dan peraturan yang berlaku, serta mempertimbangkan prinsip-prinsip penjaminan pemerintah, mencakup kemampuan keuangan negara, keberlanjutan fiskal, dan manajemen risiko fiskal.
Untuk memperkuat peran penjaminan dan mengurangi risiko fiskal, pemerintah akan memanfaatkan peran PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII) secara lebih optimal.
Nantinya, PT PII akan aktif memberikan penjaminan pemerintah, dan bertindak sebagai lapisan perlindungan utama. Bila terjadi risiko, PII akan menanggung kerugian pertama dalam klaim penjaminan, sehingga tidak akan langsung berdampak pada APBN.
Baca Juga: Menhub Dorong Green Financing Pada Proyek Perkeretaapian
“Dalam konteks ini, PT PII akan berfungsi sebagai perisai pertama dalam menghadapi risiko dan mengurangi dampak finansialnya pada APBN,” sebutnya.
Prastowo mengungkap, besarnya cost overrun proyek KCJB telah melalui reviu oleh BPKP. Pendanaan cost overrun ditanggung pendanaannya secara proporsional oleh pemilik saham KCJB, di mana Konsorsium BUMN memiliki saham 60%.
Untuk pemenuhan kontribusi BUMN atas pendanaan KCJB dimaksud, telah diberikan PMN kepada PT KAI dan sisanya sebesar US$543 juta melalui pinjaman dari China Development Bank (CDB).
“Jadi jelas, peran APBN untuk mendukung permodalan PT KAI ini sifatnya investasi,” urainya.
Soal prospek dan risiko gagal bayar, Prastowo menyebut, hasil proyeksi keuangan PT KAI menunjukkan bahwa kemampuan cashflow Perseroan cukup untuk mendukung kegiatan operasional, pembayaran debt service dari pinjaman yang ada saat ini, serta tambahan debt service dari pinjaman CDB.
Sebagai catatan, perhitungan tersebut tanpa memperhitungkan pendapatan tambahan dari angkutan batu bara.