19 April 2025
16:38 WIB
Lebih 80 Ribu WNA Gunakan Whoosh Dalam Tiga Bulan
Pelanggan Whoosh yang WNA, terbanyak pada periode Januari hingga Maret 2025 berasal dari Malaysia, disusul oleh Singapura dan China.
Editor: Rikando Somba
Petugas berjaga di dekat rangkaian kereta cepat WHOOSH tujuan Bandung di Stasiun Halim. Jakarta. ValidNewsID/Darryl Ramadhan
JAKARTA-Penumpang kereta cepat Whoosh tak hanya warga lokal, atau anak negeri. PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) mencatat juga bahwa layanan kereta cepat pertama di Indonesia itu menggaet sebanyak 87.077 ribu pelanggan warga negara asing (WNA). Lebih 80 ribu WNA itu dicatat memanfaatkan moda transportasi ini pada periode Januari-Maret 2025.
Dilihat dari kewarganegaraan, pelanggan WNA terbanyak pada periode Januari hingga Maret 2025 berasal dari Malaysia, disusul oleh Singapura dan China.
Vice President Public Relations PT Kereta Api Indonesia (Persero) Anne Purba di Jakarta, Sabtu (19/5), mengatakan angka kenaikan pengguna WNA ini meningkat sebesar 79,9% dibandingkan periode yang sama tahun 2024 yang mencapai 48.391 pelanggan.
“Lonjakan ini menunjukkan bahwa Kereta Cepat Whoosh tidak hanya diminati oleh masyarakat domestik, tetapi juga telah menjadi pilihan utama wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia,” ujar Anne.
Peningkatan jumlah pelanggan WNA terlihat signifikan sejak awal tahun. Pada Januari 2025, Whoosh melayani 35.881 pelanggan asing, meningkat tajam sebesar 167,9% dibandingkan Januari 2024 yang mencatat 13.387 pelanggan. Sementara itu, pada Februari 2025, jumlahnya mencapai 35.914 pelanggan, tumbuh sebesar 70,8% dibandingkan Februari 2024 sebanyak 21.026 pelanggan.

Sedangkan Maret 2025 mencatatkan 15.282 pelanggan WNA, atau naik 9,3% dari bulan yang sama tahun sebelumnya yang berjumlah 13.978 pelanggan.
Kenaikan ini diklaim Anne, mencerminkan keunggulan Whoosh sebagai moda transportasi modern yang mampu menjawab kebutuhan wisatawan internasional, khususnya dalam hal kecepatan, kenyamanan, dan kemudahan akses.
“Dengan waktu tempuh sekitar 40 menit dari Jakarta ke Bandung, Kereta Cepat Whoosh memberikan efisiensi luar biasa bagi wisatawan asing, khususnya mereka yang memiliki waktu terbatas namun ingin menjelajah lebih banyak destinasi,” kata Anne.
Dari status kewarganegaraan pengguna Whoosh yang WNA, menunjukkan tren positif kunjungan wisatawan dari Asia Tenggara dan Tiongkok ke Indonesia. Peningkatan jumlah pelanggan WNA ini juga menjadi indikator bahwa strategi promosi pariwisata Indonesia yang terintegrasi dengan kemudahan teknologi dan akses transportasi mulai menunjukkan hasil positif.
Lonjakan Di Lebaran
Di libur Lebaran kemarin, jumlah penumpang dicatat KCIC, mencapai melaporkan lebih dari 310.000 penumpang. Dikutip dari Antara, selama periode libur Lebaran, KCIC meningkatkan jumlah perjalanan harian dari 52 menjadi 62 kali untuk mengakomodasi lonjakan permintaan. Rata-rata penumpang harian mencapai 21.000 orang, bahkan sempat menembus angka 23.500 orang dalam satu hari.
Eva Chairunisa, General Manager Corporate Secretary KCIC, mengungkapkan bahwa tren positif ini menunjukkan Whoosh semakin diterima masyarakat sebagai moda transportasi andalan untuk perjalanan antarkota cepat dan nyaman.
Namun, di balik pertumbuhan operasional tersebut, keberlanjutan finansial proyek kereta cepat ini menjadi sorotan tajam dari kalangan pengamat ekonomi. Direktur Pelaksana Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menilai bahwa KCIC belum mencetak keuntungan dan justru dibayangi oleh potensi kerugian besar.
Biaya pembangunan proyek yang membengkak hingga mencapai US$ 7,22 miliar, jauh melampaui estimasi awal. Sebagian besar pendanaan berasal dari pinjaman besar kepada China Development Bank, dengan beban bunga tahunan yang mencapai hampir Rp2 triliun. Sementara, pemasukan dari tiket masih sangat terbatas.
Selama tahun 2024, KCIC tercatat menjual sekitar 6,06 juta tiket dengan rata-rata harga sekitar Rp250.000. Dari penjualan itu, pendapatan kotor yang dihasilkan sekitar Rp1,5 triliun. Angka tersebut belum mencakup berbagai komponen biaya operasional seperti listrik, perawatan, dan gaji pegawai.
Kondisi ini, menurut Anthony, berpotensi menyebabkan defisit keuangan yang berkelanjutan.