27 Oktober 2023
16:22 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
JAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melanjutkan kasus pinjaman online (pinjol) ke tahapan penyelidikan. Penyelidikan ditetapkan setelah melalui proses penyelidikan awal yang dilaksanakan sejak 4 Oktober 2023.
Dalam tahap penyelidikan ini, KPPU telah menetapkan sebanyak 44 penyelenggara peer-to-peer (P2P) lending sebagai Terlapor atas dugaan pelanggaran UU 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, khususnya pada pasal 5 terkait penetapan harga.
“Pada tahap penyelidikan yang ditetapkan melalui Rapat Komisi pada 25 Oktober 2023, KPPU akan memanggil para pihak termasuk Terlapor, saksi, atau ahli yang berkaitan guna mengumpulkan alat bukti yang cukup terkait dugaan pelanggaran,“ tegas Direktur Investigasi Kedeputian Penegakan Hukum KPPU Gopprera Panggabean, Jakarta, Jumat (27/10).
Sebagai informasi, KPPU telah selesai melaksanakan penyelidikan awal atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha pinjol yang tergabung dalam Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Secara khusus, terdapat 89 anggota yang tergabung dalam fintech lending atau P2P lending AFPI.
Dalam tahapan tersebut, AFPI diketahui telah menerbitkan Pedoman Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi secara Bertanggung Jawab.
Ketentuan tersebut mengatur penetapan jumlah total bunga, biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya, selain biaya keterlambatan, yang tidak melebihi suku bunga flat 0,8 % per hari, yang dihitung dari jumlah aktual pinjaman yang diterima oleh penerima pinjaman.
Pada 2021, besaran suku bunga flat tersebut diatur tidak melebihi 0,4% per hari. Setiap anggota AFPI wajib menandatangani suatu pakta integritas yang di dalamnya mewajibkan anggota untuk tunduk pada pedoman yang dibuat asosiasi tersebut.
Dalam penyelidikan awal, lanjut Gopprera, KPPU telah melakukan berbagai kegiatan pengumpulan informasi, termasuk permintaan informasi secara tertulis kepada para anggota AFPI dan permintaan keterangan dari lima penyelenggara P2P lending, AFPI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Melalui proses tersebut, KPPU telah memperoleh satu alat bukti dugaan pelanggaran pasal 5 dan memenuhi persyaratan untuk dilanjutkan ke tahap penyelidikan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, KPPU juga menemukan bahwa tujuan pengaturan AFPI atas penetapan jumlah total bunga, biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya tersebut adalah untuk melindungi konsumen dari biaya predatory lending, atau praktik pemberian pinjaman yang mengenakan syarat ketentuan bunga dan/atau biaya-biaya yang tidak wajar bagi penerima pinjaman atau tidak memperhatikan kemampuan membayar kembali penerima pinjaman.
Dia menginformasikan, proses penyelidikan akan berlangsung tertutup selama 60 hari ke depan. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya perpanjangan masa penyelidikan ataupun penambahan Terlapor, bergantung pada alat bukti yang diperoleh.
Pada proses tersebut, KPPU akan membuktikan apakah perilaku beberapa penyelenggara P2P lending yang menerapkan suku bunga yang sama tersebut merupakan hasil kesepakatan di antara para penyelenggara.
“Pada prinsipnya di suatu pasar yang bersaing, setiap pelaku usaha P2P lending akan menjalankan usahanya secara lebih efisien, sehingga mampu menetapkan tarif suku bunga yang lebih rendah dari para pesaingnya serta memberikan berbagai pilihan fasilitas dan tarif suku bunga bagi konsumen,” ucapnya.