03 November 2021
13:30 WIB
Penulis: Zsasya Senorita
Editor: Dian Kusumo Hapsari
JAKARTA — Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto minta pemerintah proporsional dan realistis menyikapi isu yang dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau Conference of the Parties ke-26 (COP26) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Anggota legislatif dari Fraksi PKS tersebut menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia harus berani bersikap mendahulukan kepentingan nasional, sebelum mengakomodasi kepentingan negara-negara lain. Dalam masalah ini, Mulyanto mengingatkan pemerintah, jangan mau didikte oleh kepentingan negara lain.
“Sebagai wujud dari pergaulan masyarakat internasional, tentu kita mendukung berbagai inisiatif strategis dan kesepakatan internasional terkait perubahan iklim dan langkah-langkah mitigasinya. Namun sebagai negara berdaulat, yang mengedepankan kepentingan nasional, yakni keamanan dan kesejahteraan rakyat, kita perlu cermat, hati-hati dan tidak didikte oleh pihak luar,” terang Mulyanto secara tertulis, Rabu (3/11).
Wakil Ketua FPKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini menyebut, ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan Pemerintah Indonesia terkait komitmen dunia internasional terhadap masalah perubahan iklim ini.
Pertama, terkait target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% yang diupayakan Indonesia atas usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional, sesuai Perjanjian Paris. Terkait ini, imbuh Mulyanto, pemerintah harus berani menagih komitmen negara-negara maju untuk mendukung secara finansial bagi negara berkembang melaksanakan agenda perubahan iklim yang sudah disepakati.
Selanjutnya, pemerintah juga diminta memastikan bahwa kesepakatan tersebut bukan sekedar janji manis negara maju kepada negara berkembang, khususnya Indonesia.
“Dalam Perjanjian tersebut disepakati bahwa negara maju akan menggelontorkan dana sebesar US$100 miliar per tahun sejak 2020 untuk membantu negara berkembang melaksanakan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Dari dana yang sebesar Rp1.400 triliun tersebut, kita perlu tahu berapa yang akan mengalir ke Indonesia,” tandas Mulyanto.
Ia melihat, beberapa negara maju sebenarnya menghadapi tantangan yang tidak mudah dalam melaksanakan isi perjanjian tersebut.
Oleh karena itu, Indonesia harus berhati-hati membuat komitmen tentang perubahan iklim ini, supaya tidak sampai kebagian ‘getahnya’ saja dari kesepakatan internasional.
“Krisis energi yang melanda Inggris baru-baru ini, yang berkomitmen penuh untuk menutup PLTU-nya, ternyata juga sulit ditepati. Demi menyelamatkan rakyatnya, Pemerintah Inggris kembali menghidupkan pembangkit listrik batu bara mereka. Begitu pula China. Bagi negara-negara ini kepentingan nasional mereka adalah yang utama,” ujar Mulyanto.
Oleh karena itu, menurut dia, Indonesia tidak bisa serta-merta mengikuti keinginan negara lain untuk menutup PLTU. Lalu menggantinya dengan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan yang implementasinya lebih mahal.
Hal ini dikhawatirkan, mempersulit rakyat sebagai pengguna listrik karena harus membayar lebih mahal, sekaligus pemerintah yang terbebani subsidi tambahan.
“Karena itu bangsa Indonesia, di tengah pandemi yang belum usai; tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih rendah; serta sumber daya batu bara domestik yang berlimpah, tidak bisa serta-merta mengikuti maunya asing,” tandas Mulyanto.
Karenanya, Mulyanto menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh mengambil kebijakan sekedar tebar pesona dan mengharap pujian internasional, seperti yang dilakukan di Glasgow, Skotlandia, kemarin. Seharusnya mengutamakan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan nasional, yang mampu memberikan keamanan dan kesejahteraan masyarakat.
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif turut memaparkan upaya dan rencana Indonesia dalam menanggulangi perubahan iklim. Ia menegaskan, persoalan lingkungan dan ketegasan mencapai netralitas karbon membutuhkan daya dukung transisi energi sehingga membuka ruang pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) yang optimal.
“Transisi energi menuju net zero emission membutuhkan infrastruktur energi, teknologi, dan pembiayaan. Melalui peningkatan infrastruktur seperti interkoneksi jaringan, kita (Indonesia) berpeluang untuk mengoptimalkan pemanfaatan EBT,” jelas Arifin pada Ministrial Talks, dalam rangkaian Conference of Parties (COP) ke-26 di Paviliun Indonesia, Glasgow, UK, Senin (1/10).
Indonesia, sambung Arifin, berencana mulai menerapkan teknologi tepat guna, yang tidak hanya untuk menjaga dan meningkatkan keandalan serta efisiensi pasokan, tetapi juga untuk mengintegrasikan sumber EBT dan mengantisipasi sifat intermitten EBT, seperti matahari dan angin.
Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030, pemerintah menetapkan porsi penambahan pembangkit berbasis EBT melebihi porsi energi fosil, yaitu 51,6% atau 20,9 gigawatt (GW).
Ditegaskan pula, penambahan kapasitas pembangkit listrik hanya akan berasal dari EBT mulai 2035 dengan pemanfaatan panas bumi dimaksimalkan hingga 75% dari potensi yang tersedia.
PLN sendiri, sudah mengumumkan rencana pensiun PLTU di Indonesia. Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengatakan, tahapan monetisasi pembangkit berbasis batu bara hingga 2056 akan dilaksanakan bersamaan dengan pembangunan pembangkit EBT.
Ia menjabarkan, mulai 2030 PLN akan memasuki tahap pertama mempensiunkan pembangkit fosil tua yang subkritikal sebesar 1 GW. Kemudian pada 2035 memasuki tahap kedua, PLN akan kembali mempensiunkan PLTU sub-kritikal sebesar 9 GW.
Tahap ketiga pada 2040, PLN akan mempensiunkan PLTU yang supercritical sebesar 10 GW. Lima tahun berikutnya, akan dilaksanakan pemensiunan PLTU ultra super critical tahap pertama sebesar 24 GW dan setelah itu pada 2055 tahap pemensiunan supercritical terakhir sebesar 5 GW.
Adapun pada periode 2030 hingga 2056 mendatang, PLTU akan digantikan dengan energi baru terbarukan secara bertahap.