05 September 2023
17:20 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno menegaskan pihaknya mendukung penuh rencana pencampuran Pertalite dengan 7% etanol dalam rangka menaikkan octan number dari 90 menjadi 92.
Dalam sesi diskusi salah satu stasiun TV swasta, dia menerangkan rencana itu sejalan dengan upaya parlemen untuk menciptakan proses transisi energi menuju energi yang lebih hijau.
Namun demikian, Eddy mengingatkan bahwa aspek keekonomian harus dihitung secara lebih mendalam.
"Ini menjadi bagian dari upaya kami menciptakan transisi energi menjadi lebih hijau, ramah lingkungan. Tapi memang keekonomian harus dihitung lagi, termasuk soal ketersediaan bahan baku etanol," ucapnya, Selasa (5/9).
Keterbatasan bahan baku etanol, sambung Eddy, mengakibatkan pemerintah harus mendatangkannya dari luar negeri yang notabene akan terkena bea impor. Dalam hal ini, PT Pertamina (Persero) sebelumnya telah meminta dukungan Komisi VII DPR terkait penghapusan bea impor etanol tersebut.
"Dalam RDP terakhir, ada permintaan untuk dukungan penghapusan bea impor etanol khusus untuk fuel based etanol. Jadi ini salah satu pertimbangan dari aspek kebijakan fiskal," sambungnya.
Baca Juga: Pemerintah Berencana Kembangkan Etanol Untuk Greenfuel
Asal tahu saja, produksi etanol dunia hingga tahun 2021 masih dikuasai oleh Amerika Serikat. Catatan Renewable Fuels Association (RFA) menunjukkan Negeri Paman Sam memproduksi 15.016 juta galon etanol pada 2021 atau 55% dari total produksi dunia.
Brazil pun membuntuti di tempat kedua dengan total produksi etanol sepanjang 2021 sebanyak 7.320 juta galon, Uni Eropa di tempat ketiga dengan produksi 1.350 juta galon, China di urutan keempat sebanyak 870 juta galon, dan India di nomor lima dengan catatan produksi 850 juta galon
Sementara itu, di lingkup Asia Tenggara, RFA mencatat Thailand menjadi raja produksi etanol, dimana tahun 2021 tercatat Negeri Gajah Putih memproduksi 360 juta galon etanol. Dari angka itu, Thailand menduduki peringkat ketujuh di bawah Kanada yang mampu memproduksi 434 juta galon pada tahun 2021.
Sebelumnya, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengakui saat ini pihaknya masih mengimpor etanol setidaknya sampai investasi bioetanol tumbuh di dalam negeri. Karena itu, dia berharap mendapat pembebasan pajak impor sembari mengupayakan peningkatan produksi etanol di dalam negeri.
"Sebetulnya tidak masalah karena kita pun mengimpor gasoline, kita hanya ganti impor gasoline dengan etanol which is secara emisi lebih baik," kata dia.
Baca Juga: DEN Ungkap Konsekuensi Dari Penghapusan Pertalite
Nicke meyakini bahwa dengan berbagai kemudahan, program pengembangan bioenergi sangat strategis karena bisa menyerap banyak tenaga kerja dan menggunakan energi sesuai sumber daya domestik yang ada, serta menangani masalah polusi lewat penurunan emisi.
"Kita juga bisa mengurangi impor secara automatically. Paralel, akan kami bangun infrastruktur baik TBBM maupun fasilitas lainnya," tandasnya.
Lebih lanjut, Eddy menyinggung soal biaya 7% etanol yang akan dicampurkan ke dalam Pertalite. Apabila biaya produksinya melebihi biaya produksi Pertalite saat ini, ia menekankan Pertamax Green 92 harus menjadi bagian yang turut dikompensasi oleh pemerintah.
"Salah satu PR juga untuk menghitung penggunaan Pertamax Green 92 itu menambah biaya produksi sehingga harus ada tambahan subsidi atau kompensasi yang diberikan pada Pertamina. Ini yang saya kira merupakan salah satu bahan pertimbangan," tandas Eddy Soeparno.