c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

02 September 2024

15:56 WIB

KLHK: Aturan Karbon Ketat Demi Mencegah Praktik Greenwashing

Tanpa aturan ketat, dikhawatirkan terjadi greenwashing atau fake carbon atau karbon hantu. Di sisi lain, pelaku usaha minta perdagangan karbon tanpa otoritas dan dapat dilakukan transaksi antar-bisnis

<p>KLHK: Aturan Karbon Ketat Demi Mencegah Praktik <em>Greenwashing</em></p>
<p>KLHK: Aturan Karbon Ketat Demi Mencegah Praktik <em>Greenwashing</em></p>

Aktivis melakukan aksi damai menolak bisnis energi kotor di Patra Kuningan, Jakarta, Senin (26/4/2021). Aksi damai tersebut juga mendesak investor serta lembaga jasa keuangan berhenti mendukung lini bisnis energi kotor. Antara Foto/Rivan Awal Lingga

JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menjelaskan, aturan ketat terkait nilai ekonomi karbon, ditujukan agar memastikan tidak terjadi greenwashing atau citra praktik ramah lingkungan, meskipun faktanya bertolak belakang.

Dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI di Jakarta Senin, Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan, instrumen nilai ekonomi karbon Indonesia masuk dalam kategori dengan integritas tinggi atau high integrity carbon dan mendapatkan apresiasi dari Sekretariat UNFCCC.

"Kalau kita berbicara dan high integrity, karena di Sekretariat UNFCCC itu ditegaskan pada bulan Juni kemarin lebih tegas lagi, harus high integrity. Sebab kalau tidak, bisa terjadi greenwashing atau fake carbon atau karbon hantu, itu yang paling ditakuti," jelas Siti Nurbaya dalam rapat kerja yang dipantau daring itu.

Di sisi lain, kata Siti, dunia usaha menginginkan mekanisme perdagangan karbon yang jauh lebih mudah dari aturan yang berlaku saat ini, yaitu Peraturan Presiden Nomor: 98 tahun 2021, tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.

Kebanyakan pelaku dunia usaha menginginkan perdagangan karbon yang tanpa otoritas dan dapat dilakukan langsung transaksi antar-bisnis. Dengan alasan aturan yang ada terlalu rumit dalam pelaksanaannya.

"Dalam konsep karbon karena dia bicara global, antar-negara juga nanti di-record dalam satu sistem, dalam aturan kita Perpres 98 kita menekankan bahwa nilai ekonomi karbon harus dengan pencatatan dalam sistem registrasi nasional," bebernya.

Tidak hanya itu, dalam mekanisme nilai ekonomi karbon harus memiliki cara perhitungan dengan metode yang sudah tervalidasi. Dalam aturan yang berlaku, penjualan karbon kepada pihak di luar negeri juga harus memiliki otorisasi dari negara dan baru dapat keluar Sertifikat Penurunan Emisi Indonesia.

Siti mengatakan, ketentuan tersebut diberlakukan untuk menghindari adanya karbon palsu atau klaim sudah melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) tanpa validasi dengan metode yang teruji. Jika hal itu terjadi maka langkah yang diambil tidak akan berkontribusi dalam upaya mencapai target iklim yang sudah ditentukan oleh Indonesia.

Nilai Tambah
Sebelumnya, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) KLHK Laksmi Dhewanthi dalam diskusi yang diadakan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) di Jakarta, Jumat, menyampaikan, NEK ditujukan untuk mendukung upaya mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional sudah dijabarka, bahwa NEK merupakan instrumen mewujudkan pengurangan emisi GRK.

"Jadi, tujuannya bukan semata-mata untuk mencari manfaat ekonomi. Bahwa ada manfaat ekonomi sebagai nilai tambah, ya. Bahwa bisa menjadi insentif bagi mereka yang melakukan upaya mitigasi, ya. Tapi tidak bisa kemudian dibalik," kata Laksmi.

Dia menyampaikan bahwa NEK dalam beragam mekanismenya hanya bisa terwujud kalau terjadi aksi mitigasi perubahan iklim, untuk menekan emisi GRK di masing-masing sektor yang sudah ditargetkan dalam dokumen iklim Nationally Determined Contribution (NDC).

Mekanisme NEK dibagi empat, yaitu perdagangan karbon, results based payment atau pembayaran berbasis kinerja, pungutan atas karbon seperti pajak karbon dan cukai karbon, serta mekanisme lainnya yang bisa dikembangkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Indonesia sudah mulai melaksanakan perdagangan karbon dan pembayaran berbasis kinerja. Untuk perdagangan karbon sudah mulai berlaku untuk sektor energi terutama sub-sektor pembangkit listrik dan offset emisi GRK.

Sementara pembayaran berbasis kinerja untuk pengurangan emisi sudah dilakukan lewat beberapa skema termasuk Green Climate Fund, Kaltim FCPF Carbon Fund, Jambi BioCarbon Fund dan kerja sama dengan pemerintah Norwegia.

Beberapa dana sudah diterima oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dan akan dibagi ke 34 provinsi berdasarkan kinerja. 

"Untuk satu kegiatan atau satu mitigasi, mereka tidak boleh mendapatkan pembayaran dua kali. Jadi, daerah-daerah yang sudah mendapatkan pembayaran atas kinerja pengurangan emisi gas rumah kaca pada periode waktu ini, itu tidak boleh lagi menjual karbonnya yang sama," ucapnya.

Dia mengatakan, pengecualian diberikan ketika pemerintah daerah dapat menunjukkan adanya upaya mitigasi tambahan di wilayah tersebut, lalu dapat divalidasi.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar