21 Juni 2024
20:07 WIB
Kinerja Buruk Bea Cukai Dituding Biang Kerok Robohnya Industri Tekstil
Bukan dumping, kalangan pertekstilan nasional menilai kinerja buruk Ditjen Bea Cukai jadi penyebab utama penutupan pabrik dan PHK massal industri tekstil.
Penulis: Aurora K MÂ Simanjuntak
Editor: Fin Harini
Pekerja membuat pola kain untuk pembuatan mukena di pabrik busana muslim Siti Khadijah di kawasan Li mo, Depok, Jawa Barat, Senin (3/4/2023) ValidNewsID/Fikhri Fathoni
JAKARTA - Para pemain tekstil nasional meyakini bawahan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yaitu Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), menjadi penyebab utama robohnya industri tekstil RI. Alasannya, karena selama ini kinerja DJBC buruk.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta merespons pernyataan Sri Mulyani yang sebelumnya mengatakan penyebab PHK industri tekstil dan penutupan pabrik adalah praktik dumping di luar negeri.
"Kita bisa lihat dengan mata telanjang, bagaimana banyak sekali oknum di Bea Cukai terlibat dan secara terang-terangan memainkan modus impor borongan/kubikasi dengan wewenangnya dalam menentukan impor jalur merah atau hijau di pelabuhan," ujarnya dalam keterangan tertulis, diterima Jumat (21/6).
Redma mengecap kinerja DJBC buruk lantaran terdapat gap nilai impor dalam data trade map. Dia menerangkan ada nilai impor yang tidak tercatat dari China yang terus meningkat. Dari US$2,7 miliar pada 2021, lalu menjadi US$2,9 miliar pada 2022, dan diperkirakan mencapai US$ 4 miliar pada 2023.
Oleh karena itu, Redma sedikit membantah pernyataan Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komite IV DPD RI (11/6/2024), yang menyatakan kebijakan dumping negara lain menjadi penyebab industri tekstil Indonesia kolaps.
Menurutnya, pernyataan Sri Mulyani di hadapan DPD tersebut merupakan upaya pengalihan isu. Salah satunya, untuk menutupi kegagalan Bendahara Negara 'membersihkan' Ditjen Bea Cukai.
"Yang terbaru kita bisa lihat drama dilakukan oleh Bea Cukai bersama para relasi mafia impornya, membuat penumpukan kontainer di pelabuhan hingga memaksa pemerintah melakukan relaksasi impor melalui Permendag 8/2024," kata Redma.
"Dan di sini malah terkesan Bu Sri membela Bea Cukai dan menyalahkan Kementerian lain yang mengeluarkan aturan pengendalian impor, padahal ini adalah perintah Presiden tanggal 6 Oktober 2023" imbuhnya.
Redma beranggapan, mafia impor yang melibatkan para oknum di DJBC sudah merambah berbagai level. Mulai dari pejabat di kantor pusat yang mengamankan dari sisi kebijakan, hingga pejabat daerah dan para petugas di lapangan sebagai eksekutornya.
"Makanya segala upaya usulan perbaikan sistem ditolak mentah-mentah,” tegasnya.
Redma juga menilai, sistem pemeriksaan Bea dan Cukai di Indonesia sudah ketinggalan jauh dibandingkan negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Singapura. Ketiga negara tersebut sudah menerapkan sistem IT dan AI Scanner.
Meski membantah Menkeu, APSyFI mengakui beberapa pernyataan Sri Mulyani soal praktik dumping ada benarnya. Contohnya, dumping yang dilakukan oleh China karena kondisi oversupply di Negeri Tirai Bambu yang sangat besar.
Di satu sisi, Redma pun menilai Sri Mulyani tidak segera mengambil tindakan. Karena, sudah tahu ada praktik dumping, namun perpanjangan kebijakan safeguard tekstil yang sudah direkomendasikan Menteri Perdagangan malah mandek, tidak disetujui lebih dari setahun.
"Tapi kita tunggu apa yang akan dilakukan Bu Sri dalam menghadapi badai PHK sektor ini, karena dalam 2 tahun terakhir sudah 3 surat dilayangkan API dan APSyFI untuk bertemu Menkeu dan Dirjen Bea Cukai, sama sekali tidak ada respons," tegas Redma.
Menteri Perindustrian Cap Sri Mulyani Tak Konsisten
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita juga memberikan respon mengenai perkataan Sri Mulyani di hadapan DPD. Di satu sisi, dia sepakat bahwa praktik dumping merupakan salah satu faktor penyebab terpuruknya industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia.
Oleh karena itu, Agus menyarankan beberapa cara untuk menangkal praktik dumping. Salah satunya, menerapkan kebijakan perdagangan berupa trade remedies, seperti Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD).
"Keberhasilan upaya tersebut harus dilakukan secara komprehensif, tidak cukup oleh Kementerian Perindustrian sendiri karena kewenangannya tidak hanya di Kementerian Perindustrian saja," kata Agus, Kamis (20/6).
Menperin mencontohkan, ada BMTP Kain yang masa berlakunya telah berakhir pada 8 November 2022, tapi hingga saat ini belum terbit perpanjangannya. Kemudian meski perpanjangan BMTP Kain sudah disetujui, kendalanya sampai sekarang Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang menjadi dasar pelaksanaannya belum terbit.
Melihat hal itu, Agus menilai di situlah salah satu letak inkonsistensi. Di satu sisi, Bendahara Negara menyalahkan praktik dumping yang dilakukan negara produsen TPT. Namun di sisi lain, Menkeu sendiri lambat membuat kebijakan untuk pengamanan pasar TPT domestik.
Agus juga menyoroti, aturan larangan dan pembatasan produk impor dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 36/2023 sebenarnya telah berdampak positif terhadap pertumbuhan industri TPT nasional.
Dia melihat efektivitas pengendalian impor tersebut terlihat dari turunnya volume impor sebelum dan setelah pemberlakuan Permendag 36/2023. Selain itu, impor tekstil dan pakaian jadi juga menurun.
Sayangnya, situasi menguntungkan bagi industri TPT nasional itu hanya bertahan sebentar. Pasalnya, beberapa bulan lalu pemerintah mengatur ulang soal lartas impor melalui Permendag 8/2024.
Tadinya, kegiatan impor memerlukan Pertimbangan Teknis (Pertek) dari Kemenperin. Namun setelah terbitnya Permendag 8/2024, aturan tersebut dianulir.
Menperin pun melihat ketidakkonsistenan pernyataan dan kebijakan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengenai restriksi perdagangan sebagai salah satu penyebab meningkatnya PHK di sektor tekstil. Salah satunya, dengan menghapus larangan dan pembatasan (lartas) bagi produk TPT hilir berupa pakaian jadi dan aksesori pakaian jadi.
"Padahal, pemberlakuan lartas melalui pemberian Pertimbangan Teknis untuk impor merupakan salah satu langkah strategis untuk mengendalikan masuknya produk-produk yang merupakan pesaing dari produk-produk dalam negeri di pasar domestik, mengingat kebijakan-kebijakan pengendalian terhadap impor produk hilir tersebut lamban ditetapkan oleh kementerian terkait, terutama Kementerian Keuangan," tegas Agus.