c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

20 Maret 2024

17:03 WIB

Kenaikan PPN 12% Bakal Picu Inflasi dan Gerus Tabungan Masyarakat

Ekonom mengkhawatirkan kenaikan PPN menjadi 12% tahun depan bisa memicu inflasi pangan dan membuat masyarakat merogoh tabungan untuk biaya sehari-hari.

Penulis: Aurora K M Simanjuntak

Kenaikan PPN 12% Bakal Picu Inflasi dan Gerus Tabungan Masyarakat
Kenaikan PPN 12% Bakal Picu Inflasi dan Gerus Tabungan Masyarakat
Suasanya pusat perbelanjaan Lotte Grosir di Pasar Rebo, Jakarta Timur, Senin (11/3). Validnews/Rheza Alfian

JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti masalah kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 mendatang yang dapat memicu tingkat inflasi pangan dan membuat rakyat banyak makan tabungan.

Peneliti Indef bidang Makroekonomi dan Keuangan, Abdul Manap Pulungan menerangkan dari segi inflasi, PPN 12% mengakibatkan kenaikan laju inflasi, terutama volatile food lantaran harga barang-barang, terutama yang kena PPN, bakal naik.

"Kalau dari sisi inflasi justru nanti akan terpengaruh, tetapi memang saya baca bahwa beberapa komoditas yang tidak kena PPN itu diarahkan untuk menjaga kenaikan harga pada barang atau komoditas pangan," ujarnya dalam Diskusi Publik PPN Naik Beban Rakyat Naik, Rabu (20/3).

Memang, pemerintah telah mengatur pengecualian PPN untuk 13 jenis komoditas pangan. Abdul menjelaskan hal ini bertujuan untuk menjaga kenaikan pada harga barang, terutama pada komoditas pangan.

Adapun komoditas yang tidak kena PPN terdiri dari beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu. Kemudian, buah-buahan, sayuran, ubi-ubian, bumbu, dan gula konsumsi.

Meski beberapa komoditas diatur tidak kena PPN, menurut Abdul itu tidak serta merta bisa menahan harga yang dikerek penjual di pasaran. Penjual akan reaktif merespons PPN 12% dengan menaikkan harga barang dagangannya.

"Memang kita tidak bisa membatasi kenaikan harga di level penjual, karena penjual akan reaktif ketika terjadi kenaikan PPN. Tidak peduli apakah komoditas-komoditas dinyatakan tidak naik itu justru naik, apalagi di pasar tradisional yang tidak terpantau," tutur Abdul.

Menurut peneliti Indef, hal ini terjadi karena sebagian besar aktivitas ekonomi Indonesia masih berada di sektor informal. Ia pun mengaku sulit untuk mengidentifikasi kenaikan harga barang yang sudah diatur mendapat pengecualian PPN.

"Sebagian besar aktivitas ekonomi kita itu masih berada di sektor informal, agak susah untuk mengerem atau mengidentifikasi kira-kira apakah kebijakan pengecualian kenaikan PPN dilakukan atau tidak," tutur Abdul.

Dia menambahkan PPN menjadi 12% pun akan berdampak ke inflasi inti. Ia memprediksi tingkat inflasi inti bisa menurun seiring dengan adanya kenaikan PPN. Inflasi inti yang menurun bukan pertanda baik, sebab itu menandakan daya beli masyarakat lesu.

Ketika daya beli menurun, sambung Abdul, tentu akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia, serta aktivitas di sektor riil. Ia mengatakan daya beli akan menentukan tingkat ekspansi ekonomi atau perusahaan dalam merencanakan bisnisnya.

"Ketika PPN ini dinaikkan lagi 2025, saya khawatir inflasi inti ini akan semakin menurun yang menggambarkan bahwa daya beli masyarakat itu akan semakin tergerus," kata peneliti INDEF.

Warga RI Jadi Rogoh Tabungan
Di sisi lain, Abdul juga mewaspadai fenomena makan tabungan yang akan terjadi jika barang-barang serba mahal gegara PPN 12%. Ada tiga alasan orang merogoh tabungan, yakni PPN naik mengerek harga barang naik, namun tidak dibarengi dengan gaji yang meningkat.

"Jadi kita menguras tabungan kita untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena dalam teori memang ada rigiditas yang namanya kenaikan upah, jadi ketika terjadi perubahan harga, tidak serta merta perusahaan menaikkan upah," kata Abdul.

Alasan lainnya, pertumbuhan simpanan dengan nominal kurang dari Rp100 juta sebagai salah satu indikator daya beli menurun. Abdul melaporkan pada 2022, pertumbuhan simpanan tersebut berada di angka 9,4, lalu turun 0,5 menjadi 8,9 pada 2023.

Dia menjelaskan simpanan dengan nominal kurang dari Rp100 juta yang menurun berarti makin banyak orang yang menarik uang atau tabungan dari bank. Terakhir, pertumbuhan tabungan perseorangan juga menurun, dari 7,5 pada 2022 menjadi 5,9 pada 2023.

"Pertumbuhan simpanan nominal di bawah Rp100 juta, seperti kita ini, juga menurun artinya orang menarik duit atau dapat dikatakan adalah mantab alias makan tabungan," tutur Abdul.

Sejalan dengan itu, Abdul menyampaikan kebijakan PPN akan berdampak secara keseluruhan terhadap perekonomian negara. Ditambah lagi, pemerintah tidak bisa membatasi dan memetakan dampak kenaikan PPN terjadi pada golongan apa saja. Berbeda halnya dengan kenaikan PPh yang bisa dipetakan tax bracket-nya.

Itu karena PPN merupakan pajak konsumsi atas barang dan jasa. Meski kenaikan PPN akan menambah penerimaan negara, Abdul mengingatkan sederet dampak negatif seperti yang dipaparkan di atas.

"Meski nanti bisa menambah penerimaan perpajakan, tetapi yang penting perlu diperhatikan bagaimana dampaknya terhadap keseluruhan perekonomian, di mana sinyal-sinyal perlambatan perekonomian itu telah muncul sejak 2023," imbaunya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar