c

Selamat

Jumat, 26 April 2024

EKONOMI

20 September 2021

20:05 WIB

Kenaikan Cukai Rokok; Pertaruhan Nasib Petani Dan Industri

Petani tembakau tengah berjuang untuk bertahan di masa pandemi dan menghadapi tantangan kondisi iklim yang sulit. Faktor alam juga membuat hasil panen tembakau tahun ini tidak maksimal

Editor: Faisal Rachman

Kenaikan Cukai Rokok; Pertaruhan Nasib Petani Dan Industri
Kenaikan Cukai Rokok; Pertaruhan Nasib Petani Dan Industri
Pelaku industri hasil tembakau (IHT) menggelar aksi teatrikal menolak kenaikan cukai rokok tahun 2022, di kawasan istana merdeka, Jakarta, Senin (20/9). Dok. AMTI

JAKARTA – Seperti biasa, saban tahun pemerintah konsisten pada sikapnya untuk menaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT). Untuk tahun 2022, pemerintah sendiri sudah ambil ancang-ancang dengan menaikkan target penerimaan cukai sebesar 11,9% menjadi Rp 203,9 triliun.

Seperti drama yang terus berulang, kenaikan tarif CHT yang mengerek harga jual rokok di luar inflasi ini pun selalu menuai kontroversi. Di tengah pandemi, penolakan dari pelaku industri tembakau pun kian keras terjadi.

Bukan tanpa sebab, pelaku industri tembakau mulai dari petani sampai peritel merasa, ketika hampir semua industri terdampak pandemi, alih-alih mendapat relaksasi, industri tembakau justru kembali mendapat tekanan tambahan. Baik dari sisi kebijakan fiskal seperti kenaikan cukai, sampai kebijakan non fiskal seperti makin ketatnya pembatasan peredaran produk tembakau.

Dengan alasan-alsan inilah, Senin (20/9), seluruh elemen mata rantai industri hasil tembakau (IHT), secara tegas menyatakan penolakan terhadap rencana kenaikan cukai hasil tembakau atau cukai rokok tahun 2022. Pernyataan penolakan kenaikan cukai rokok tersebut disampaikan secara resmi oleh gabungan elemen mata rantai IHT dalam aksi penyerahan pernyataan sikap bersama "Masyarakat Pertembakauan Menolak Cukai" kepada Presiden Jokowi di Istana Negara.

Pernyataan sikap ini disampaikan oleh Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno, Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo dan Ketua umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (FSP RTMM) SPSI Sudarto. Ikut hadir juga Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Koperasi Ritel Indonesia (Akrindo) Anang Zunaedi, Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) Muhammad Nur Azami dan elemen IHT lainnya.

Soeseno menegaskan, pihaknya berharap pemerintah dapat melihat realitas di lapangan. Saat ini, para petani tembakau sedang berjuang untuk bertahan di masa pandemi dan menghadapi tantangan kondisi iklim yang sulit. Faktor alam telah membuat hasil panen tembakau tahun ini tidak maksimal.

Ditambah lagi, serapan hasil tembakau petani belum sesuai harapan dan terancam merugi. “Kami mohon jangan kondisi para petani tembakau dipersulit dengan kenaikan cukai. Petani sebagai hulu IHT akan semakin terpuruk bila cukai dinaikkan lagi,” ujar Soeseno.

Dua petani memilah tembakau jenis kasturi sebelum di jemur di Lapangan Pakusari, Jember, Jawa Timur, Sabtu (11/9/2021). Sejumlah petani tembakau meminta pemerintah tidak menaikkan cukai pada 2022 dan memberikan relaksasi kepada industri hasil tembakau (IHT) karena pandemi COVID-19 dan mengancam mata pencaharian tenaga kerja di dalam rantai IHT. ANTARA FOTO/Seno  

Pihak Terdampak
Ia menuturkan, berdasarkan data resmi Kementerian Perindustrian (Kemenperin), saat ini jumlah petani tembakau mencapai sekitar 2 juta. Kemudian ada 1,5 juta petani cengkeh, 600 ribu buruh tembakau, dan 2 juta pedagang eceran. Dari jumlah itu sekitar 93% pekerja merupakan pekrja perempuan.

“Ditambah dengan keluarga, bisa 3-4 kali lipatnya yang bergantung di industri ini. Nah, kalau cukai naik, pasti akan sangat berpengaruh terhadap penyerapan tembakau. Pengalaman tahun 2020 ketika cukai naik sampai 23%, pabrikan rata-rata mengurangi pembelian. Posisi tawar petani pun melemah,” bebernya.

Ia mengingatkan, di industri tembakau, petani tidak bertindak sebagai price maker, melainkan hanya price taker yang hanya bisa menerima harga yang terbentuk. Ini karena jumlahnya lebih banyak dibanding pembeli (pabrikan).

“Sekarang saja harga tembakau sudah jatuh. Biasanya saya jual tembakau jenis kasturi Rp40 ribu, sekarang hanya Rp23 ribu. Pada akhir pasaran sebentar lagi, harga bisa mulai makin sempit. Menyimpan tembakau juga berisiko, tembakau bukan komoditas yang kalau enggak laku bisa dimakan sendiri. Kalau enggak laku bisa jadi sampah,” tuturnya.

Sementara itu, Sudarto selaku Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (FSP RTMM) SPSI mengungkapkan, industri selama hampir 10 tahun terus mengalami penurunan. Menurutnya, sudah selayaknya pemerintah perlu memberi perhatian serius untuk menyelamatkan industri padat karya tersebut, bukannya hanya fokus pada kepentingan pendapatan negara lewat kenaikan cukai.

Ia bilang, pemerintah seharusnya paham dan peduli. Korban sesungguhnya dari kebijakan kenaikan cukai yang selama ini termarjinalkan adalah buruh tani dan buruh rokok.

“Kenaikan cukai berdampak pada industri yang secara pasti akan memukul anggota kami para buruh yang mayoritas terlibat di produksi sigaret kretek tangan. Tolong bantu selamatkan mata pencaharian kami dengan tidak menaikkan tarif cukai 2022, lindungi industri padat karya,”ujar Sudarto.

Dari sektor hilir IHT, Asosiasi Koperasi Ritel Indonesia (Akrindo) juga berharap pemerintah mempertimbangkan untuk menunda kenaikan cukai. Di masa pandemi, para pelaku koperasi retail dan UMKM retail sedang berupaya menyembuhkan kondisi ekonomi mereka.

Ia bilang, saat ini adalah situasi yang tidak mudah bagi para peretail koperasi dan UMKM. Ia mengaku, pihaknya sedang mencari keseimbangan ekonomi.

“Apalagi mengingat dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), sektor retail belum tersentuh, belum ada insentif. Posisi kami akan semakin lemah dengan kenaikan cukai rokok, sebab selama ini rokok punya kontribusi 20%-25% terhadap omset penjualan,” kata Wakil Ketua Umum DPP Akrindo Anang Zunaedi.

Anang menambahkan, selain sembako, rokok merupakan produk sekunder yang dibeli masyarakat. “Kondisi saat ini daya beli konsumen belum pulih. Ditambah lagi harga rokok naik karena kenaikan cukai, ini makin menghimpit gerak dan penghasilan pedagang. Dampak kenaikan cukai itu tidak hanya di hulu, tapi juga termasuk kami para pedagang di hilir sektor IHT,” ujarnya.

 



Daya Beli Konsumen
Mewakili suara konsumen, Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) bersama mata rantai IHT juga dengan tegas menolak kenaikan cukai. Koordinator KNPK Muhammad Nur Azami menegaskan, suara penolakan ini adalah empirik yang menyuarakan suara arus bawah tentang realitas, kondisi IHT sedang carut marut.

“Petani kondisinya susah, pedagang juga merasakan hal yang sama, konsumen juga daya belinya lemah. Semua sedang susah, maka wacana kenaikan cukai, adalah kebijakan ugal-ugalan,” tegas Azami.

Ia berpendapat, kondisi perekonomian masyarakat yang mulai bergeliat setelah PPKM di beberapa daerah dilonggarkan, seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah untuk mendorong konsumsi masyarakat.

“Seluruh rantai industri rokok pada akhirnya ikut hancur saat daya beli konsumen tidak sanggup mengejar kenaikan harga rokok. Ketika kondisi serba sulit seperti sekarang, pemerintah harus terus berupaya agar daya beli konsumen dan tingkat konsumsinya pulih. Kemampuan konsumen ini yang akan jadi roda penggerak seluruh rantai industri,” tutup Azami. 

Perkebunan Rakyat
Sebelumnya, Plt. Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika di Jakarta, Minggu (19/9) menjelaskan, tembakau merupakan tanaman yang dimanfaatkan sebagai bahan baku produk dari sektor IHT. Seperti rokok kretek, rokok putih, cerutu, klobot, tembakau iris, snuf, cerutek hingga sebagai bahan baku stick dan liquid rokok elektrik.
 
“Status pengusahaan lahan tembakau didominasi oleh perkebunan rakyat sebesar 99,96%, sisanya merupakan perkebunan besar swasta dan perkebunan besar negara,” ungkapnya.
 
Perkebunan tembakau tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Terdapat empat provinsi yang mempunyai populasi tanaman tembakau terluas, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat.
 
“Peran petani tembakau dalam membudidayakan dan mengolah tanaman tembakau hingga menjadi bahan baku industri akan menentukan kualitas produk rokok yang dihasilkan,” ujarnya.
 
Guna mengantisipasi kendala penyerapan tembakau lokal saat panen raya, Putu bersama jajarannya melakukan assessment ke lapangan. Hal ini untuk mengidentifikasi permasalahan yang terjadi dan menemukan solusi yang tepat ke depannya.
 
“Kami juga berupaya menjembatani antara pelaku industri dan petani tembakau agar tetap bertahan menjalankan usahanya di tengah pandemi Covid-19,” tegasnya.
 
Hal ini menuutnya perlu dilakukan. Selain untuk mempercepat penyerapan tembakau, juga menaikkan harga tembakau agar petani tidak mengalami kerugian dan menjamin bahan baku yang berkualitas bagi sektor IHT.
 
“Saya berharap, sebelum musim penghujan tiba, tembakau-tembakau di petani sudah terserap, tentu saja dengan harga yang bagus. Karena saya khawatir, kalau musim penghujan tiba dan tembakau belum semuanya terserap, kualitas tembakau akan menurun yang berdampak harga tembakau juga akan turun,” pungkasnya.

Ia mengaku, Kemenperin juga terus berkoordinasi dengan beberapa stakeholder terkait dalam mencari alternatif solusi jangka menengah dan panjang, untuk mengatasi permasalahan penyerapan tembakau yang terjadi setiap tahun pada waktu panen raya tembakau.
 
“Ke depannya diharapkan solusi yang dihasilkan dapat mengantisipasi terjadinya gejolak dari para petani yang selama ini terus berulang setiap tahun,” kata Putu.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar