12 Juni 2023
17:52 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Pemerintah resmi menetapkan 10 Juni 2023 merupakan tanggal terakhir bagi pengusaha bauksit untuk melakukan ekspor komoditas tersebut. Artinya setelah 10 Juni, tidak ada lagi bijih bauksit yang dikirim ke luar negeri.
Keputusan yang termaktub dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara itu ditetapkan guna mendorong hilirisasi mineral di tanah air. Tujuannya jelas, untuk menciptakan nilai tambah dari komoditas-komoditas mineral yang ada di Indonesia.
Artinya, kebijakan untuk menutup ekspor bauksit dilakukan sejalan dengan dorongan kepada perusahaan pertambangan untuk membangun fasilitas pemurnian atau smelter. Namun demikian, Staf Khusus Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Irwandy Arif mengakui ada beberapa kendala yang dihadapi perusahaan dalam mendirikan smelter.
"Dari hasil pengamatan kami berinteraksi dengan industri yang akan mendirikan smelter, kita kelompokkan yang pertama kendalanya adalah pendanaan," ungkapnya dalam sesi diskusi bertajuk 'Untung Rugi Larangan Ekspor Mineral Mentah' di Jakarta, Senin (12/6).
Baca Juga: Aspebindo Minta Pemerintah Adil Soal Pelarangan Ekspor Mineral
Selain itu, Irwandy juga menyebut kendala lainnya adalah pasokan energi listrik kepada smelter, pembebasan tanah, hingga ke masalah perizinan.
Dia mengatakan, pemerintah melalui Kementerian ESDM telah melakukan beberapa ikhtiar guna mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Antara lain, dengan melakukan pertemuan komprehensif antara industri yang mengalami kesulitan dengan perbankan dan juga PT PLN (Persero).
Upaya itu dilakukan guna menjembatani pelaku industri pertambangan bauksit agar mereka bisa mendapat akses yang mudah. Meski begitu, hal tersebut tak semudah membalikkan telapak tangan karena ada beberapa perusahaan yang sudah memiliki perjanjian dengan pihak lainnya.
"Mereka ada yang sudah punya perjanjian dengan pihak sponsor walau kemudian kenyataannya tersendat. Lalu soal pasokan energi, PLN sudah komitmen akan membantu mereka," sebut Irwandy.
Pada kesempatan itu, Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengakui proyek hilirisasi mineral butuh investasi yang cukup besar. Tak tanggung-tanggung, proyek hilirisasi umumnya butuh investasi hingga lebih dari US$1 miliar.
"Saya jarang melihat proyek hilirisasi kurang dari US$1 miliar. Dengan struktur seperti itu, tidak hanya modal ekuitas yang diperlukan, tetapi juga pinjaman bank," kata dia.
Baca Juga: Dari 34 Perusahaan, Baru 4 Smelter Yang Lakukan Hilirisasi Nikel
Pada awal wacana proyek hilirisasi di Indonesia, Seto menyebut banyak dukungan dari lembaga keuangan internasional, utamanya dari Tiongkok, untuk menyuntikkan modal mereka. Hal itu kemudian diikuti dengan ketertarikan perbankan nasional terhadap pembiayaan hilirisasi.
Selain itu, bank-bank di Singapura juga ia sebut cukup agresif dalam membiayai proyek hilirisasi di Indonesia. Hal itu tak lepas dari realita di mana hanya sekitar empat sampai lima perbankan dalam negeri yang berkompeten untuk membiayai proyek tersebut.
"Rata-rata dari US$1 miliar itu, sebanyak 30% dari ekuitas dan 70% berasal dari pinjaman perbankan," tambah Seto.
Dalam kacamata Kemenko Marves, Seto menuturkan perusahaan tambang bauksit lokal dalam negeri yang terlibat proyek hilirisasi sudah punya relasi khusus, baik dengan perbankan domestik maupun perbankan asal Singapura sehingga peran pemerintah untuk menjembatani tidak begitu diperlukan.
"Tapi, yang kita perlukan adalah edukasi ke perbankan, pengetahuan soal industrinya, supaya mereka bisa lebih capable dalam memberi pinjaman," tandas Septian Hario Seto.