23 Oktober 2024
15:57 WIB
Kementan Ungkap Kerugian Indonesia Jika Tak Sesuai Aturan EUDR
Indonesia berpotensi mengalami kerugian di banyak hal, jika industri sawit dalam negeri tidak segera menyesuaikan aturan European Union Deforestation Regulation (EUDR).
Penulis: Erlinda Puspita
Ilustrasi pekerja menyusun tandan buah segar (TBS) kelapa sawit hasil panen. Antara Foto/Wahdi Septiawan
JAKARTA - Ketua Tim Kerja Pemasaran Internasional Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Ditjenbun Kementan) Muhammad Fauzan Ridha menyatakan Indonesia berpotensi mengalami kerugian di banyak hal, jika industri sawit dalam negeri tidak segera menyesuaikan dengan aturan European Union Deforestation Regulation (EUDR).
Dia bahkan mewanti-wanti adanya potensi peralihan pasar sawit Eropa dari Indonesia berpindah ke Malaysia.
Fauzan menguraikan secara detail bahwa kelapa sawit kelapa sawit merupakan sektor paling strategis. Alasannya, pertama produksi minyak sawit Indonesia mencapai 51,98 juta ton per tahun (BPS 2023), sedangkan jumlah minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) yang terserap ke pasar Eropa mencapai 10% dari total produksi. Ini artinya, ada potensi Indonesia sulit menyerap dari hasil produksi yang seharusnya masuk ke pasar Eropa.
"Dampak lainnya akan kesulitan menyerap kita, pada saat 10% kontribusi itu hilang dari Uni Eropa," kata Fauzan dalam Diskusi Publik INDEF "Waktu Tambahan untuk EUDR" dipantau secara daring, Rabu (23/10).
Kedua, kelapa sawit mampu menyerap tenaga kerja langsung mencapai 5,5 juta orang dan 17 juta tenaga kerja langsung dan tak langsung. Pekerja ini juga berpotensi terdampak jika akses pasar produk sawit ke Uni Eropa terganggu.
Ketiga, dari sisi ekspor tentu akan terdampak. Di tahun 2023, total nilai ekspor produk sawit Indonesia sejumlah US$2,17 miliar ke Uni Eropa atau setara 10,2% dari total ekspor Indonesia. Menurut Fauzan, ini artinya Indonesia bisa kehilangan Rp30-50 triliun per tahun.
"Dan memang saat ini sawit sudah melampaui dari sisi ekspor migasnya," imbuh dia.
Fauzan mengungkapkan, Uni Eropa merupakan pasar terbesar ke empat untuk kawasan target ekspor CPO. Di tahun 2023 saja, data BPS menunjukkan ekspor CPO ke Eropa mencapai 3,8 juta ton. Posisi pasar terbesar pertama ada China sebanyak 5,6 juta ton, India 5,4 juta ton, dan disusul Jepang 4,7 juta ton.
Selanjutnya, Fauzan mengingatkan adanya potensi beralihnya Eropa dari Indonesia ke Malaysia dalam upaya memenuhi kebutuhan CPO. Walaupun diakui, produksi CPO Malaysia masih jauh dari separuh produksi Indonesia.
"Tidak menutup kemungkinan Uni Eropa akan mengalihkan kebutuhan minyak sawitnya ke Malaysia. Malaysia bisa dibilang sudah patuh terhadap EUDR, dan pengelolaan lahannya bisa tidak terlalu rigid dibandingkan Indonesia," jelas Fauzan.
Tak hanya itu, Eropa pun diperkirakan akan memenuhi kebutuhan minyak nabati dari produksi mereka sendiri, misalnya dari minyak biji bunga matahari, minyak kedelai, rapeseed, dan lainnya.