c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

19 April 2025

17:19 WIB

Kementan: Pertanian Indonesia Sama-Sama Perlu Intensifikasi Dan Ekstensifikasi

Kementan menilai pertanian nasional sama-sama memerlukan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi demi mencapai swasembada pangan. Keduanya harus dilakukan beriringan.

Penulis: Erlinda Puspita

Editor: Khairul Kahfi

<p>Kementan: Pertanian Indonesia Sama-Sama Perlu Intensifikasi Dan Ekstensifikasi</p>
<p>Kementan: Pertanian Indonesia Sama-Sama Perlu Intensifikasi Dan Ekstensifikasi</p>

Petani menanam padi di lahan pertanian yang ada di Lampung. Antara/Ruth Intan Sozometa Kanafi.

JAKARTA - Plt Dirjen Lahan dan Irigasi Pertanian Kementan Husnain mengungkapkan, pemerintah harus melakukan kebijakan cetak sawah (ekstensifikasi) dan optimalisasi lahan sawah (intensifikasi) demi mencapai swasembada pangan. Ia menegaskan, kedua cara tersebut tidak dapat dihindari dilakukan bersamaan.

"Keduanya merupakan dua jalur (dual track) yang tidak dapat dihindari untuk ditempuh bersamaan, seperti layaknya rel kereta yang berpasangan," ucap Husnain mengutip Antara, Jakarta, Sabtu (19/4).

Husnain menjelaskan, cetak sawah baru dikenal dalam dunia pertanian dengan sebutan ekstensifikasi pertanian. Menurutnya, cara ini harus ditempuh di tengah laju konversi lahan di tanah air, dari lahan pertanian ke non pertanian yang hampir mendekati 100 ribu hektare (ha) per tahun. 

"Jika (ekstensifikasi) tidak ditempuh, maka penciutan lahan pertanian semakin cepat, sehingga pada suatu saat tidak mampu lagi menopang kebutuhan pangan penduduknya yang justru semakin bertambah," jelasnya.

Dia menuturkan, data FAO di 2022 menunjukkan, luas lahan pangan Indonesia sekitar sebesar 0,2 hektare (ha) per kapita. Jumlah ini, Husnain tekankan, lebih rendah ketimbang lahan pangan di Amerika Serikat, China, dan Thailand yang masing-masingnya bisa mencapai 1,21 ha per kapita; 0,37 ha per kapita; dan 0,33 ha per kapita.

Spesifik, saat ini luas sawah di Indonesia hanya sekitar 0,026-0,031 ha per kapita. Selain itu, data ATR/BPN mencatat setidaknya luas baku sawah Indonesia di 2024 menurun 79 ribu ha selama lima tahun ke belakang. Penurunan tersebut terjadi, dari 7,46 juta ha pada 2019 menjadi 7,38 juta ha di 2024.

"Sebetulnya upaya perlindungan lahan pertanian, terutama sawah, telah lama diupayakan dengan sejumlah regulasi. Sebut saja UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Regulasi terbaru adalah UU 6/2023 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang," lanjutnya.

Pada UU tersebut, Husnain lanjutkan, jelas menyebutkan bahwa setiap orang dilarang mengalihfungsikan lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan budi daya pertanian, kecuali untuk kepentingan umum setelah dilakukan kajian strategis, disusun rencana alih fungsi lahan, dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik dan/atau disediakan lahan pengganti terhadap lahan budi daya pertanian.

Selanjutnya, Perpres 59/2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah menjadi strategi Kementan untuk mengerem laju alih fungsi lahan pertanian. 

Pertama, pemutakhiran data spasial lahan sawah dilindungi (LSD) dan sinkronisasi serta integrasi ke dalam peta lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B).

Kedua, pengendalian alih fungsi lahan sawah melalui penetapan ke dalam Peta KP2B/LP2B/LCP2B dan pola ruang RTRW provinsi/kabupaten/kota.

Ketiga, penguatan dalam pemberian insentif kepada pemerintah daerah melalui mekanisme insentif dengan Indikator perhitungan DAK atau DAU bagi kabupaten/kota menetapkan LP2B.

Keempat, pemberian insentif kepada petani melalui mekanisme insentif bantuan sarana pertanian yang telah menetapkan LP2B. Pada 2024, terdapat 8 provinsi dan 151 kabupaten/kota yang sudah menetapkan LSD pada LP2B.

"Kebijakan perlindungan lahan sawah terbaru dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN, dimana setelah ditetapkannya peta LSD, selanjutnya Kementerian ATR/BPN melaksanakan kegiatan pengawasan dan pengendalian melalui pemantauan dan evaluasi integrasi peta LSD menjadi bahan penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) dalam RTRW/RDTR," paparnya.

Namun demikian, pelaksanaan kegiatan yang di level pemda sebagai benteng terdepan belum efektif, karena sektor pertanian selalu kalah oleh kepentingan nonpertanian yang kerap bermodal besar. Karenanya, penyusutan lahan pertanian pun terus terjadi.

Kemudian menurut Husnain, pertanian Indonesia harus melakukan intensifikasi atau optimalisasi lahan (oplah). Pada Direktorat Jenderal Lahan dan Irigasi Pertanian, tanggung jawab optimalisasi lahan tersebut dilakukan oleh Direktorat Pelindungan dan Optimasi Lahan.

Kegiatan opla, saat ini dilakukan di 20 provinsi, dengan target 500 ribu hektare, saat ini anggaran konstruksi OPLA 2025 yang sudah tersedia untuk eksekusi seluas 288 ribu hektare. Realisasi kontrak SID opla sudah mencapai sekitar 180 ribu ha (44,1%) dan terus dipercepat, sehingga diharapkan SID dapat selesai pada akhir April 2025.

"Beberapa upaya percepatan opla pun dilakukan. Bagi daerah yang sudah memiliki SID agar dilakukan percepatan kontrak konstruksi dan penyelesaian konstruksi. Upaya juga dilakukan melalui percepatan pelaksanaan SID yang dilanjutkan dengan kontrak konstruksi serta percepatan CP/CL SID dengan segera melakukan kontrak SID dan dilanjutkan dengan kontrak konstruksi," tandas Husnain. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar