JAKARTA - Kementerian Perindustrian menegaskan industri makanan pengguna minyak goreng sawit (MGS) tidak menggunakan hasil dari DMO. Sejak awal, suplai kebutuhan MGS untuk industri sudah memiliki skema business to business (B2B) atau yang lainnya.
Mengacu data Kemenperin, kebutuhan MGS nasional 2021 sebesar 5,07 juta ton. Terdiri dari kebutuhan curah industri sebesar 1,62 juta ton (32%), curah rumah tangga 2,12 juta ton (42%), kemasan sederhana 0,21 juta ton (4%), dan kemasan premium 1,11 juta ton (22%).
Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif menilai, kecil kemungkinan pemenuhan kebutuhan MGS curah sebesar 1,62 juta ton untuk industri makanan pengguna bahan baku dan/atau bahan penolong, yang menggunakan MGS curah hasil Domestic Market Obligation (DMO).
Karena biasanya industri terkait telah disuplai oleh pabrik MGS milik grupnya, dengan harga pasar atau membeli dari pabrik MGS dengan mekanisme Business to Business (B2B).
“Kami meyakini industri makanan pengguna MGS tidak menggunakan MGS hasil DMO,” ujar Febri dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (10/3).
Selain itu, masalah kekosongan pasar MGS merupakan akumulasi dari permasalahan persediaan atau stok MGS sejak Desember 2021, termasuk terjadinya rush buying pada pertengahan bulan Januari 2022.
Febri memperkirakan, berbagai fenomena tersebut berkontribusi pada kelangkaan MGS di pasar. Meskipun pada beberapa minggu terakhir dilakukan tambahan pasokan MGS ke masyarakat hasil perolehan DMO.
Senada, Ketua Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman menjamin penggunaan minyak goreng sawit untuk keperluan industri sudah sesuai dengan peruntukannya.
“Industri makanan dan minuman juga terus berkomitmen untuk menggunakan minyak goreng sawit (MGS) yang sesuai dengan peruntukannya,” ujar Adhi.
Lebih lanjut, jelasnya, industri makanan yang membutuhkan MGS sebagai bahan baku atau bahan penolong, seperti industri mi instan, industri makanan ringan, dan industri ikan dalam kaleng, membeli MGS dengan mekanisme B2B dengan harga pasar.
“Khusus untuk industri makanan skala UMKM dan/atau IKM masih diperbolehkan membeli MGS dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) sesuai Pasal 4 ayat (2) Permendag No. 6 Tahun 2022 tentang Penetapan HET MGS,” sebutnya.
Sebelumnya, Mendag Muhammad Lutfi menegaskan, agar industri menengah dan besar di dalam negeri tidak memanfaatkan minyak goreng curah dalam kegiatan produksinya.
Pasalnya, jenis minyak goreng ini secara spesifik ditujukan kepada masyarakat berpenghasilan rendah serta industri skala mikro dan kecil. Apalagi, metentuan tersebut diatur dalam UU 7/2014 tentang Perdagangan, serta UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.
"(Minyak curah) diperuntukkan kepada masyarakat yang memang menjadi objek daripada peraturan tersebut," sebut Mendag, Rabu (9/3).
Kemendag mencatat, selama 14 Februari-8 Maret 2022, sejalan keberhasilan mengekspor produk CPO dan turunanya, Indonesia berhasil mendapatkan DMO sebesar 573.890 ton atau sekitar 20,7% dari total ekspor CPO-turunan; yang terbagi pada RBD palm Olein (463.866 ton) dan CPO (110.004 ton).
Kemendag menjamin hasil DMO tersebut yang sudah didistribusikan dalan bentuk minyak goreng curah dan minyak goreng kemasan sederhana ke pasar sebesar 415.787 ton. Adapun pendistribusian ini telah melebihi perkiraan kebutuhan konsumsi bulanan yang mencapai 327.321 ton.
Kinerja MGS 2021 Positif
Sementara itu, Febri juga menerangkan, Kemenperin menganggap industri pengolahan sawit masih menjadi salah satu sektor unggulan yang menopang ekonomi nasional. Hal ini dibuktikan melalui kontribusinya sebesar 17,6% terhadap total ekspor nonmigas 2021.
“Pada 2021, ekspor produk sawit sekitar 40,31 juta ton dengan nilai ekspor US$35,79 miliar, meningkat sebesar 56,63% dari nilai ekspor di 2020,” kata Febri.
Selain itu, industri pengolahan sawit merupakan sektor padat karya, yang telah menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 4,20 juta orang dan pekerja tidak langsung hingga 12 juta orang.
Lainnya, industri sawit juga berperan penting dalam menciptakan kemandirian energi melalui biodiesel, sehingga menghemat devisa dan berdampak positif terhadap lingkungan. Program mandatory biodiesel ini juga konsisten dijalankan karena berdampak positif bagi perekonomian.
Sepanjang 2021, program B30 bermanfaat pada pengurangan impor BBM Diesel sebesar 9,02 juta kiloliter. Artinya, program ini berhasil menghemat devisa sekitar US$4,54 miliar atau Rp.64,45 triliun. Sekaligus mampu mengurangi emisi Gas Rumah Kaca sekitar 24,4 juta ton setara CO2.
"Hilirisasi industri berbasis kelapa sawit merupakan salah satu keberhasilan kebijakan pemerintah. Sejak 2007, pemerintah menetapkan sektor ini sebagai program prioritas secara konsisten sampai 2022," ucapnya.
Di samping itu, dalam kurun 10 tahun, ekspor produk turunan kelapa sawit meningkat signifikan, dari 20% di tahun 2010 menjadi 80% pada 2020. Hal ini sesuai target peta jalan pengembangan industri hilir kelapa sawit yang diatur melalui Permenperin 13/2010.
Bahkan, saat ini terdapat 168 jenis produk hilir CPO yang telah mampu diproduksi oleh industri di dalam dalam negeri. Antara lain untuk keperluan pangan, fitofarmaka/nutrisi, bahan kimia/oleokimia, hingga bahan bakar terbarukan/biodiesel FAME. Sementara pada 2011, hanya ada 54 jenis produk hilir CPO.
Realisasi produksi minyak goreng sawit (MGS) 2021 mencapai 20,22 juta ton, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sebesar 5,07 juta ton (25,07%) dan sisanya sebesar 15,55 juta ton (74,93%) untuk tujuan ekspor.
“Dengan angka produksi demikian, kemampuan pasok industri MGS jauh di atas kebutuhan dalam negeri dan menciptakan penerimaan devisa negara sangat besar,” ujarnya.