c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

17 Oktober 2023

11:16 WIB

Kemenkeu Targetkan Rasio Pajak Daerah Sentuh 3%

Per 2022, rasio perpajakan daerah di Indonesia masih terbilang rendah, hanya berada di level 1,3% saja.

Penulis: Khairul Kahfi

Kemenkeu Targetkan Rasio Pajak Daerah Sentuh 3%
Kemenkeu Targetkan Rasio Pajak Daerah Sentuh 3%
Sosialisasi pembayaran pajak penting untuk negara yang terpasang di Jembatan Penyeberangan Orang. Antara Foto/Dok

JAKARTA - Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJPK Kemenkeu Sandy Firdaus menyampaikan, pemerintah pusat menargetkan local tax ratio atau rasio perpajakan di tingkat daerah bisa naik ke level 3%. 

Target tersebut, pemerintah pusat atau Kemenkeu lakukan dengan mengoptimalkan UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). Hal ini diupayakan agar pemda bisa lebih mandiri atas penerimaan fiskalnya, dan tak bergantung pada aliran transfer fiskal dari pusat semata.

Local tax ratio-nya ini yang sedang kita kejar bersama, dan jadi salah satu pilar di dalam undang-undang HKPD… (sehingga) kita bisa meningkatkan local taxing power, supaya daerah tidak benar-benar tergantung dari (dana) Transfer Ke Daerah,” terangnya dalam Media Briefing ‘TKD Mendukung Akselerasi Transformasi Ekonomi’, Jakarta, Senin (16/10).

Hingga kini, Sandy mengungkap, porsi penerimaan fiskal paling besar APBD di Indonesia berasal dari dana Transfer Ke Daerah (TKD). Gambarannya, dari kegiatan belanja APBD yang jumlahnya mencapai Rp1.200-1.300 triliun, sekitar Rp800-an triliun di antaranya merupakan dana TKD.

Padahal, struktur penerimaan fiskal daerah ditopang oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD), TKD, dan pendapatan lain-lain yang sah. 

Sekilas, Kemenkeu mencatat, secara umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) mengalami kenaikan dari kisaran Rp162,29 triliun di 2016 menjadi Rp231,19 triliun di 2022. Hanya saja, pemerintah pusat menilai, peningkatan ini masih belum optimal jika dikaitkan dengan torehan local tax ratio-nya.

Per 2022, rasio perpajakan daerah di Indonesia masih terbilang rendah, hanya berada di level 1,3% saja. Hanya Provinsi Bali saja yang local tax ratio-nya berada di atas target 3%, yakni 3,23%. Adapun rasio pajak daerah provinsi lainnya di Tanah Air masih belum begitu bagus.

Di Sumatra, local tax ratio tertinggi dipegang Bangka Belitung (1,29%) dan terendah ada di Riau (0,71%). Di Jawa, local tax ratio tertinggi berada di DI Yogyakarta (2,18%) dan terendah ada di Jawa Timur (1,14%). Di Kalimantan, local tax ratio tertinggi ada di Kalsel (1,89%) dan terendah ada di Kaltim (0,32%). 

Di Sulawesi, local tax ratio tertinggi ada di Gorontalo (1,40%) dan terendah ada di Sulawesi Tenggara (0,55%). Di Bali-Nusra, local tax ratio tertinggi ada di Bali (3,23%) dan terendah ada di NTB (1,48%). Di Maluku-Papua, local tax ratio tertinggi ada di Maluku (1,42%) dan terendah ada di Papua (0,79%). 

“Nah memang targetnya (local tax ratio) sebetulnya bisa mencapai 3%... Ini yang coba terus didorong melalui undang-undang HKPD, bagaimana kita bisa membantu peningkatan local tax (ratio) itu terjadi (meningkat),” ujarnya.

Di sisi lain, komponen untuk meningkatkan pajak daerah juga tidak terlepas dari geliat aktivitas ekonomi di daerah. Karena itu, dirinya merekomendasikan agar pemda dapat memberikan pengaturan PDRD yang mendukung kegiatan ekonomi di wilayah itu.

Sandy mencontohkan, jangan sampai penerimaan PDRD di jangka pendek mengalami kenaikan karena pengaturan tarif pajak yang naik. Namun, dalam jangka menengah hingga panjang, kebijakan tersebut malah memberikan sentimen negatif sehingga bisa menghambat investasi ataupun pertumbuhan ekonomi.

“Ini yang harus kita kawal bersama-sama, jika pemda mencari titik optimal dari pengaturan PDRD di daerah,” sebutnya. 

Tantangan Pemungutan PDRD
Selain local tax ratio, Sandy menyampaikan, bahwa setidaknya ada lima tantangan lain dalam memungut PDRD oleh pemda. Pertama, basis pajak daerah masih sangat terbatas. 

Kemenkeu mendata, peran PDRD terhadap APBD di tingkat provinsi mencapai 12,12%, kemudian di tingkat kabupaten 3,03%, dan di tingkat kota menyentuh 2,38%. 

Kendati struktur retribusi sudah banyak, sumbangan nilainya masih relatif minimal terhadap pemasukan daerah. Dari PDRD 2022 yang mencapai Rp231,19 triliun, retribusi hanya menyumbang sekitar Rp8-9 triliun saja, sisanya berasal dari pajak daerah.

“(Karena itu), masih terdapat ruang bagi pemerintah daerah untuk mengoptimalkan sumber-sumber perekonomian sebagai basis pemungutan PDRD,” ucapnya.

Kedua, struktur pajak dan retribusi daerah perlu disempurnakan. Dia menjabarkan, jenis pajak banyak dengan hasil yang relatif kecil, kemudian biaya kepatuhan dan administrasi (compliance and administration cost) yang relatif tinggi, penerimaan retribusi sekitar 32 jenis terbilang banyak, dan ekonomi berbiaya tinggi.

Ketiga, administrasi perpajakan masih terhitung lemah. KUPD yang belum diatur secara mendetail dalam UU 28/2009 tentang PDRD membuat upaya perpajakan belum bisa diterapkan secara optimal, misalnya penagihan aktif.

“Kalau kita ngomongin collection rate di negara berkembang, banyak penelitian yang menunjukkan bahwa rata-rata masih di 50-60% saja kita bisa memungut pajak daerah. Jadi ini yang masih menjadi isu bagaimana kita bisa meningkatkan hal tersebut,” ungkapnya.

Keempat, pengawasan PDRD oleh pemerintah pusat kurang efektif dan tidak fokus. Hal ini terjadi karena Perda pajak dan retribusi daerah yang cukup banyak, sementara data dan informasi terkait PDRD masih relatif terbatas.

Kelima, dampak perubahan peraturan perundang-undangan terkait. Mencakup, ease of doing business, mandatory services, perubahan kewenangan, hingga judicial review


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar