c

Selamat

Jumat, 7 November 2025

EKONOMI

13 Mei 2025

19:28 WIB

Kelapa Langka, Buntut Petani Tak Sejahtera

Harga yang rendah dalam 5-6 tahun terakhir membuat petani kelapa memilih komoditas lain yang lebih menguntungkan. Di sisi lain, kebutuhan industri di dalam negeri malah tak terpenuhi.

Penulis: Fitriana Monica Sari, Siti Nur Arifa, Erlinda Puspita

Editor: Rikando Somba

<p id="isPasted">Kelapa Langka, Buntut Petani Tak Sejahtera</p>
<p id="isPasted">Kelapa Langka, Buntut Petani Tak Sejahtera</p>

Warga menjemur kopra di depan rumahnya di Pulau Pangalasiang, Donggala, Sulawesi Tengah, Minggu (9/6/2024). Antara Foto/Basri Marzuki

JAKARTA - Burhanuddin, pria asal Riau berusia 47 tahun mengaku telah akrab dengan kelapa, salah satu komoditas pertanian penting Indonesia, sejak dua puluh tahun lalu. Tepatnya, pria asal Tembilahan, Indragiri Hilir, Riau ini, telah menggeluti profesi petani kelapa sejak tahun 2002.

"Saya sudah menjadi petani kelapa sejak kecil. Aktif sejak tahun 2002," cerita Burhanuddin kepada Validnews, Jumat (9/5).

Tak hanya menjadi petani kelapa, Burhanuddin juga sempat memulai bisnis produk turunan berupa gula kelapa sejak tahun 2021. Dia sempat merasakan manisnya bisnis ini. Sayangnya, usaha pembuatan gula kelapa yang diberi nama UMKM Bekawan Agro Mandiri ini sempat berhenti total kala pandemi covid-19 menerpa.

Namun, Dewi Fortuna kembali menyambanginya. Kesempatan kembali mengembangkan usaha datang pada pertengahan tahun 2023, saat ia mengikuti kursus budidaya kelapa dan produk turunannya di Coconut Research Institute (CRI) Sri Lanka mewakili Sahabat Kelapa Indonesia. Ilmu yang didapatkannya pun langsung diboyong dan diterapkan di tanah air.

Hasilnya, ia kini sukses menjadi petani kelapa dan pebisnis. Burhanuddin telah memiliki kebun sendiri yang luas lahan produktifnya mencapai 24 Ha. Dalam setahun, dia bisa memanen kelapa sekitar 12.650/Ha.

"Sekarang UMKM gula kami rutin kirim ke Malaysia, sebulan sekali," tuturnya bangga.

Burhanuddin bercerita banyak soal bisnis kelapa. Dia mengungkapkan, sebenarnya tidak sulit merawat pohon kelapa. Ia berseloroh, pada dasarnya pupuk terbaik bagi kebun kelapa adalah bekas jejak telapak kaki tuannya.

Pada umumnya, buah kelapa mulai berbuah pada umur 2,5 tahun dan akan terus menerus berbuah hingga umur 50 tahun. Namun, bisa saja pohon kelapa masih berbuah meski sudah melewati masa 50 tahun. Ia mencontohkan, pohon kelapa di kampung halamannya yang telah berbuah sejak 1968 hingga sekarang.

Hal ini, menurutnya, tergantung perawatan dan lokasi. Jika perawatan dilakukan dan lokasinya tidak tergenang air, maka pohon kelapa akan tumbuh dan terus berbuah. Begitupun sebaliknya. Untuk itu, diperlukan GAP (good agricultural practice) yang baik agar pohon kelapa terus menghasilkan buah.

"Panen untuk 1 tandan kelapa 30 atau 45 hari sekali. Benihnya biasa menggunakan kelapa lokal/tall coconut," kata dia.

Harga Merangkak Naik
Sayangnya, ketekunan mendorong produksi tak selalu diimbangi dengan nilai rupiah yang diterima. Ia mengaku, rata-rata penghasilan petani kelapa di Indonesia masih rendah. Terkadang bahkan hasil yang diperoleh dirasa belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

"Kelapa dijual ke pengumpul tingkat desa atau jual ke agen perusahaan. Rata-rata penghasilan petani kelapa Rp2.650.000 per bulan/Ha, belum termasuk biaya kerja," ungkapnya.

Namun, belakangan, Burhanudin lebih semringah. Butiran kelapa dari kebunnya ditebus dengan rupiah yang lebih besar. Penghasilannya pun terkerek naik.

Sebelum tahun 2025, tuturnya, kelapa hanya dihargai Rp2.500/kg. Beda halnya dengan sekarang, saat kelapa bisa dihargai lebih dari dua kali lipat atau Rp5.800/kg. Bahkan, beberapa pekan lalu harga kelapa berhasil tembus Rp7.200/kg.

Karena itu, ia berharap agar harga kelapa di dalam negeri bisa terus bertahan tinggi, setidaknya berada di atas Rp5.000/kg. Dengan begitu, petani kelapa bisa mencicipi kesejahteraan.

“Semoga harga kelapa tetap di atas Rp5.000/kg atau berpatokan pada harga crude coconut oil (CNO), minyak kelapa mentah yang lagi naik," harap dia.

Harga kelapa di dalam negeri memang sempat melonjak saat Lebaran, ketika permintaan menggelembung. Maklum, berbagai hidangan hari raya tak jauh dari santan yang membuat rasa masakan gurih dan sedap.

Namun, usai Lebaran pun, harga kelapa tak juga turun. Dilansir dari Info Pangan Jakarta, di Pasar Kramat Jati pada awal Maret 2025, harga kelapa kupas per butir berfluktuasi di kisaran Rp10.000-Rp15.000 per butir. Namun, harga mulai naik jadi Rp20.000 per butir pada 25 Maret atau menjelang Lebaran. Dan, mencapai Rp22.000 per butir pada 30 Maret 2025.

Memasuki April 2025, harga beranjak turun. Bahkan kembali ke level Rp10.000 per butir. Tapi penurunan harga tak bertahan lama. Harga naik lagi, sehingga rata-rata per April mencapai Rp17.931. Sepanjang April 2025, harga tertinggi kelapa kupas per butir Rp20.000 dan terendah Rp10.000.

Pada Mei 2025, harga rata-rata kelapa kupas per butir di Pasar Kramat Jati Rp17.500 per butir, dengan harga tertinggi sepanjang bulan Rp20.000 dan terendah Rp15.000 per butir. Adapun, harga kelapa kupas pada Senin (12/5) senilai Rp15.000 per butir.

Sementara itu, menyitir data mingguan International Coconut Community, harga kopra di Indonesia pada Sabtu (3/5) mencapai US$1.444 per metrik ton (MT) atau naik 9,02% dari pekan sebelumnya senilai US$1.324 per MT.

Jika dibandingkan dengan April 2025, harga kopra di Indonesia bertahan di level tinggi. Yakni, sempat dibanderol US$1.189 per MT pada 5 April 2025; naik ke US$1.217 per MT pada 12 April 2025; kembali naik menjadi US$1.263 per MT pada 19 April 2025; dan naik lagi di US$1.324 per MT pada 26 April 2025.

Kenaikan harga juga terjadi pada jenis kelapa dikupas (dehusked coconut), yakni dari US$405 per MT pada 26 April 2025 menjadi US$428 per MT pada 3 Mei 2025 atau naik 5,58%. Sedangkan pada jenis kelapa kering (desiccated coconut) di periode yang sama justru tetap di US$3.600 per MT.

Kepada Validnews, Jumat (9/5), Pengamat Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Eliza Mardian mengamini adanya kenaikan harga kelapa. Bahkan, kenaikan harga kelapa tak hanya terjadi di Indonesia saja, melainkan juga di negara lain.

Meningkatnya permintaan kelapa berikut produk turunannya di pasar global, memicu kenaikan harga komoditas tersebut di dalam negeri.

"Importir-importir seperti dari China misalnya, dan juga negara lain, aktif mencari kelapa, sehingga membuat di dalam negeri harganya naik. Penyebab kenapa China mengimpor kelapa dalam jumlah besar adalah karena dari sisi penawaran kurang memadai, sementara dari permintaan ini melonjak naik," kata Eliza.

Salah satunya pemicu lonjakan permintaan kelapa adalah peralihan konsumsi ke makanan dan minuman yang bersumber dari tanaman/sumber nabati (plant based). Bahan baku minuman kekinian yang biasanya dari susu sapi, kini diganti dengan coconut milk.

Ini adalah versi lebih encer ketimbang santan yang kerap disebut coconut cream. Dengan cara pembuatan yang sama, santan lebih pekat. Sementara, susu kelapa memiliki campuran air yang lebih banyak.

"Jadi banyak beralih ke sana, sehingga permintaan naik. Terjadinya pergeseran konsumsi ini karena adanya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan," jelasnya.

Selain itu, ekspansi industri makanan dan minuman berbasis kelapa di China terus meningkat. Akibatnya, tentu permintaan terhadap kelapa ini juga meningkat. Kelapa pun turut digunakan untuk membuat virgin coconut oil, air kelapa, dan lain lain, sehingga turut mengerek permintaan. Produk hilirnya kian variatif.

Produksi Nasional Merosot
Penawaran yang disebut kurang memadai oleh Eliza, tak lain karena produksi kelapa yang menurun. Dilansir dari Bloomberg, Filipina sebagai produsen terbesar dunia dihempas cuaca ekstrem, mulai dari kekeringan hingga badai tropis, yang membuat produksi susut 20% tahun ini.

"Alasan utama di balik rendahnya pasokan adalah karena iklim," kata Henry Raperoga, presiden dan kepala operasi Axelum Resources Corp., sebuah Perkebunan kelapa di Filipina. 

"Peristiwa-peristiwa ini telah menyebabkan berkurangnya hasil panen, keterlambatan panen, dan terbatasnya mobilitas petani," imbuhnya.

Indonesia, yang notabene produsen kelapa kedua terbesar dunia setelah Filipina, juga mengalami hal yang sama.

Burhanuddin mengaku tahun ini produksi bakal turun sebesar 60%. Hal itu disebabkan perubahan masa trek buah kelapa alias periode penurunan produksi secara signifikan.

Pada tahun 2023, masa trek buah kelapa terjadi dari November 2023 sampai Februari 2024, sedangkan pada 2025 lebih awal, yakni September 2024 hingga Maret 2025.

Plt. Direktur Jenderal Perkebunan (Dirjenbun) Kementerian Pertanian (Kementan) Heru Tri Widarto menerangkan, tak dapat dipungkiri perubahan iklim memengaruhi produksi maupun harga kelapa.

"Kenaikan harga kelapa secara signifikan seperti akhir-akhir ini sebenarnya merupakan siklus lima/enam tahunan sekali, karena pada tahun 2016-2017 juga pernah mengalami hal serupa. Beberapa hal penyebabnya ini adalah terjadinya anomali iklim (el nino) tahun sebelumnya, sehingga produksi mengalami penurunan dari tahun 2020-2024 rata-rata sebesar 0,65%," beber Heru kepada Validnews, Rabu (30/4).

Sesungguhnya produksi kelapa rutin turun sejak 2012. Data yang disajikan Kementerian Pertanian dalam publikasi Statistik Perkebunan pada 2012, produksi mencapai 3,18 juta ton. Berturut-turut turun menjadi 3,05 juta ton (2013), 3 juta ton (2014), 2,92 juta ton (2015), 2,90 juta ton (2016), 2,85 juta ton (2017), 2,84 juta ton (2018), dan 2,83 juta ton (2019).

Produksi sempat naik pada 2020 meski belum bisa menyamai angka 2021. Pada 2020, produksi mencapai 2,85 juta ton, lalu naik menjadi 2,87 juta ton pada 2021. Tahun berikutnya, produksi kembali turun menjadi 2,86 juta ton.

Kemudian, pada tahun 2023 dan 2024, jumlahnya melanjutkan tren penurunan, masing-masing menjadi 2,83 juta ton dan 2,82 juta ton. Sedangkan pada tahun 2025 ini, produksi kelapa nasional diproyeksikan bisa meningkat menjadi 2,85 juta ton.

Berdasarkan Data Statistik Perkebunan (BPS), produktivitas kelapa di Indonesia mencapai 1,121 ton/ha pada 2023, lalu turun di 2024 menjadi 1,116 ton/ha, dan 2025 naik menjadi 1,130 ton/ha.

"Produksi satu tahun pada tahun 2023 sebesar 2.836.201 ton kopra atau setara 14,181 miliar butir, 2024 sebesar 2.822.118 ton kopra atau setara 14,110 miliar butir, dan 2025 sebesar 2.856.836 ton kopra atau setara 14,284 miliar butir. Jika dikonversi ke dalam butir, di mana 1 kg kopra setara dengan 5 butir kelapa," jelas Heru.

Selain adanya anomali iklim, diakui Heru masalah harga membuat sebagian petani tak lagi tertarik menanam kelapa. Harga kelapa yang cenderung rendah selama 5-6 tahun terakhir membuat petani di beberapa lokasi sentra kelapa melakukan konversi ke tanaman lain, seperti kelapa sawit maupun padi. Belum lagi, lahan yang alih fungsi untuk infrastruktur maupun kebutuhan lainnya. Hal ini membuat penurunan luas tanaman kelapa per tahun dari 2020-2024 rata-rata sebesar 0,45% atau rata-rata 132.004 ha/tahun.

“Petani banyak beralih ke komoditi lain, bahkan ke penggunaan lain seperti infrastruktur dan lain-lain,” ujar Heru.

Meskipun produksi kelapa dalam tren menurun, namun Heru menegaskan perkebunan dalam negeri masih mampu memenuhi kebutuhan nasional. Konsumsi per kapita berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional BPS 2023 adalah sebesar 0,080 butir atau sebesar 22,574 juta butir per tahun, dengan jumlah penduduk 2023 sebesar 278.896.200 jiwa. Pada 2024, sebesar 0,078 butir atau sebesar 21,965 juta butir, dengan jumlah penduduk 2024 sebesar 281.603.200 jiwa.

"Sedangkan kebutuhan industri berdasarkan data HIPKI 2023 sebesar 9,1 miliar butir dalam setahun. Pada 2024 sebesar 8,59 miliar butir. Sehingga, jika berdasarkan data tersebut, maka produksi kelapa dalam negeri masih mampu memenuhi kebutuhan nasional," ungkap Heru.

Hanya saja, terdapat masalah yang dihadapi terkait industri hilir kelapa. Heru mengatakan, mayoritas pabrik pengolahan kelapa berada di wilayah barat Indonesia. Sedangkan sentra produksi kelapa yang besar rata-rata di wilayah timur. Biaya ekspedisi yang besar menyebabkan para pengusaha tidak mampu mendatangkan kelapa dari wilayah timur.

Belum lagi, rata-rata kelapa dijual secara lepas (free market) dan melewati rantai pasok yang cukup panjang. Mulai dari pedagang pengumpul, tengkulak, pedagang besar sampai ke perusahaan.

“Sehingga dapat menjadikan harga lebih tinggi dibanding jika perusahaan langsung melakukan pembelian dengan sistem kemitraan dengan petani,” imbuhnya.

Tak Cukup 
Karena itu, meski di atas kertas produksi mencukupi kebutuhan dalam negeri termasuk industri, CORE menyebut industri pengolahan kelapa dalam negeri justru kesulitan mendapatkan bahan baku. Imbasnya, papar Eliza, beberapa perusahaan memilih untuk mem-PHK pekerjanya. Padahal, industri kelapa masih memiliki idle capacity yang besar, bahkan ada yang hanya 33% dari kapasitas total produksi maksimum.

Eliza mencatat, beberapa penyebab belum terpenuhinya permintaan kelapa di dalam negeri, antara lain dari sisi produksi yang turun, termasuk karena gangguan cuaca atau el nino. Selanjutnya, sebagian besar petani kelapa ini skala kecil, sehingga dari sisi teknik budidaya masih konvensional, manajemen perkebunan yang orientasinya bukan seperti mass production, kurangnya pemupukan, serta kurangnya penerapan teknologi karena adanya keterbatasan modal petani.

Selain itu, banyak petani yang tergiur untuk ekspor, karena harga ekspor kelapa bulat lebih menarik dibandingkan di dalam negeri. Pada tahun 2024, misalnya, jumlah ekspor kelapa bulat hampir dua kali lipat di tahun 2023. Sehingga, Indonesia didapuk menjadi eksportir kelapa bulat terbesar ketiga, dengan tujuan negara ekspor ke Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

"Ini sebuah ironi, di saat ingin hilirisasi kelapa di dalam negeri, industri eksisting saja kesusahan cari bahan baku kelapanya," ungkap Eliza.

Di tengah produksi kelapa nasional yang terbatas, CORE menyayangkan sikap pemerintah yang masih gencar membuka keran ekspor. 

BPS mendata, total ekspor kelapa bulat di dalam kulit asal Indonesia sepanjang Januari-Februari 2025 mencapai 71.077 ton. Ekspor kelapa tersebut beberapa menuju China sebanyak 68.065 ton atau setara nilai US$29,5 juta, Vietnam 2.180 ton, Thailand 550 ton, dan Malaysia 280 ton.

Secara historis, volume ekspor kelapa bulat Indonesia sebanyak 431.841 ton senilai US$102,9 juta di 2021; namun menurun menjadi 288.286 ton atau senilai US$65,6 juta di 2022. Akan tetapi, volume ekspornya kembali naik menjadi 380.833 ton di 2023; dan naik lagi menjadi 431.915 ton di 2024.

Bahkan, mengacu kepada ekspor dan produksi kelapa 2024 menurut Data Barantin, proporsi ekspornya hampir 40% dari total produksi dalam negeri yang pada tahun 2024 mencapai 2,83 juta ton.

"Itu sebagai gambaran, baru tren 2024, di tahun 2025 sejalan dengan meningkatnya permintaan dari China, ini tentu mengalami penambahan jumlah yang diekspor," seru Eliza cemas.

Eliza menegaskan, kasus kelangkaan kelapa di Indonesia ini bisa terjadi salah satunya karena ketiadaan data yang valid. Pasalnya, lebih dari 90% kelapa ini ditanam oleh petani skala kecil. Lalu, ketika ada permintaan tinggi dari negara lain dengan harga relatif baik, para pengusaha memilih mengekspor kelapa dibandingkan menjadikan bahan baku industri dalam negeri.

"Karena ketiadaan data tersebut, sehingga tidak ada analisa berapa sih sebenarnya potensi produksi kelapa per wilayah, berapa kebutuhan kelapa domestik per wilayah (total baik untuk konsumsi langsung atau melalui proses industri sebagai bahan baku komoditas lain), lalu sisanya berapa yang mungkin bisa diekspor," jelas dia.

Selain ketiadaan data yang valid, ia menilai pertanian rakyat juga membuat produktivitas kelapa relatif stagnan dan belum mencapai titik optimalnya. Pasalnya, petani skala kecil mengelola perkebunannya secara tradisional, bahkan tanpa perawatan memadai. Ditambah lagi, petani skala kecil pada umumnya belum menerapkan paham good agricultural practice. Sehingga, wajar saja tidak ada pemikiran kapan perlu peremajaan (replanting), mengelola panen, dan sebagainya.

Pemerintah bersikap terhadap isu ini. Kementan menepis kabar yang beredar bahwa kelangkaan dan kenaikan harga kelapa diakibatkan para pengusaha yang lebih suka ekspor kelapa bulat ketimbang mengolahnya.

"Kalau dikatakan kelangkaan dan kenaikan harga kelapa ini diakibatkan karena para perusahaan lebih suka ekspor kelapa bulat ketimbang mengolahnya, menurut kami tidak sepenuhnya benar," beber Heru.

Berdasarkan data ekspor 2023 dengan kode HS 08011200 kelapa dalam kulit endocarp/tanpa sabut sebesar 380.883.300 kg atau setara 292.986.923 butir dan kode HS 08011910 kelapa muda hanya sebesar 242.077 kg atau setara 186.212 butir total sebesar 293,173 juta butir.

Kemudian pada 2024 dengan kode HS 08011200 sebesar 430.545.198 kg atau setara 327,2 juta butir, dan kode HS 08011910 sebesar 926.000 kg atau setara dengan 712,300 butir. Dengan begitu, total ekspor kelapa bulat 2024 adalah 327,936 juta butir, sementara surplus antara produksi dan kebutuhan adalah sekitar 3,6 miliar butir.

Upaya Genjot Produksi
Heru menambahkan, upaya meningkatkan produksi kelapa nasional masih dihadapkan pada berbagai tantangan selain penurunan luas tanam dan alih fungsi. Mayoritas lahan yang merupakan perkebunan rakyat salah satunya. Berdasarkan data Kementan, 96,67% luas perkebunan kelapa merupakan perkebunan rakyat.

Hal ini membawa sederet masalah lain berupa penanaman monokultur, keterbatasan teknologi, dan akses modal serta kecilnya rata-rata kepemilikan lahan.

Keterbatasan benih unggul bersertifikat di wilayah pengembangan kelapa, juga menjadi tantangan untuk meningkatkan produksi kelapa. Di sisi lain, Kementan menemukan sudah banyak tanaman kelapa tua rusak/tidak produktif, yaitu seluas 378.000 ha atau sekitar 11,45% yang harus segera diremajakan.

Kementan mencatat, data kondisi perkebunan kelapa tiga tahun terakhir mengalami penurunan yang berkontribusi pada susutnya produksi. Pada 2023, dengan total luas perkebunan kelapa mencapai sebesar 3,31 juta ha, area dengan tanaman menghasilkan (TM) seluas 2,52 juta ha. Sisanya, tanaman belum menghasilkan (TBM) tercatat 410.782 ha dan tanaman tidak menghasilkan/tanaman rusak (TTM/TR) 375.039 ha. Di tahun ini, hasil produksinya 2,83 juta ton.

Kemudian pada 2024, TBM sebesar 412.063 ha, TM 2,52 juta ha, dan TTM/TR 374.964 ha. Luas area pada 2024 yakni sebesar 3,31 juta ha, dengan hasil produksi 2,82 juta ton.

Sedangkan pada 2025, TBM diproyeksikan sebesar 407.432 ha, TM 2,52 juta ha, dan TTM/TR 374.698 ha. Luas area pada 2025 diprediksi mampu mencapai sebesar 3,31 juta ha, dengan hasil produksi 2,85 juta ton.

Kementan sendiri mengaku telah berupaya berkoordinasi antar kementerian dan lembaga serta pihak terkait dalam upaya meningkatkan produksi kelapa agar dapat mencukupi kebutuhan konsumsi dan industri dalam negeri serta pemenuhan ekspor.

Menurut Heru, karena semuanya saling keterkaitan erat, di mana petani tidak akan memperoleh motivasi baik ketika harganya sering rendah, dan perusahaan akan kesulitan ketika harganya terlalu tinggi. Karena itu, perlu dilakukan kajian mendalam terkait kewajaran harga di tingkat petani dan layak bagi perusahaan.

Sebagai langkah mitigasi, saat ini, tengah dibahas terkait kesepakatan harga dasar pembelian di petani oleh asosiasi petani kelapa (APKI) dan perhimpunan petani kelapa Indonesia difasilitasi oleh Kementan. Tujuannya, agar ketika harga kembali turun petani tetap mendapatkan harga yang layak, sehingga usaha tani kelapa tetap bisa dipertahankan, bahkan dikembangkan lebih besar lagi.

Kementan juga menilai para pengusaha hilirisasi dalam negeri perlu didorong untuk membangun kebun inti guna pemenuhan kebutuhan bahan baku minimal 20% dari kebutuhan kapasitas mesin terpasang (utility) dan tentunya kemitraan secara formal dengan para petani/kelompok tani melalui berbagai pola seperti CSR dan lain sebagainya.

Untuk mendukung upaya pengembangan produksi kelapa, Heru mengaku Kementan berupaya mengusulkan peningkatan pendanaan APBN. Dengan terbitnya Perpres 132 Tahun 2024 tentang Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP), akan menjadi peluang besar untuk kegiatan pengembangan kawasan kelapa mendapatkan pendanaan dari BPDP.

"Ada berbagai kegiatan yang diusulkan, di antaranya peremajaan tanaman kelapa, sarana prasarana dan pemberdayaan SDM serta riset," urainya.

Di sisi lain, dalam jangka pendek, CORE menilai perlunya disinsentif bagi eksportir kelapa bulat. Caranya, bisa dengan meningkatkan bea keluar agar mendorong untuk menjual ke industri dalam negeri demi menjaga kontinuitas bahan baku, serta juga bisa menambah pendapatan negara dari bea keluar yang diterapkan.

"Karena jika tidak segera diterapkan kebijakan yang seperti itu, maka sampai kapanpun hilirisasi di dalam negeri akan menjadi angan-angan, mereka akan kesulitan bahan baku di dalam negeri," terang Eliza.

Jika tidak ada kebijakan disinsentif atau moratorium ekspor, maka konsekuensinya adalah harga di dalam negeri akan naik karena kelapa langka. Untuk itu, dia mengingatkan, agar jangan sampai kasus kelangkaan minyak goreng dari kelapa sawit terulang di kelapa.

Sedangkan dalam jangka menengah-panjang, perlu upaya serius dari pemerintah untuk memproduksi kelapa seperti halnya kelapa sawit. Sehingga, diproduksi massal dengan menerapkan manajemen perkebunan yang baik, menerapkan GAP.

Perlu juga dilakukan membangun kemitraan petani dengan perusahaan perkebunan milik negara atau swasta untuk memperbaiki manajemen penanaman kelapa yang sesuai dengan GAP. 

"Kita bisa meniru pola kerja sama petani kelapa sawit yang menerapkan plasma-inti," tutur dia.

Yang tak kalah penting, pemerintah pun harus mulai fokus pada pengembangan kelapa dengan mengalokasikan anggaran yang memadai. Pengembangan varietas yang resilien terhadap perubahan iklim dan hama penyakit, pendampingan petani kelapa agar bisa lebih berpikir bisnis, diyakini bisa meningkatkan produktivitas tanaman kelapa.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar