18 Agustus 2022
18:15 WIB
Editor: Dian Kusumo Hapsari
JAKARTA – Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) memandang pemerintah perlu menyusun dan melakukan berbagai strategi agar target penerimaan perpajakan 2023 tercapai.
“Terkait penerimaan pajak, pemerintah dapat mengoptimalkan pertukaran data melalui AEOI (automatic exchange of information),” kata Pengamat CITA Fajry Akbar dalam keterangan resmi, Jakarta, Kamis (18/8).
Sejalan dengan hal tersebut, bagi harta yang terlapor melalui AEOI namun tidak diikutsertakan dalam program pengungkapan sukarela (PPS) dapat menjadi sasaran optimalisasi penerimaan pajak.
Selain itu, pasca Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), optimalisasi dapat dilakukan melalui perluasan basis pajak. Pengalihan fasilitas pengecualian ke pembebasan dalam UU HPP dapat dijadikan titik awal dalam perluasan basis pajak di samping integrasi data perpajakan yang telah berlangsung.
Fajry menambahkan, beberapa aturan turunan yang belum dikeluarkan dan diimplementasikan seperti pajak karbon juga dapat menjadi pendorong penerimaan pajak tahun 2023.
Dari segi administrasi, ia mengatakan reformasi di bidang administrasi dan organisasi harus dilakukan secara kontinyu.
“Pasca pelaksanaan PPS (masuk ke dalam sistem), diharapkan wajib pajak yang ikut PPS akan terus patuh. Namun tak hanya sebatas kepatuhan formal sehingga dapat mendorong penerimaan pajak yang berkelanjutan. Otoritas pajak perlu memastikan hal tersebut,” ucapnya.
Lebih lanjut, untuk kepabeanan dan cukai, Fajry melihat 2023 menjadi kesempatan terakhir untuk melakukan ekstensifikasi. Tahun 2024 akan sangat berisiko karena akan masuk ke dalam tahun politik.
Menurutnya, dalam masa transisi, pemerintahan baru mungkin akan enggan untuk mengambil kebijakan yang tidak populis di awal pemerintahan.
“Untuk itu, pemerintah perlu mendorong penambahan objek cukai baru di tahun 2023. Sedangkan kepabeanan tidak cocok dijadikan sebagai instrumen optimalisasi penerimaan,” katanya.
Pendapatan negara pada 2023 ditargetkan sebesar Rp2.443,6 triliun. Penerimaan perpajakan memberikan kontribusi terbesar, yakni Rp2.016,9 triliun. Sedangkan penerimaan bukan pajak menyumbang poris sebesar Rp426,3 triliun.
Dengan demikian, defisit anggaran diperkirakan akan kembali di bawah 3% dari produk domestik bruto (PDB) yakni 2,85% PDB sebagaimana amanat undang-undang.
“Tak berlebihan jika menyebut angka ini sebagai bukti bahwa pemerintah mengelola keuangan negara dengan kredibilitas dan penuh kehati-hatian,” ujar Fajry.
Penerimaan pajak 2023 dipatok sebesar Rp1.715,1 triliun. Dengan demikian, target penerimaan pajak tahun 2023 naik 15,49% dari target Perpres 98/2022.
Namun, jika melihat kinerja penerimaan pajak sampai dengan bulan Juli 2022, penerimaan pajak di akhir 2022 diperkirakan dapat mencapai Rp1.658,3 triliun meskipun di sisa waktu 2022 (Agustus-Desember 2022) tumbuh 0%. Dengan menggunakan angka tersebut, target penerimaan pajak tahun 2023 hanya tumbuh 3,43%.
Meski demikian, Fajry mengatakan tidak dapat dijustifikasi bahwa target penerimaan pajak 2023 rendah. Mengingat banyaknya tantangan penerimaan pajak pada 2023 seperti penurunan harga komoditas serta Program PPS yang tak terulang pada 2023. “Menurut kami, target penerimaan pajak tahun 2023 lebih tepat disebut rasional dan terukur,” ucapnya.