24 Agustus 2023
12:35 WIB
BANDUNG – Kehadiran bursa sawit Indonesia yang segera diluncurkan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappepti), dapat mendukung keberlangsungan iklim usaha sawit nasional. Kehadiran bursa sawit Indonesia ini juga dapat membangun pasar keuangan sawit yang lebih mapan serta mampu bersaing dengan acuan harga internasional yang ditetapkan Belanda dan Malaysia.
"Masa depan industri sawit Indonesia ditentukan oleh siapa yang mengendalikan harga sawit internasional," kata Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Eugenia Mardanugraha di Bandung, Jawa Barat, Kamis (24/8).
Ia mengatakan, masa depan industri sawit Indonesia ke depan sangat dipengaruhi oleh kekuatan dalam mengendalikan harga di bursa komoditas. Pasalnya, sawit maupun turunannya merupakan produk unggulan strategis.
Oleh karena itu, menurut dia, Indonesia harus menguasai harga sawit di tingkat internasional melalui kehadiran bursa sawit. Upaya membangun industri pun tidak cukup hanya dengan mengendalikan pasokan saja.
"Semakin maju pasar keuangan atau bursa sawit Indonesia, Eropa (Belanda) semakin kehilangan kekuatan untuk mengendalikan harga," kata peneliti LPEM FEB UI ini.
Saat ini, industri juga menghadapi tantangan lain berupa penerbitan UU anti deforestasi oleh Uni Eropa yang bertujuan untuk mencegah impor produk-produk pertanian dan hutan ilegal. Regulasi ini dinilai tak lebih dari sekadar upaya Eropa menghambat kemajuan industri sawit nasional.
Penerapan peraturan itu dianggap dapat menurunkan permintaan yang berdampak pada harga sawit dan harga minyak nabati lainnya, serta menyebabkan terjadinya penyesuaian pasokan. Tidak hanya itu, ekspor Indonesia dan potensi pendapatan dari pasar minyak sawit pun terpengaruh.
Pengamat Centre for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mukhamad Faisol Amir pun menilai tekanan Eropa dapat berdampak pada kelangsungan industri sawit di Indonesia. Apalagi minyak CPO menjadi satu-satunya minyak nabati yang dikeluarkan dari daftar renewable energy oleh Uni Eropa.
"Mereka tidak memasukkan sawit sebagai minyak nabati yang direkomendasikan untuk digunakan dalam memproduksi biofuel," serunya.
Menurut dia, kondisi ini semakin menguatkan alasan Indonesia untuk terus memperkuat posisi di pasar internasional dan memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit yang berkelanjutan.
"Indonesia harus segera keluar dari ketergantungan pasar dari negara-negara yang menerapkan hambatan dagang seperti Uni Eropa," kata Faisol.
Tidak Mandatory
Terlepas dari tekanan Eropa, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah Redjalam menyatakan, ekspor minyak sawit mentah atau CPO melalui bursa berjangka Indonesia harus bersifat voluntary (tidak mandatory). Juga tidak bersifat fisik, dan tidak dikaitkan dengan kewajiban pemenuhan pasar domestik (domestic market obligation/DMO).
"Oleh karena itu, pengaturan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) melalui bursa berjangka Indonesia hendaknya tidak mengintervensi pasar," serunya.
Dengan demikian, lanjutnya, harga yang terbentuk di bursa sepenuhnya mencerminkan harga pasar yang dibentuk oleh pasokan dan permintaan. Dengan demikian bursa menjadi kredibel dan bisa sebagai rujukan pasar global.
Saat ini Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan berkolaborasi dengan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Ditjen Daglu) Kemendag, mengadakan konsultasi publik ekspor CPO melalui bursa berjangka.
"Salah satu indikator bursa kredibel adalah menyerahkan kepada mekanisme pasar, termasuk preferensi penjual dan pembeli terhadap bursa tersebut. Jadi tidak lazim adanya kewajiban atau mandatory dalam praktek Bursa Berjangka," kata Piter.
Karena itu, dia mengimbau ke Kementerian Perdagangan (Kemendag) hendaknya tidak mengambil keputusan secara terburu-buru. Kebijakan mengatur ekspor CPO melalui bursa berjangka Indonesia, hendaknya direncanakan secara matang didukung oleh research policy yang mendalam dari berbagai perspektif termasuk perspektif hukum.
“Pemerintah perlu melakukan public hearing melalui berbagai forum diskusi terbuka yang melibatkan pelaku usaha, akademisi, parlemen, dan tokoh-tokoh masyarakat,” ujar Pieter saat menyampaikan hasil riset terkait bursa CPO.
Sebelumnya, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) bersiap untuk meluncurkan bursa komoditas sawit yang nantinya dapat menjadi referensi harga CPO Indonesia untuk kepentingan ekspor.
Dasar hukum pembentukan bursa sawit atau badan pengelola bursa tersebut akan diterbitkan dalam peraturan Menteri Perdagangan (permendag).
Selama ini, referensi harga CPO Indonesia masih mengacu pada pasar di Belanda dan Malaysia, sehingga Indonesia belum memiliki nilai tawar tinggi dalam penentuan harga meski menjadi salah satu produsen sawit terbesar di dunia.