31 Mei 2021
20:18 WIB
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Sejak Juni 2019 hingga Februari 2021, Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 250 basis poin, dari 6% menjadi 3,5%. Penurunan itu dilakukan sebanyak sembilan kali. Enam di antaranya dilakukan pada masa pandemi covid-19.
Akan tetapi, Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah Redjalam mengatakan, turunnya suku bunga acuan tidak segera diikuti oleh turunnya suku bunga kredit perbankan.
"Sebagian besar bank memang sudah menurunkan suku bunga kredit, tetapi tidak secepat dan sebesar penurunan suku bunga acuan," ujar Piter dalam keterangan tertulis yang diterima Validnews, Senin (31/5).
Lebih buruk lagi, lanjut dia, penurunan suku bunga acuan ternyata tidak mampu mendorong pertumbuhan penyaluran kredit perbankan. Pertumbuhan kredit perbankan pada tahun 2020 terkontraksi 2,41%.
Ia menjelaskan, bila dilihat data empiris, pertumbuhan kredit tinggi sering terjadi ketika suku bunga acuan tinggi. Ada anomali hubungan suku bunga dan penyaluran kredit di Indonesia.
Pada tahun 2018 misalnya, pertumbuhan kredit meningkat menjadi 12,45% dari sebelumnya 8,1%. Itu terjadi justru ketika Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan dari 4,25% menjadi 6,25%.
Sebelumnya lagi, pada tahun 2011, pertumbuhan kredit bisa mencapai angka tertinggi 24,59% justru ketika suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) masih sangat tinggi, yaitu sebesar 6,75%.
"Anomali hubungan suku bunga acuan dan penyaluran kredit perbankan ini menyiratkan kebijakan suku bunga tidak selalu efektif dalam mendorong pertumbuhan kredit. Diperlukan kebijakan-kebijakan lain untuk mendorong pertumbuhan kredit perbankan," paparnya.
Menurut Piter, penyaluran kredit perbankan di tengah pandemi saat ini lebih ditentukan oleh permintaan kredit. Sementara, turunnya suku bunga tidak mampu meningkatkan permintaan kredit tersebut.
Terbatasnya aktivitas sosial ekonomi masyarakat menyebabkan tingkat konsumsi masyarakat dan produksi dunia usaha mengalami penurunan yang signifikan. Maka, tidak heran jika kemudian kebutuhan pembiayaan baik untuk konsumsi maupun produksi juga turun drastis.
"Permintaan kredit menjadi sangat terbatas. Kalaupun ada permintaan kredit, risikonya juga tinggi dan harus diwaspadai," imbuhnya.
Perlu Kebijakan Lain
Ketika permintaan kredit demikian rendahnya dan berisiko, dalam rangka pembiayaan fiskal, Pemerintah menawarkan Surat Berharga Negara atau SBN dengan return yang menarik dan tingkat risiko yang minimal atau bahkan zero risk. Bagi sebagian bank, khususnya yang memiliki cost of fund yang rendah, SBN menjadi pilihan yang paling menguntungkan.
"Bank yang memilih menempatkan dananya di SBN tidak dapat disalahkan. Mereka harus memastikan adanya penerimaan yang cukup guna membayar bunga kepada masyarakat pemilik dana. Bank tidak perlu dipaksa menyalurkan kredit. Mereka akan kembali menyalurkan kredit ketika ada permintaan dan risiko kredit diyakini dapat dikelola," kata Piter.
Lebih lanjut, ia menegaskan, memaksakan bank menyalurkan kredit justru bisa berdampak negatif meningkatkan risiko kegagalan bank.
Untuk meningkatkan penyaluran kredit perbankan, Piter mengatakan, mutlak diperlukan adanya kebutuhan pendanaan dari masyarakat dan pelaku usaha. Kebijakan seperti pelonggaran PPnBM kendaraan bermotor dan PPN properti justru secara langsung meningkatkan pembelian kendaraan bermotor dan properti yang diikuti oleh peningkatan kebutuhan pembiayaan kredit perbankan.
"Perlu ada kebijakan-kebijakan terobosan lainnya untuk mengembalikan tingkat konsumsi. Yang paling utama adalah mengembalikan confident masyarakat untuk kembali belanja meskipun masih mengalami pandemi," terang Piter.
Untuk itu, pemerintah diminta memastikan percepatan pelaksanaan vaksinasi dan peningkatan kedisiplinan melaksanakan protokol kesehatan. Kedua upaya ini akan mencegah terjadinya lonjakan kasus baru covid-19, sekaligus akan memunculkan confident masyarakat.
Piter berharap pemerintah bisa mengembangkan kebijakan yang serupa dengan pelonggaran PPnBM kendaraan bermotor, memberikan subsidi untuk konsumsi barang-barang atau jasa tertentu. Termasuk misalnya subsidi melakukan wisata di tengah pandemi.
"Subsidi tersebut bisa dalam bentuk subsidi tiket pesawat dan atau subsidi biaya hotel/penginapan. Subsidi wisata di tengah pandemi akan membangkitkan kembali industri pariwisata yang saat ini terpuruk. Sekaligus juga, memunculkan kembali kebutuhan akan modal kerja dan permintaan kredit," tutupnya.