11 Januari 2024
16:12 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
JAKARTA - Direktur Utama PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) Asdo Artriviyanto menyebutkan pihaknya tengah merencanakan pengadaan sejumlah KRL baru, mulai dari impor, retrofit (peremajaan), hingga pemesanan armada ke PT Industri Kereta Api (INKA).
Tak tanggung-tanggung, kebutuhan untuk pengadaan armada itu mencapai Rp8,65 triliun. Dari angka itu, sebanyak Rp5 triliun berasal dari Penyertaan Modal Negara (PMN) melalui induk usaha PT Kereta Api Indonesia (Persero).
"Jumlahnya Rp8,65 triliun kebutuhan capex, Rp3,65 triliun KCI harus pinjam ke bank, sisanya dari PMN melalui KAI yang akan di-deliver ke KCI," jelas Asdo dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (11/1).
Adapun penyaluran PMN dilakukan secara bertahap, yakni Rp2 triliun pada 2024, serta Rp1,5 triliun masing-masing tahun 2025 dan 2026 mendatang.
"Jadi itu bukan hanya impor, ada juga retrofit. Sementara impor hanya tiga (unit) karena untuk mengejar peningkatan kapasitas," katanya.
Baca Juga: Penumpang KRL Commuter Line 2023 Tembus 331 Juta Orang
Asdo memastikan bahwa impor yang akan dilakukan merupakan armada baru atau bukan bekas. Sayangnya, dia belum berkomentar soal negara asal KRL yang akan diimpor.
"Baru, benar-benar baru. Ini kita kejar terus supaya tahun 2024 bisa terdeliver di Indonesia," sambung dia.
Saat ini, KAI Commuter terus berkoordinasi dengan Ditjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan terkait spesifikasi kereta yang akan diimpor.
Nantinya, calon-calon kereta yang akan diimpor akan melalui penyesuaian terlebih dahulu dengan kondisi prasarana di Indonesia, mulai dari kelistrikan, trek, hingga lebar kereta.
"Jadi ini kan di-support lewat PMN yang diberikan tahap pertama tahun ini, harus kita sesuaikan dengan anggaran. Kalau tawaran memang banyak, tapi harganya selangit," tutur Asdo.
Selain impor, KAI Commuter juga melancarkan peremajaan armada atau retrofit. Sebanyak 19 armada KRL akan dikirim ke INKA secara bertahap untuk diremajakan.
Retrofit itu dilakukan dengan menyehatkan armada KRL yang masuk masa konservasi dan memasuki masa pensiun. Dengan peremajaan, performa armada-armada tersebut bisa lebih baik lagi.
"Kalau retrofit ini penyehatan atau diganti komponennya sehingga menyerupai baru. Kalau kereta baru nilai ekonomisnya 30 tahun, ini hampir separuhnya yaitu 15 tahun," jelasnya.
Saat ini, KAI Commuter memiliki sekitar 104 trainset Commuter Line Jabodetabek. Meski jumlahnya bertambah jadi 107 unit dari impor, KAI Commuter harus mengirim empat unit untuk diremajakan.
"Jadi kenapa kita pesan impor itu karena secara bertahap kita kirim ke INKA dua unit untuk retrofit, lalu pertengahan tahun kirim dua lagi. Untuk menutup kekurangan, kita impor," tandasnya.
Urusan KAI Commuter dengan INKA tak terbatas pada retrofit atau peremajaan armada, tetapi juga pemesanan KRL baru. Hingga 2027, KAI telah berkontrak untuk mengadakan sebanyak 16 trainset dari INKA.
"Tahun 2025 kita juga akan kontrak 8 trainset lagi. Jadi, ada 24 trainset yang kita pesan dari INKA," ucap Asdo.
Jangan Kebablasan Impor
Pengamat transportasi Djoko Setiwarjono menyampaikan, kebijakan impor KRL bekas jangan sampai kebablasan. Jika demikian, pemerintah kurang menghargai produk dalam negeri dan kemampuan bangsa sendiri.
“Impor barang bekas itu murah tapi juga harus diakhiri,” demikian pendapat Djoko melalui keterangan tertulis, Sabtu (4/3) tahun lalu, menanggapi rencana impor kereta rel listrik (KRL) bekas dari Jepang yang sudah berusia 28 tahun.
Rencana itu diajukan PT Kereta Commuter Indonesia, anak usaha PT Kereta Api Indonesia (Persero) kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag). Rencana KCI itu mendapat persetujuan dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub).
Menurut Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI ini, impor KRL bekas untuk mengganti 10 rangkaian (trainset/Ts) yang dipensiunkan KCI tahun ini, memang murah.
Namun, lanjut dia, murah di awal tapi perawatan mahal. Belum lagi, jika suku cadang sudah tidak lagi diproduksi di Jepang, yang terjadi akhirnya kanibalisasi.
Pemerintah, lanjut dia, mesti mempertimbangkan, investasi mahal di awal untuk KRL. Tapi, lebih murah perawatan. Apalagi jika diproduksi bangsa sendiri, bisa meningkatkan kemandirian di sektor transportasi.
Baca Juga: Jalur Commuter Line Stasiun Manggarai Berubah
Djoko sampaikan, kebijakan impor KRL bekas sudah terjadi sejak 23 tahun lalu. KAI maupun anak perusahaan, PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) yang sejak 19 September 2017 menjadi KAI belum pernah investasi satu trainset (Ts) baru.
“Hanya ada KRL baru buatan INKA, Kemenhub mendapat pinjaman dari KFW dan saat ini dioperasikan di lintas Yogya-Solo,” terang pengajar di fakultas Teknik Unika Soegija Pranoto, Semarang itu..
Dia menyarankan, pengadaan transportasi umum massal KRL menggunakan pola yang dia sebut ‘sandwich’, yakni jika kebutuhan PT KCI 10 Ts per tahun, ada pengadaan 8 Ts KRL bekas dan 2 Ts baru dari PT INKA (Persero).
Menurut dia, dengan pola ini, makin lama komposisi rangkaian kereta baru KRL bertambah.
Dia menyadari, PT INKA tidak akan bisa memenuhi kebutuhan, misalnya 10 Ts dalam setahun. Karena masa produksi memerlukan waktu yang cukup.
Akan tetapi, INKA dapat order produksi KRL baru tiap tahun. Kebutuhan operasi KRL untuk jadi KCI terpenuhi. Produksi rutin KRL setiap tahun, punya potensi meningkatkan kualitas produk PT INKA.
Jika pengadaan dilakukan dengan pola sekarang, ada konsekuensi, kereta yang usang tidak dioperasikan. Namun, banyak penumpang KRL terlantar. Pilihan kedua, kereta yang usang tetap dioperasikan, namun mengabaikan faktor keselamatan perjalanan.
Menurut dia, dengan aturan TKDN, akan membuat bangsa Indonesia mandiri dalam teknologi perkeretaapian. Namun, pemerintah harus tahu pula situasi dan kondisi pabrikan di dalam negeri.