c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

15 November 2023

18:22 WIB

Ini Skenario Yang Dipilih PLN Dalam RUPTL 2024-2033

Skenario yang dianggap paling feasible untuk dijalankan dan dimasukkan dalam RUPTL, PLN akan tambah pembangkit listrik berbasis EBT sebesar 75% dan berbasis gas 25%

Penulis: Yoseph Krishna

Editor: Fin Harini

Ini Skenario Yang Dipilih PLN Dalam RUPTL 2024-2033
Ini Skenario Yang Dipilih PLN Dalam RUPTL 2024-2033
Pekerja menyelesaikan pemasangan surya panel di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (13/12/2021). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja.

JAKARTA - PT PLN (Persero) tengah menyusun sebuah power system modelling bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan International Energy Agency (IEA) dengan berbagai skenario.

Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menyebut berdasarkan diskusi dengan Kementerian ESDM, skenario Accelerated Renewable Energy Development with Coal Phase Down merupakan yang paling feasible untuk dijalankan dan dicantumkan dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2024-2033.

"Itu skenario yang paling feasible, yakni Accelerated Renewable Energy Development with Coal Phase Down. Ini juga sejalan dengan sistem modelling yang kami lakukan bersama Kementerian ESDM dan IEA," ucapnya dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR, Rabu (15/11).

Dalam skenario itu, penambahan pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) punya porsi hingga 75%. Sedangkan 25% sisanya, merupakan penambahan pembangkit listrik tenaga gas.

Di sisi lain, skenario itu tetap mengoperasikan PLTU batu bara hingga masa akhir kontrak. Setelahnya, akan ada penambahan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) untuk menekan emisi dari PLTU batu bara.

"Pembangkit yang berbasis batu bara akan tetap beroperasi sampai masa akhir kontrak dan nanti akan ada penambahan CCS," tambah Darmawan.

Baca Juga: Tanpa Intervensi, Emisi Ketenagalistrikan 1 Miliar Ton CO2 per Tahun

Adapun penambahan renewable energy berbasis baseload dalam skenario itu, sambungnya, mencapai 31 GW. Sementara untuk renewable energy yang bersifat intermittent atau tenaga angin dan surya mencapai 28 GW.

"Lalu ada energi baru di sini, kalau Pak Jisman (Dirjen Ketenagalistrikan) melontarkannya dengan nuklir, tapi kami sebut energi baru, ada 2,4 GW dan bisa naik jadi 5-6 GW," kata Darmawan.

Dia tak menampik bahwa pembangunan pembangkit listrik EBT baseload punya capital expenditure (capex) yang lebih besar ketimbang pembangkit listrik tenaga gas. Namun demikian, operational expenditure (opex) pembangkit EBT ia sebut lebih kecil jika dibandingkan gas ataupun batu bara.

Darmawan menjelaskan sistem kelistrikan pada skenario Accelerated Renewable Energy Development with Coal Phase Down sudah cukup andal. Pasalnya, ada beberapa pembangkit berbasis tenaga gas yang ditempatkan pada episentrum dari demand.

"Dengan begitu, evakuasi daya akan menggunakan transmisi. Ada juga penambahan pembangkit gas yang nanti akan jadi penyeimbang ketika ada gangguan evakuasi daya," imbuh dia.

Skenario Lain
Lebih lanjut, Darmawan menjabarkan ada empat skenario lain yang menjadi opsi, salah satunya adalah skenario business as usual, di mana semua pembangkit berbasis batu bara dengan asumsi tahun 2031-2040 akan ada penambahan pembangkit listrik dari sumber tersebut.

Kemudian skenario lainnya, ialah penambahan pembangkit yang seluruhnya berbasis tenaga gas. Skenario ini dengan mempertimbangkan rasio emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari tenaga gas jauh lebih rendah dibandingkan batu bara.

"Coal dibanding gas itu emisi bisa berkurang sekitar 60%. Jadi kalau 1 kg CO2 di batu bara, dari gas hanya 400 gr CO2," tambahnya.

Baca Juga: Resmikan PLTS Terapung Cirata, Jokowi: Nomor Satu Di ASEAN

Selanjutnya, ada skenario Ultra Accelerated Renewable Energy Development yang meniadakan pembangkit gas. Skenario itu tidak dipilih karena operasi sistem nantinya menjadi sangat itdak andal mengingat seluruh pasokan listrik dari evakuasi daya disalurkan lewat transmisi.

"Jadi, keseimbangan antara listrik berbasis transmisi dengan listrik berbasis local source menjadi jomplang, di mana local sourcenya itu nol, sehingga operasi sistem jadi sangat rendah dan tidak feasible," jabar dia.

Terakhir, ialah skenario Ultra Accelerated Renewable Energy with Coal Phase Out, di mana terdapat program pensiun dini batu bara. Namun di sisi lain, kebutuhan renewable energy baseload sangat besar, mendekati 84 GW.

"Ternyata kebutuhan renewable energy baseload mendekati 84 GW, operasi sistem jadi tidak feasible, dan kebutuhan capex jadi sangat mahal," tandas Darmawan Prasodjo.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar