c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

16 Maret 2023

17:59 WIB

Ini 3 Poin Utama Dampak Kolapsnya SVB Pada Ekonomi Indonesia

Indef menilai terdapat dampak tidak langsung dari kolapsnya SVB pada ekonomi Indonesia.

Penulis: Nuzulia Nur Rahma

Editor: Fin Harini

Ini 3 Poin Utama Dampak Kolapsnya SVB Pada Ekonomi Indonesia
Ini 3 Poin Utama Dampak Kolapsnya SVB Pada Ekonomi Indonesia
Ilustrasi logo Silicon Valley Bank di kantor pusat bank komersial berteknologi tinggi di San Francisco Selatan. Shutterstock/Michael Vi

JAKARTA - Penutupan beberapa bank di Amerika Serikat (AS) yang bangkrut, salah satunya Sillicon Valey Bank (SVB), telah menggemparkan seluruh dunia, termasuk Indonesia. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya mengatakan kebangkrutan bank yang banyak mendanai perusahaan rintisan itu menimbulkan kengerian di pasar keuangan dunia.

"Semua negara sekarang menunggu efek domino akan ke mana," kata dia, Rabu (15/3).

Lalu bagaimana analisis dari para peneliti? Wakil Direktur INDEF Eko Listyanto memberikan tiga poin utama mengenai dampak runtuhnya SVB terhadap perekonomian Indonesia. Pertama, ia mengatakan bahwa secara langsung, Indonesia memang hampir tidak berdampak.

"Dampak secara langsung ya kecil, kenapa? Karena, relasi antara SVB dengan startup dan perbankan di Indonesia sepanjang pengetahuan saya tidak ada atau sangat kecil. Apalagi mengingat fundamental perbankan saat ini kuat," katanya dalam diskusi online Indef "SVB Kolaps, Ekonomi Indonesia Perlu Cemas?" Kamis (16/3).

Baca Juga: Penutupan Tiga Bank AS Diyakini Tak Berdampak Buat Indonesia

Kedua, ia menegaskan, terdapat dampak tidak langsung. Ini terlihat dari volatilitas IHSG yang memerah. Situasi panik atau ketidakpercayaan terhadap industri perbankan, terutama di Amerika dan Eropa, tercermin dari investor yang meninggalkan saham perbankan.

Ia mengambil contoh turunnya harga saham Credit Suisse yang menurutnya sangat berimplikasi pada sektor riil dalam negara-negara maju tadi.

"Ini yang secara sentimen menggambarkan akan memicu sentimen negatif di pasar global. Di pasar keuangan, khususnya di pasar perbankan yang kalau tidak diatasi dengan segera bisa merambat kemana-mana," tuturnya.

Ketiga, seiring tekanan pada sektor perbankan AS ada kemungkinan agresivitas kenaikan suku bunga akan berkurang. Menurut Eko, ini bisa dikatakan sebagai 'kabar baik' bagi kurs rupiah tetapi dengan catatan jika inflasi Negeri terkendali dan volatilitas pasar modal hanya temporer.

"Dengan adanya AS ke depan kalau bank nya kesandung dan jatuh, saya rasa The Fed kemungkinan tidak akan terlalu agresif lagi. Implikasinya jika suku bunga melandai, ya seharusnya tekanan rupiah berkurang. Nah ini kan kabar baik bagi kurs rupiah," jelasnya.

Tanggapan Bank 
Terkait dengan kolapsnya SVB dan pengaruhnya terhadap perbankan nasional, Direktur Utama BRI Sunarso mengungkapkan bahwa kondisi industri perbankan Indonesia saat ini dalam kondisi solid dan memiliki eksposur risiko yang minim atas kolapsnya salah satu bank di Amerika Serikat, Silicon Valley Bank (SVB) tersebut.

“Perbankan di Indonesia, utamanya BRI, jauh dari episentrum krisis tersebut. Hal ini tercermin salah satunya dari permodalan yang kuat serta likuiditas yang memadai,” katanya dalam pernyataan resmi. 

Hingga akhir tahun 2022 tercatat CAR BRI (konsolidasian) berada di level sangat kuat sebesar 25,54% dan LDR (konsolidasian) terjaga di level 87,09%.

Baca Juga: IFSOC: Kolapsnya SVB Jadi Early Warning Sektor Fintech

Sunarso juga kembali mengingatkan bahwa sebelumnya BRI berhasil melewati krisis berkali-kali, dari krisis moneter di tahun 1998 hingga krisis yang diakibatkan oleh pandemi covid-19. 

Ia menambahkan, saat ini perbankan Indonesia sangat taat dalam penerapan BASEL dalam hal risk management, sehingga pembentukan modal juga cukup tebal. Di sisi lain pengawasan dari OJK terhadap bank juga sudah sangat baik. Di samping itu, Bank Indonesia juga terus mendukung pemenuhan likuiditas.

“Saat ini kita tetap harus optimis tapi tidak jumawa dan tidak sembrono. Jadi tetap kita jalankan prinsip-prinsip good corporate governance, risk management yang baik, saya kira itu kuncinya. Jadi optimis tapi juga tetap harus hati-hati dan kita punya tools itu semua, terutama di perbankan,” tandasnya.

Perbankan Indonesia Dalam Kondisi Sehat
Terpisah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan tidak ada lembaga keuangan di Indonesia yang memiliki kaitan langsung dengan Silicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat yang pada 10 Maret 2023 sudah ditutup. Perbankan Indonesia dalam kondisi sehat.

“Pantauan sejauh ini tidak ada terkait langsung,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono dalam seminar internasional terkait lembaga penilaian kredit di Nusa Dua, Bali, Kamis (16/3), dilansir dari Antara.

Setelah penutupan SVB oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) Amerika Serikat, ia menilai dampak yang terasa hanya sebatas psikologis terhadap industri keuangan.

Ia menegaskan, perbankan di Tanah Air dalam kondisi baik. Saat ini tidak ada bank yang dalam status membutuhkan resolusi, misalnya bank dalam penyehatan hingga dalam pengawasan.

“Artinya sejauh ini bagus saja, mudah-mudahan ini dampak psikologis saja, mungkin takut bisa ada rush tapi kami yakinkan bahwa kondisi lembaga jasa keuangan Indonesia relatif baik,” imbuhnya.

Baca Juga: Jokowi Ingatkan Semua Pihak Hati-Hati Setelah Kolapsnya SVB

Fundamental ekonomi Indonesia juga dalam kondisi yang baik, yang ditunjukkan oleh sejumlah indikator. Di antaranya pertumbuhan kredit perbankan yang tumbuh di atas 10%.

Kredit bermasalah (non performing loan/NPL) juga terkendali, hingga program relaksasi dari OJK terkait kredit UMKM tetap diberikan.

“Kami ambil kebijakan relaksasi yang tetap diberikan untuk UMKM, sektor makan dan minum dan untuk Bali masih ada relaksasi, perusahaan pembiayaan juga untuk segmen UMKM juga masih relaksasi,” katanya.

Sebelumnya, OJK menyebutkan penutupan SVB tidak memiliki dampak langsung kepada perbankan Indonesia karena tidak memiliki hubungan bisnis maupun investasi pada produk sekuritisasi di SVB.

Selain itu, berbeda dengan SVB dan perbankan di AS umumnya, bank-bank di Indonesia tidak memberikan kredit dan investasi kepada perusahaan teknologi rintisan dan kripto.

OJK menyebutkan kondisi perbankan Tanah Air menunjukkan kinerja likuiditas yang baik yakni alat likuid/non core deposit (AL/NCD) dan alat likuid/Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) yang berada di atas ambang yakni sebesar 129,64% dan 29,13%, yang jauh di atas ambang batas ketentuan masing-masing mencapai 50% dan 10%.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar