23 September 2023
17:29 WIB
Penulis: Yoseph Krishna, Nuzulia Nur Rahma, Aurora K MÂ Simanjuntak
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Kian hari masyarakat Indonesia kian tak asing dengan beragam layanan pinjaman online (pinjol) ataupun paylater. Produk keuangan berbasis digital ini disediakan oleh lembaga finansial yang dikenal dengan sebutan fintech Peer to Peer (P2P) Lending.
Melalui layanan tersebut, pihak pemberi pinjaman atau lender bisa dipertemukan dengan pihak peminjam atau borrower yang ‘BU’ alias membutuhkan suntikan dana. Dengan kata lain, fintech biasanya memiliki konsep mirip dengan marketplace online.
Hanya saja jika marketplace mempertemukan penjual dengan pembeli, layanan ini justru menjadi wadah untuk menghubungkan pihak pemberi pinjaman dan peminjam dengan mudah, praktis, simpel.
Produk ini tumbuh bongsor sejak kemunculannya. Maklum, kemudahan yang ditawarkan berpadu dengan kebutuhan kredit membuat P2P lending mengembang. Banyak orang butuh uang dan bisa meminjamnya dengan mudah.
Catatan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menyebutkan sejak 2016 hingga per April 2023, agregat pinjaman yang telah disalurkan mencapai Rp601,41 triliun.
Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah beberapa waktu lalu mengatakan, potensi bertumbuh pun masih ada, lantaran credit gap alias kebutuhan kredit yang tidak terpenuhi di Indonesia masih sangat luas. Tercatat, dengan kebutuhan pembiayaan sebesar Rp2.650 triliun, jumlah pinjaman yang bisa diberikan industri jasa keuangan berkisar Rp1.000 triliun. Jadi masih ada credit gap sebesar Rp1.650 triliun.
"Dari kebutuhan kredit, industri jasa keuangan konvensional hanya bisa menopang Rp1.000 triliun. Tahun lalu, P2P lending Rp220 triliun, tahun ini diharapkan kita akan di sekitar Rp250 triliun," ujarnya dalam konferensi pers, Selasa (13/6).
Akan tetapi, di balik kemudahannya, terdapat risiko yang cukup tinggi. Kemudahan yang ditawarkan membuat pengguna tak berhitung matang soal kewajiban mengembalikan pinjaman atau bunga yang bisa ditanggung.
Risiko ini bukan hanya bagi konsumen atau pengguna. Risiko yang dihadapi perusahaan penyedia layanan hingga para pemberi pinjaman atau lender juga tak kalah pelik.
Pandemi covid-19 yang melanda Indonesia pada 2020, lalu serta krisis ekonomi global tampaknya menjadi salah satu katalisator penurunan kinerja ekonomi Indonesia, termasuk pada industri pinjol.
Banyak borrower yang gagal bayar, hingga membuat perusahaan tak mampu mengembalikan dana lender. Kredit macet pun membuat PT Igrow Resources Indonesia (iGrow), PT Tani Fund Madani Indonesia (TaniFund), dan PT Investree Radhika Jaya (Investree) berada di bawah pengawasan ketat Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Tolok Ukur Kesehatan Pinjol
Sekjen AFPI Sunu Widyatmoko mengaku, saat ini pihaknya melihat kinerja dan kesehatan industri P2P Lending agak menurun dibandingkan tahun lalu akibat gagal bayar. Ada dua faktor mengapa gagal bayar kerap terjadi. Pertama, masih banyak kegiatan usaha atau bisnis yang masih belum pulih dari dampak pandemi.
Saat covid-19 merebak dan diikuti pembatasan untuk menekan penularan, kegiatan usaha dan mata pencarian para borrower terganggu atau bahkan berhenti. Akibatnya, borrower telat bayar atau bahkan tidak mampu bayar hutang yang tertagih.
Kini meski pandemi sudah berlalu, tak semua usaha UMKM itu rebound. Dia mengingatkan, P2P lending menyalurkan pinjaman kepada kalangan underbanked dan UMKM.
Faktor kedua adalah akibat resesi ekonomi global. Resesi ini menimbulkan penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi di semua sektor, hingga menimbulkan gangguan usaha pada borrower.
"Agak menurun dibandingkan tahun lalu kesehatannya. Tapi kalau sekarang masih oke dengan pertumbuhannya, masih ada terus. Kalau dibilang di OJK terdapat penurunan pencairan peminjaman, tentu saja itu bagian dari risiko kita. Semua tahu lah," katanya saat berbincang dengan Validnews, Selasa (19/9).
Jika risiko ini dialami pinjol, sudah pasti kesehatan perusahaan itu terganggu. Kepala Departemen Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, Edi Setijawan, menjelaskan secara umum indikator-indikator utama penilaian kesehatan P2P lending adalah risk profile, tata kelola, dan permodalan.
Selanjutnya, kinerja Penyelenggara P2P lending dapat dilihat juga dari Tingkat Keberhasilan Bayar (TKB) 90. Edi menyebutkan angka ini menjadi indikator risiko dalam pendanaan pinjol.
TKB90 adalah ukuran tingkat keberhasilan P2P lending dalam memfasilitasi penyelesaian kewajiban pendanaan dalam jangka waktu sampai dengan 90 hari terhitung sejak jatuh tempo.
TKB90 dapat menggambarkan pengembalian modal beserta imbal hasil atau return sesuai bunga dan bagi hasil yang telah disepakati di awal perjanjian pendanaan.
"Semakin tinggi persentase TKB90 semakin baik kinerja P2P lending tersebut, dan risiko pendanaan semakin rendah. Jika suatu P2P lending memiliki TKB90 sebesar 100%, berarti seluruh pinjaman nasabah peminjam atau borrower melalui platform berhasil dilunasi dengan baik dalam waktu 90 hari sejak jatuh tempo," katanya, Jumat (22/9).
Menurut laporan OJK, per Juli 2023, TKB90 industri penyelenggara fintech lending tahun ini terus mengalami penurunan. Pada awal tahun, TKB90 sebesar 97,25%. Angkanya naik sebesar 0,06% di Februari menjadi 97,31%.
Akan tetapi, di bulan-bulan berikutnya, terdapat tren penurunan TKB90. Berturut-turut TKB90 adalah Maret 97,19%, April 97,18%, Mei 96,64%, Juni 96,71% dan Juli 96,53%.
Sebaliknya, data OJK menunjukkan tren Tingkat Wanprestasi atau TWP90 yang justru meningkat.
TWP90 sendiri diartikan sebagai ukuran tingkat wanprestasi atau kelalaian penyelesaian kewajiban di atas 90 hari sejak tanggal jatuh tempo. Karena itu, TWP90 sering juga disebut dengan istilah NPL (Non Performing Loan) atau kredit macet.
TWP90 dihitung dari outstanding wanprestasi di atas 90 hari dibagi dengan total outstanding, kemudian dikali 100%.
Tercatat, Januari 2023 TWP90 industri penyelenggara fintech lending sebesar 2,57% dan sempat turun di Februari menjadi 2,69%. Lantas, TWP90 naik di bulan berikutnya. Berturut-turut, TWP90 P2P lending sebesar 2,81% pada Maret, lalu April 2,82%, Mei 3,36%, Juni 3,29% dan Juli 3,47%.
“Keterlambatan pembayaran dan gagal bayar oleh borrower ke lender akan berdampak pada peningkatan persentase Tingkat Wanprestasi (TWP 90) Penyelenggara yang akan berpengaruh pada kinerja pendanaan, dan berdampak pada pendapatan operasional Penyelenggara yang pada akhirnya bermuara pada kinerja keuangan Penyelenggara,” sebut Edi.
OJK mencatat per Juli 2023, ada 23 perusahaan P2P lending yang memiliki TWP90 lebih dari 5%. OJK pun telah melayangkan surat pembinaan dan meminta mereka mengajukan action plan perbaikan pendanaan macet. Edi menyebutkan OJK bakal mengawasi pelaksanaan action plan mereka dengan ketat
“Selain itu, TWP90 yang tinggi juga akan berpengaruh kepada tingkat kepercayaan lender di masa yang akan datang untuk menyalurkan pendanaan melalui P2P lending tersebut,” imbuh Edi.
Karena itu, OJK meminta penyelenggara pinjol menjalankan kegiatan usahanya dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian dan tata kelola perusahaan yang baik sehingga dapat menurunkan dan menjaga persentase TWP90.
Pengetatan Kredit
Edi menambahkan, peningkatkan proses underwriting dan kualitas credit scoring dalam melakukan analisa penilaian dan kelayakan calon penerima dana memiliki peran penting untuk menekan potensi kegagalan bayar borrower kepada lender.
“Peningkatkan proses underwriting dan kualitas credit scoring membuat gagal bayar dapat dimitigasi secara dini. OJK juga mewajibkan penyelenggara memfasilitasi pengalihan risiko pendanaan melalui asuransi maupun perusahaan penjaminan,” sebutnya.
Penyelenggara pinjol juga diminta untuk meningkatkan ekuitas. Diakui Edi, per Juli 2023, masih terdapat beberapa penyelenggara yang memiliki ekuitas di bawah Rp2,5 miliar. Sebagian dari platform masih berupaya mengatasi ekuitas minimum yang negatif dan ekuitas di bawah Rp2,5 miliar.
"Permasalahan tersebut antara lain disebabkan biaya operasional yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan, tata kelola yang kurang baik yang menyebabkan operasional penyelenggara menjadi tidak efektif dan efisien," kata dia.
Karena itu, OJK terus melakukan enforcement sesuai dengan ketentuan terhadap penyelenggara tersebut agar dapat memenuhi dan menjaga ekuitas minimum setiap saat sebesar Rp2,5 miliar.
Berdasarkan POJK Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Berbasis Teknologi Informasi, OJK mewajibkan Penyelenggara P2P lending untuk memenuhi ekuitas minimum sebesar Rp2,5 miliar sejak 4 Juli 2023.
Ini dimaksudkan untuk untuk meningkatkan ketahanan penyelenggara P2P lending terhadap risiko yang dihadapi dengan tujuan memastikan ketersediaan permodalan yang cukup dalam menjalankan operasional, meningkatkan tata kelola yang baik, dan memberikan perlindungan konsumen yang memadai.
Restock, salah satu pemain P2P lending, memiliki strategi khusus agar terhindar dari gagal bayar yang tengah melanda industri pinjol. CEO Restock Tiar Nabilla Karbala menceritakan pihaknya bisa mencapai kredit lancar 100% lantaran mitigasi resiko yang sangat ketat, serta rejection rate yang cukup tinggi.
"Kami cukup banyak menolak calon-calon peminjam karena memang secara market statement, kami sudah dari awal menyatakan bahwa kami mau hanya melayani pasar-pasar yang sudah familiar saja. Jadi kami itu memang fokusnya banyak di fashion retail," katanya kepada Validnews, Kamis (21/9).
Menurut penuturannya, total pendanaan yang sudah disalurkan Restock mencapai sekitar Rp2,4 triliun. Tahun ini pihaknya mencatat penyaluran dana sebesar Rp650 miliar, terhitung sejak awal tahun hingga bulan September.
Restock memang menyasar segmen khusus, yakni UMKM sektor fesyen ritel dengan portofolio berkisar 60%. Lalu sisanya sektor agnostik dan bervariasi, seperti FMCG, bisnis B2B, healthcare, dan lain-lain.

Edukasi Borrower dan Lender
Meski ada dinamika pinjaman tak balik kini naik, Edi menilai industri kinerja platform P2P lending masih cukup baik.
“Untuk menilai kesehatan pinjol tidak hanya TWP90, namun aspek GCG, manajemen risiko dan lainnya,” imbuhnya.
Kepercayaan pada industri juga belum tergerus. Edi menyebutkan berdasarkan data statistik rekening pengguna aktif pada industri P2P lending per Juli 2023, jumlah rekening pemberi dana tercatat terus bertambah setiap bulannya.
“Rata-rata pertumbuhan pemberi dana sebesar 1,79% mtm atau 17,4% YoY. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat masih memiliki kepercayaan industri P2P lending sebagai salah satu alternatif diversifikasi portofolio investasi,” sebutnya.
Namun Edi menambahkan, selain peningkatan tata kelola, edukasi pada masyarakat tetap harus dilakukan agar lebih memahami manfaat dan risiko dari penggunaan layanan pinjol. Transparansi tingkat bunga dan imbalan juga perlu ditingkatkan.
Dalam kesempatan yang berbeda, Executive Director, AFTECH, Aries Setiadi mengatakan pihaknya sangat menyayangkan adanya peningkatan jumlah gagal bayar pada industri pinjol.
Padahal, katanya, industri ini lahir sebagai upaya untuk memudahkan masyarakat akses ke lembaga keuangan.
"Kan pada awalnya adanya fintech ini sebagai sarana alternatif bagi masyarakat yang tidak bisa mengakses layanan jasa keuangan perbankan. Karena selama ini syaratnya tinggi ya, ada kolateral. Ini akses alternatif agar mereka punya kesempatan untuk bisa membuka usaha atau melakukan pendanaan ke yang lain," katanya, Selasa (19/9).
Dia mengimbau baik lender dan borrower untuk terus meningkatkan edukasi dan literasi. Bagi lender, pembiayaan melalui P2P lending bisa menjadi salah satu instrumen investasi. Namun seperti instrumen investasi lainnya, prinsip high risk high return pun berlaku. Artinya dengan return tinggi, ada risiko yang tinggi pula.
"Tentu return-nya memang tinggi dibandingkan dengannya deposito bank yang hanya 2–3% atau obligasi ritel pemerintah yang kisarannya 5–6%. P2P biasanya di atas 11%. Nah ini perlu paham juga dari sisi lainnya, bahwa ketika mereka masuk ada potensi gagal bayar," sebutnya.
Lalu dari sisi borrower, dia menegaskan pihak tersebut harus bisa bertanggung jawab ketika melakukan pinjaman ke platform P2P lending.
Sementara dari sisi platformnya, mereka harus memiliki prosedur screening yang ketat dan tepat untuk memberikan informasi dan rating atau peringkat borrower. Dengan demikian, lender bisa selektif dalam menentukan pilihan investasi.
"Harus selektiflah, dilihat juga apakah ini multiguna atau apakah ini produktif dan mereka ketika produktif bisa di rating apa? Nah tentu ini juga perlu edukasi kepada borrower bahwa ini tuh bukan bantuan sosial. Ini adalah suatu pinjaman yang mereka harus bayar juga," tekannya.
Menurutnya, ada dua tipe borrower di kelompok masyarakat saat ini. Pertama borrower unwilling to pay namun sebenarnya mereka able to pay. Tipe ini adalah mereka yang tidak bertanggung jawab. Mereka memiliki kemampuan membayar, namun tidak ingin membayar.
Kedua tipe unable to pay tapi willing to pay. Artinya borrower ini ingin membayar, namun situasi dan kondisi membuat dia tidak mampu membayar pinjaman tersebut.
"Misalnya karena kemarin pandemi ada yang kehilangan pekerjaan atau usahanya mungkin mengalami perlambatan. Mereka ini bisa minta restrukturisasi sehingga mampu diperpanjang," imbuhnya.
Ini, katanya, menjadi PR besar bagi industri untuk mereka mampu memperketat screening lebih tepat lagi. Kemudian dari asosiasi dan regulator juga memiliki tugas untuk edukasi masyarakat bahwa pinjaman adalah duit orang lain yang mereka pakai dan harus dipertanggungjawabkan oleh mereka.
"Balik lagi, edukasi tetap harus terus berjalan karena kalau melihat outstanding-nya kan naik. Tentu harapannya ke depan ini akan terus retirement-nya tetap berjalan lebih lancar sehingga TWP-nya bisa lebih rendah lagi," tandasnya.