24 Mei 2021
11:43 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Indonesia dan Uzbekistan memperkuat kerja sama ekonomi komprehensif, khususnya sektor industri. Kedua negara memiliki potensi memperdalam struktur manufaktur melalui peningkatan investasi.
Dirjen Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kemenperin Muhammad Khayam mengatakan, saat ini pihaknya tengah mendorong kolaborasi pelaku industri Indonesia-Uzbekistan di sektor industri pupuk. Kerja sama ini diharap mendongkrak daya saing produk pupuk.
“Ada peluang kerja sama ekonomi yang lebih baik antara Indonesia dengan Uzbekistan, sehingga bisa memacu neraca perdagangan kedua negara,” tuturnya dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin (24/5).
Beberapa waktu lalu, pihaknya mendampingi Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel dan sejumlah anggota dewan melakukan muhibah ke negara yang dikenal sebagai Negeri Para Imam tersebut.
Informasi tambahan, Uzbekistan menjadi salah satu negara mitra penting Indonesia. Negara yang berlokasi di Asia Tengah ini dinilai strategis dengan jalur sutera perdagangan. Selain itu, Uzbekistan sedang mengalami perkembangan ekonomi yang cukup pesat.
Khayam menyampaikan, delegasi Indonesia melihat peluang Uzbekistan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku bagi industri pupuk di Tanah Air. Salah satu material utama yang selama ini dibutuhkan Indonesia untuk memproduksi pupuk, yakni kalium klorida (KCl).
Selain sebagai bahan baku pupuk, penggunaan KCl juga bisa dimanfaatkan untuk bahan penolong di industri makanan, minuman, hingga medis.
Selama ini kebutuhan bahan baku tersebut dipasok dari Rusia, Kanada, dan Laos. Indonesia juga bukan negara produsen KCl.
“Ke depan, kita bisa ambil bahan tersebut dari Uzbekistan atau kita berupaya untuk menarik investasi mereka ke Indonesia,” ungkapnya.
Uzbekistan memiliki pabrik NPK Samarkand, dengan kapasitas 250.000 ton per tahun. Seluruh bahan baku NPK berasal dari lokal dengan harga gas di Uzbekistan sekitar US$2,2 per MMBTU.
“Di samping itu ada Uz-Potash (industri KCl), dengan kapasitas sebesar 600.000 ton,” ujar Khayam.
Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, produk KCl Uzbekistan berwarna merah muda dengan ukuran lebih besar. KCl asal Uzbekistan telah diketahui oleh industri pupuk di Indonesia seperti PT Pupuk Indonesia (Persero) dan PT Sentana Adidaya Pratama.
Pada 2018, Berdasarkan data Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI), konsumsi pupuk urea tumbuh 5% dari 5,97 juta ton menjadi 6,27 juta ton. Sedangkan, konsumsi NPK naik 7,88% dari 2,6 juta ton menjadi 2,8 juta ton. Kenaikan juga terlihat pada konsumsi pupuk jenis fosfat, ZA, dan pupuk organik.
Selain potensi kerja sama industri pupuk, Rachmat Gobel selaku Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan atau Korinbang juga mengatakan, ada peluang di sektor industri agro.
Pada saat bersamaan, Uzbekistan juga membutuhkan buah-buah tropis, seperti pisang, buah naga, alpukat, dan kopi. Untuk kebutuhan konsumsi masyarakat maupun mendukung industrinya.
“Karena itu, saya mau mendorong agar ada sister city antara kota di Uzbekistan dengan daerah-daerah di Indonesia penghasil buah-buah tropis ini,” tutur Rachmat.
Dirinya mencontohkan, Kabupaten Lumajang yang merupakan daerah penghasil pisang di Jawa Timur bisa dicarikan daerah di Uzbekistan untuk dijadikan sister city.
“Daerah dan kota-kota lain penghasil buah naga dan kopi, bisa juga melakukan hal yang sama,” ujarnya.