07 April 2022
13:29 WIB
Editor: Rikando Somba
JAKARTA – Indonesia takkan tergesa meninggalkan energi fosil. Sebaliknya, negeri ini akan memanfaatkan energi fosil dengan strategi yang kian ramah lingkungan. Dewan Energi Nasional (DEN) menyampaikannya, Kamis (7/4) sebagai bagian strategi transisi energi rendah karbon.
"Indonesia memilih agar energi fosil tidak phase out dengan mengimplementasikan teknologi bersih," kata anggota DEN Satya Widya Yudha dalam diskusi publik INDEF bertajuk "Keekonomian Gasifikasi Batu Bara” di Jakarta, Kamis.
Satya mengungkapkan, dalam forum kelompok kerja transisi energi G20 yang dilaksanakan di Yogyakarta pada akhir Maret 2022 lalu, keputusan Indonesia untuk tidak meninggalkan energi fosil hampir selaras dengan beberapa negara penghasil fosil. Arab Saudi juga menerapkan kebijakan senada.
Indonesia kini mencoba untuk menggunakan teknologi bersih dalam memanfaatkan energi fosil baik itu batu bara maupun minyak bumi, sehingga perlu penerapan teknologi berupa penangkapan, penyimpanan, dan pemanfaatan karbon atau CCS/CCUS.
Sayangnya, diakui bahwa nilai keekonomian CCS/CCUS kini masih terbilang mahal lantaran teknologi ini masih tergolong baru. Menurut Satya, penambahan teknologi CCS pada PLTU dapat meningkatkan biaya produksi listrik 3-4 dolar AS per kWh.
Sementara itu, penggunaan sistem penyimpanan energi berbasis baterai atau BESS dapat meningkatkan biaya produksi listrik US$6- 7 per kWh.
Saat ini teknologi CCUS telah dikembangkan pada sejumlah lapangan minyak dan gas di Indonesia, antara lain lapangan Gundih, Sukowati, Sakakemang, Kalimantan Timur hingga Tangguh, dengan menggunakan mekanisme bagi hasil yang dibebankan kepada negara.
Berdasarkan studi PLN dan Bank Dunia pada 2015, CCUS secara teknis layak untuk dikembangkan di Indonesia. Teknologi itu dapat meningkatkan biaya produksi secara signifikan tetapi masih bisa bersaing dengan pembangkit listrik panas bumi, sehingga memerlukan insentif dan dukungan kebijakan dari pemerintah.
Teknologi CCUS
Teknologi CCUS yang dipakai akan mengurangi emisi karbon yang dilepas ke atmosfer melalui teknologi pemanfaatan emisi karbon untuk produksi alga maupun injeksi Enhance Oil Recovery (EOR). Total emisi karbondioksida di Indonesia sendiri, kini berada pada angka 1,2 gigaton dengan 35 #-nya disumbang dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batu bara.
"Ini menggambarkan saja, mudah-mudahan teknologi CCS ke depan akan lebih murah. Kalau sekarang masih di kisaran US$100 per ton, namun beberapa penelitian di Amerika Serikat ingin menekankan sampai US$40 per ton," jelas Satya.
Pada 2020 total ada 28 fasilitas CCUS yang beroperasi di seluruh dunia. Namun, hanya sembilan unit yang memiliki kapasitas di atas 1 juta ton per tahun. Mayoritas proyek CCUS berskala besar (Shute Creek, Century, dan Great Plains) menggunakan karbondioksida yang ditangkap untuk EOR agar bisa meningkatkan produksi migas.
"Kami mengharapkan CCUS ke depannya akan lebih murah ataupun lebih efisien, sehingga bisa diterapkan di seluruh energi fosil yang sarat dengan karbon dioksida," ucap Satya.
Meski pemerintah Indonesia tegas menyatakan sikap untuk tetap memakai batu bara sebagai salah satu sumber energi domestik, pemerintah terus berupaya mempercepat pengembangan energi baru terbarukan. Ada kendaraan listrik, sistem baterai, hidrogen, hingga dimetil eter yang menerapkannya.
Terkait energi fossil, harga minyak berjangka turun tajam pada akhir perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB). Dikutip dari Antara, penurunan terjadi setelah negara-negara konsumen besar mengatakan akan melepas minyak dari cadangan untuk melawan kebijakan pengetatan pasokan dolar dari bank sentral AS.
Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Juni melorot ke US$5,57 . atau 5,2%, menjadi US$101,07 per barel di London ICE Futures Exchange.
Sementara, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman Mei kehilangan US$5,73 atau 5,6%, menjadi ditutup di US$ 96,23 per barel di New York Mercantile Exchange.
Negara-negara anggota Badan Energi Internasional (IEA) akan melepaskan 120 juta barel dari cadangan strategis (SPR) untuk menahan kenaikan harga.
Ini adalah kedua kalinya IEA merilis cadangan tahun 2022 dan secara efektif meningkatkan pasokan di seluruh dunia sekitar 2 juta barel per hari setidaknya selama dua bulan ke depan.