04 November 2023
16:40 WIB
Editor: Rikando Somba
BALI – Secara makro harga minyak nabati untuk tahun 2024 dipengaruhi oleh perkembangan suku bunga The Federal Reserve System (The FED), kondisi kemungkinan resesi tahun 2024, berakhirnya perang di Ukraina dan Gaza, dan perkembangan harga dolar Amerika Serikat (AS). Namun di sisi lain, jumlah pasokan minyak nabati di tengah El Nino, mandatori biofuel di Indonesia menjadi hal berpengaruh. Indonesia menjadi titik sentral dari faktor-faktor yang menentukan harga minyak nabati dunia.
Direktur Godrej Internasional Dorab Mistry, Sabtu (4/11) mengatakannya. Indonesia dan negara lainnya seperti Brazil, serta pertimbangan para kandidat Presiden Amerika Serikat terkait subsidi yang lebih besar untuk biofuel akan sangat menentukan besarnya kebutuhan minyak nabati global.
"Produksi kelapa sawit Indonesia yang merupakan eksportir sawit terbesar dunia, ditambah dengan adanya ancaman dampak El Nino, sehingga reaksi Indonesia terhadap kondisi pasar menjadi sangat penting," kata Dorab Mistry pada Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2023 di Bali, Sabtu.
Persepsi sama diutarakan peneliti minyak nabati global dari Oil World Thomas Mielke. Di agenda yang sama, dia mengatakan produksi kelapa sawit dunia diprediksi akan mengalami penurunan selama 10 tahun ke depan. Diprediksikannya, produksi ini turun rata-rata hanya 1,7 juta ton per tahun hingga 2030. Berbeda dengan kondisi sebelumnya, yakni periode 2010 hingga 2020 di mana kenaikan produksi rata-rata mencapai 2,9 juta ton.
Padahal, konsumsi minyak nabati global selama 10 tahun ke belakang terus mengalami peningkatan signifikan, terutama untuk kebutuhan makanan, energi dan oleokimia.
“Dengan perkiraan yang ada ini, diperkirakan akan terjadi defisit produksi global pada tahun 2024, maka diprediksi akan terjadi kenaikan harga minyak nabati,” katanya.
Thomas menguraikan, , kelapa sawit Indonesia telah menyumbang 54% dari ekspor dunia. Sayangnya penurunan produksi kelapa membuat daya saing minyak nabati tersebut di pasar global menjadi memburuk. Penurunan ini diyakininya juga terjadi selama dua tahun ke depan seiring dengan turunnya produksi sawit Indonesia.
Dia menjabarkan, dari produksi kelapa sawit, sebanyak 20% kebutuhan oils dan fats dunia, digunakan untuk sektor energi terbarukan, seperti biodiesel. Sisanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun yang lain. Ini ditandari dengan produksi biodiesel yang pada tahun 2023 mengalami kenaikan hingga hingga 57 juta ton. Sebanyak 10,5 juta ton di antaranya adalah produksi biodiesel Indonesia.
"Peningkatan yield per hektare di tengah keterbatasan lahan akibat adanya kebijakan moratorium harus segera dilakukan jika Indonesia tetap ingin menjadi produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar di dunia,” katanya.
Dikutip dari Antara, CEO dan Founder Transgraph Nagaraj Meda mengatakan sama dengan Dorab Mistry. Peningkatan konsumsi industri minyak nabati secara global didorong oleh Amerika Serikat dan Indonesia.
Menurut dia, kebijakan Indonesia untuk melanjutkan implementasi biodiesel B35 dan akan ditingkatkan menjadi B40 pada tahun 2024 akan meningkatkan konsumsi minyak kelapa sawit hingga 12,45 juta metrik ton dan peningkatan investasi terhadap energi terbarukan.
"Ini juga akan meningkatkan konsumsi minyak nabati di Amerika Serikat," katanya.
Sumbangan Ekspor
Menurutnya, pemerintah Indonesia harus memikirkan kembali rencana implementasi B40 di tengah trend produksi yang menurun, dan lebih fokus pada pendanaan program peremajaan kebun untuk meningkatkan produksi nasional.
Tingginya ekspor Indonesia dan pengaruhnya kepada sektor ekonomi, Statistisi Ahli Madya Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Barat (Sumbar) Ilhami Witri mengatakan lemak dan minyak hewani maupun nabati masih menjadi penyumbang ekspor terbesar provinsi ini pada periode September 2023.
"Golongan barang yang paling banyak diekspor pada September 2023 adalah golongan lemak dan minyak hewan/nabati sebesar US$157,54 juta atau setara Rp2,47 triliun," kata Ilhami Witri, di Padang, Jumat.
Dia juga mencatat, ekspor dari kelompok produk kimia dan bahan-bahan nabati, juga turut menyumbangkan nilai ekspor terbesar lainnya dengan kontribusi masing-masing Rp76 miliar, dan Rp75 miliar lebih.
Proporsi produk sawit ini tinggi, bila dilihat peranan golongan barang terhadap total ekspor Januari-September 2023 tercatat 80,23% persen merupakan ekspor dari golongan lemak dan minyak hewan/nabati. Sementara, golongan karet serta barang dari karet memberikan peran sebesar 3,40%.
Sedang secara umum nilai ekspor asal Ranah Minang pada September 2023 sebesar 185,95 juta dolar AS atau setara dengan Rp2,91 triliun. Angka tersebut mengalami penurunan 16,69 persen jika dibandingkan ekspor Agustus 2023.
"Turunnya ekspor Sumbar dikarenakan adanya penurunan permintaan," kata Witri.
India menjadi negara tujuan ekspor paling tinggi dengan kontribusi US$51,89 juta atau setara dengan Rp815 miliar. Ekspor ke negara yang berada di Asia Selatan itu memberikan peranan 30,97% terhadap keseluruhan ekspor Sumbar periode Januari-September 2023.
"Ekspor ke Pakistan memberikan peran sebesar 28,08%, dan ekspor ke Bangladesh memberikan sumbangan 11,03 persen," imbuhnya.