18 Mei 2024
18:00 WIB
Indonesia Bisa Contek Vietnam Antisipasi Perang Dagang AS-China Selanjutnya
Indonesia mencontek langkah Vietnam untuk mengantisipasi potensi perang dagang AS-China di waktu mendatang.
Penulis: Khairul Kahfi
Ilustrasi bongkar muat peti kemas di pelabuhan. ValidNewsID/Darryl Ramadhan.
JAKARTA - Direktur Eksekutif INDEF Esther Sri Astuti mendorong Indonesia mencontek langkah Vietnam untuk mengantisipasi potensi perang dagang AS-China di waktu mendatang. Seperti diketahui, pemerintah AS mengonfirmasi tengah meninjau kebijakan bea masuk yang lebih tinggi untuk sejumlah produk China untuk diterapkan 2024-2026.
Ekonom menyebut, Vietnam muncul sebagai ‘pemenang’ saat situasi perang dagang AS-China medio 2018-2019. Kala itu, China yang tak bisa mengekspor langsung karena tarif bea impor yang tinggi menggunakan Vietnam sebagai basis hub ekspor yang baru lewat serangkaian relokasi industri.
“Indonesia seharusnya bisa ambil kesempatan (perdagangan) itu. (Sewaktu perang dagang 2018-2019) China tidak kurang akal, dengan ‘melempar’ produknya ke Vietnam dan ekspor ke Amerika Serikat,” katanya kepada Validnews, Jakarta, Sabtu (18/5).
Esther mengidentifikasi, besarnya peluang relokasi produksi dari Negeri Tirai Bambu ditunjang dari perjanjian multilateral yang dimiliki oleh Vietnam dengan AS maupun sejumlah negara di Eropa.
Lewat perjanjian ini juga, Vietnam dapat menyuguhkan harga barang ekspor yang lebih kompetitif karena perjanjian tarif dagang yang lebih rendah.
Hal ini berbeda dialami Indonesia karena saat itu masih terlampau sedikit kerja sama perdagangan multilateral. “Jadi kalau Indonesia ingin menang atau ambil untung dari kondisi ini, ya seharusnya ikutin jejak Vietnam yang sudah bangun kolaborasi (perjanjian dagang) sehingga tarifnya (bea impor) lebih rendah,” urainya.
Dirinya pun menegaskan, jika tidak segera mengatur strategi mitigasi perdagangan internasionalnya, Indonesia hanya akan kembali jadi penonton atas keberhasilan negara lain yang bisa memanfaatkan kesempatan di tengah ketegangan dua raksasa ekonomi dunia.
“Karena yang ambil benefit (paling besar) Vietnam atas bless in disguise (perang dagang AS-China). Kalau posisi Indonesia tidak berubah, sama saja kayak perang dagang kemarin (2018-2019),” tegasnya.
Sebagai gambaran saja, mengutip vovworld, Ditjen Statistik Vietnam mencatat ekspor seluruh komoditas Vietnam diperkirakan mencapai US$123,64 miliar selama Januari-April 2024. Capaian ini meningkat sekitar 15% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu (cumulative-to-cumulative/ctc).
Adapun AS menjadi pasar terbesar Vietnam dengan nilai ekspor yang ditaksir mencapai US$34,1 miliar. Menyusul kemudian Tiongkok dengan nilai ekspor mencapai US$18 miliar, dan Uni Eropa dengan US$16,4 miliar.
IMF (2019) juga mencatat, pengalihan perdagangan dari China ke AS merupakan salah satu fenomena paling umum dari kejadian perang dagang AS-China saat itu.
Data gabungan bilateral AS menunjukkan, kejadian pengalihan perdagangan membuat penurunan impor AS dari China, yang diimbangi oleh peningkatan impor dari negara lain.
Misal, impor AS dari Meksiko meningkat secara signifikan pada beberapa barang yang dikenakan tarif bea masuknya oleh AS. Setelah kebijakan diterapkan pada Agustus, penurunan tajam impor dari China mencapai hampir US$850 juta, hampir diimbangi oleh kenaikan impor dari Meksiko sebesar US$850 juta, sehingga keseluruhan impor AS tidak berubah.
Untuk negara-negara lain seperti Jepang, Korea, dan Kanada, terdapat peningkatan yang lebih kecil pada impor AS dibandingkan dengan tingkat pada September-November 2017.
Kendati, data agregat dapat menutupi faktor-faktor lain yang juga bisa mendorong pola perdagangan bilateral, seperti penggunaan persediaan. Contohnya, hanya ada sedikit atau tidak ada perubahan pada impor dari negara ketiga dalam hal perangkat semikonduktor fotosensitif (photosensitive semiconductor devices).
Efek Perang Dagang Minim
Di sisi lain, Esther meyakini, dampak negatif perdagangan dari perang ekonomi AS-China masih terbatas saja buat Indonesia. Ringkasnya, tanah air hanya mengambil benefit yang minimal bahkan cenderung nihil. Hal yang sama pun berlaku pada sisi kerugian yang juga sama kecilnya.
China juga, Esther percaya tidak akan tinggal diam jika kembali diberikan beban tarif bea impor yang besar oleh AS. Buktinya di 2019, China juga ikut membalas kebijakan bea masuknya atas implementasi kenaikan tarif bea masuk AS menjadi 25% terhadap impor tahunan China senilai US$200 miliar
“Terus kalau China tidak bisa masuk AS juga, mereka punya pangsa pasar di negara lain yang tidak kalah besar,” bebernya.
Adapun, ekonomi Indonesia berhak juga panik manakala potensi perang dagang terbaru ini membuat ekonomi domestik China melesu. Indonesia yang punya kinerja ekspor positif dengan China akan terpapar efek negatifnya.
“Jadi (perdagangan internasional) China engga akan apa-apa dan akan membalas itu seperti perdagangan sebelumnya,” sebutnya kembali.
Esther pun masih sangsi Indonesia bisa mengoptimalisasi ekspor peluang ekspor mobil listrik, pasca rencana peningkatan bea masuk kendaraan listrik hingga 100% untuk China oleh AS.
Pasalnya, Indonesia mesti mengakui fasilitas dan sarana produksi hingga pasar mobil listrik di dalam negeri sendiri masih kurang.
Peluang itu bisa saja potensial, apabila Indonesia sudah mulai memproduksi mobil listriknya dan sudah diamplifikasi lewat pembelian produk tersebut yang tinggi di dalam negeri.
“Tapi kan sekarang saja nyari charging area (kendaraan listrik) saja masih susah. Sementara, harga mobil listrik masih terhitung mahal dibanding mobil konvensional, istilahnya masih kurang (industrinya),” pungkasnya.