06 Desember 2023
14:30 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
JAKARTA - Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menyampaikan, perputaran uang pada momen Pemilu 2024 berpotensi menyentuh Rp100 triliun. Uang sebanyak ini akan berbentuk belanja konsumsi, baik dari sisi pemerintah maupun masyarakat.
“Mungkin sekitar Rp50-60 triliun anggaran pemerintah keluar, tapi anggaran (hitungan Indef)…mungkin totally hampir lebih dari Rp100 triliun akan terjadi putaran uang yang sangat luar biasa di tahun politik,” katanya dalam Seminar Proyeksi Ekonomi Indonesia 2024 ‘Tantangan Pelik Ekonomi Di Tahun Pemilu’, Jakarta, Rabu (6/12).
Dalam kurun waktu sangat cepat, dirinya menjabarkan, belanja dengan ukuran besar tersebut akan dialokasikan untuk keperluan makan-minum, akomodasi, hotel, transportasi, begitu juga logistik.
“Nah ini saya kira menjadi sinyal positif bagi ekonomi,” paparnya.
Meski demikian, kontribusi ini tak akan serta-merta mendongkrak kinerja perekonomian nasional. Pasalnya, tantangan yang mesti dihadapi ekonomi tidak sedikit. Tauhid pun mengingatkan, situasi era suku bunga tinggi masih akan membayangi perekonomian banyak negara.
“Apakah kemudian The Fed (akan) menurunkan suhu bunganya atau masih bertahan pada level ini. (Semua) ini yang kemudian memang memengaruhi ekonomi kita tahun depan,” jelasnya.
Dirinya pun menilai, kinerja sektor keuangan di dalam negeri masih belum optimal, terutama berkaitan likuiditas yang belum optimal. “Mengingat likuiditas (perbankan) kita rupanya jadi problem untuk mendorong perekonomian lebih kuat, padahal sebentar lagi memasuki tahun politik,” tegasnya.
Tauhid pun menekankan, hal yang sama juga di-adress presiden ketika menghadiri agenda Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2023. Saat itu, Presiden Jokowi menganggap industri perbankan masih belum getol menyalurkan kredit dan banyak menyimpan dananya secara masif di dalam instrumen investasi portofolio.
Selain itu, semua pihak juga tidak bisa mengabaikan dinamika yang sedang berlangsung di dunia dalam jangka waktu sebulan terakhir. Tak heran, lembaga internasional menganggap situasi perekonomian dunia di 2024 masih belum tergolong normal meski diproyeksi naik tipis, dari 2,7% di tahun ini menjadi 2,8%.
Kondisi runyam ini pun diwarnai, kelanjutan perang antara Rusia-Ukraina, eskalasi krisis di Timur Tengah, hingga perlambatan raksasa ekonomi dunia saat ini yakni China, termasuk juga tren pelemahan harga komoditas yang kemudian mempengaruhi perekonomian negara.
“Sehingga, mau tidak mau, tahun depan dalam situasi global yang sangat mendera kita dan ini menurunkan potensi ekspor-impor kita di tahun depan,” terangnya.
Mengacu catatan Indef, IMF pada 2023 memprediksi, tingkat inflasi pada level 6,9% pada 2023 dan 5,8% pada 2024. Proyeksi inflasi pada 2023 dan 2024 seiring dengan kebijakan moneter ketat oleh negara-negara maju yang terus berlanjut, paling tidak sampai dengan pertengahan 2024.
Tingkat inflasi global yang sedikit menurun pada 2023 dan 2024, sejalan dengan normalisasi harga komoditas, setelah mencapai puncak level tertinggi di 2022. Tingkat harga komoditas di pasar global cenderung lebih rendah pada 2023, namun secara umum masih tertahan di level yang tinggi.
Sementara itu, kondisi geopolitik yang berimplikasi pada ketidakpastian yang tinggi meningkatkan hambatan risiko pemulihan ekonomi dunia untuk tumbuh lebih cepat.
Dukungan negara sekutu NATO, seperti Uni Eropa, dalam hal pembiayaan perang Rusia-Ukraina, berimplikasi pada ruang fiskal yang terbatas pada negara anggota. Pada 2022, Uni Eropa memberikan bantuan pembiayaan perang untuk Ukraina mencapai sebesar €175 miliar, atau sebesar 1,2-1,4% dari total GDP.
Belum mereda, pada 7 Oktober 2023, pecahnya perang Palestina-Israel yang berimplikasi pada krisis kemanusiaan. Berdasarkan historis, perpecahan perang di wilayah Timur Tengah dapat mendorong harga komoditas minyak bumi mentah melonjak, sebagai implikasi embargo minyak oleh negara-negara OPEC dalam merespons ketegangan geopolitik tersebut.