05 Januari 2023
20:45 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
JAKARTA – Ekonom tak setuju hilirisasi komoditas Indonesia ditempuh dengan cara pelarangan ekspor. Pemerintah disebut dapat menggunakan instrumen pajak dalam mengakomodasi proses peningkatan nilai tambah komoditas sumber daya alam Indonesia, alih-alih menggunakan menghentikan ekspor komoditas.
Ekonom Senior Indef Fadhil Hasan mengatakan, upaya untuk hilirisasi oleh pemerintah merupakan langkah yang tepat ditujukan untuk dikerjakan oleh Indonesia. Selama ini, Indonesia juga telah terus-terusan hanya melakukan value extraction dibanding kegiatan peningkatan nilai tambah produk dari kekayaan alam yang dimiliki.
Namun, dirinya menyoroti pelarangan ekspor nikel yang telah dilakukan sejak 2020, lalu bijih bauksit pada pertengahan 2023 ini, dan rencana pelarangan komoditas di masa depan.
“Itu sesuatu yang salah, karena dengan melarang gitu,” sebutnya dalam diskusi publik Indef, Jakarta, Kamis (5/1).
Menurutnya, negara-negara yang tengah menggugat Indonesia ke WTO pasca penerapan pelarangan ekspor komoditas, tidak keberatan dengan rencana hilirisasi Indonesia dan siap mendorong. Hanya saja, caranya adalah bukan dengan melarang ekspor habis-habisan komoditas yang telah ditentukan.
Baca Juga: Indonesia Tutup Keran Ekspor Bijih Bauksit Per Juni 2023
Secara ekonomis, langkah yang ditempuh pemerintah hari ini justru akan merugikan Indonesia sendiri. Dirinya pun menyebut, di awal 2023 ini, Indonesia patut menghindari kebijakan yang cenderung mendistorsi pasar, pengaturan harga, restriksi ekspor-impor, dan seterusnya.
“Ini saya kira, menyebabkan kita tidak dapat memanfaatkan peluang kesempatan (ekonomi) yang ada,” jelasnya.
Daripada melarang ekspor, ia menyarankan, Indonesia dapat menerapkan pemberlakukan tarif ekspor yang berbeda antara barang mentah (raw material) dengan yang sudah diolah menjadi produk lanjutan. Rencana ini pun dapat melihat pengalaman Indonesia yang pada 2013 membedakan tarif ekspor yang sangat jauh berbeda, antara CPO mentah dan produk turunannya.
“Sehingga industri dalam negeri itu melakukan proses hilirisasi dan itu tidak melanggar aturan WTO, nah untuk komoditas-komoditas lainnya (bisa diterapkan),” ungkapnya.
Ekonom Indef Faisal Basri juga mencontohkan, sejauh ini hilirisasi pada komoditas nikel cenderung ngawur dan tak tepat sasaran. Pasalnya, hilirisasi nikel malah mayoritas dinikmati oleh perusahaan asal China bukan dari dalam negeri. Hal ini diyakininya malah mendukung industrialisasi China ketimbang Indonesia.
“Akan dilakukan lagi hilirisasi timah, (padahal) kita tidak mengekspor bijih timah, kita sudah mengekspor (alumunium) ingot, kemudian hilirisasi di batu bara mau dijadikan DME. Jadi ngawur-ngawur menciptakan dan yang menikmati rente,” ujar Faisal.
Tantangan Lain 2023
Fadhil melanjutkan, ekonomi dunia akan mengalami resesi moderat pada 2023 dan Indonesia menghadapi turbulensi ekonomi pada waktu yang sama. Tetap akan ada kenaikan harga pangan dan energi di tahun ini, tapi tidak mengalami lonjakan seperti yang terjadi pada tahun lalu.
Kenaikan harga di atas diakibatkan berlanjutnya perang Rusia-Ukraina yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.
“Ekonomi Indonesia yang relatif bertumpu pada ekonomi domestik merupakan faktor yang membantu terhindar dari resesi,” sebut Fadhil.
Baca Juga: Pemerintah Diharap Perbanyak Industri Smelter Bauksit Dalam Negeri
Dampak terhadap sektor pangan dan energi Indonesia secara umum akan meningkatkan inflasi pada level moderat dan mempengaruhi daya beli masyarakat. Di sisi lain, situasi ini akan memberikan dampak positif bagi ekspor produk pangan Indonesia.
Pemerintah pun diminta untuk memberikan kebijakan yang tepat dalam memitigasi dampak negatif, sekaligus mengoptimalkan manfaat dari kenaikan harga pangan dan energi.
“Dengan meningkatkan produksi di dalam negeri, memberikan perlindungan bagi masyarakat rentan, dan perbaikan rantai pasok pangan dan energi di dalam negeri,” bebernya.