24 Agustus 2023
20:14 WIB
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (INALUM) Danny Praditya mengungkapkan nilai tambah yang dapat tercipta dari hilirisasi bauksit menjadi alumina untuk kemudian diolah kembali menjadi aluminium.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR, Danny menjelaskan 1 ton bauksit dengan nilai US$31 akan menghasilkan 0,3 ton alumina. Namun, nilainya bertambah 3,8 kali menjadi US$117,8.
Nilai itu, sambung Danny, akan meningkat jika diolah lebih lanjut. Saat diolah menjadi alumunium, berat akan susut setengahnya. Namun, nilainya bertambah menjadi US$465.
"Dari sisi bauksit saja nilainya alumina menjadi US$117,8, belum termasuk dari smelting grid alumina refinery (SGAR) yang menjadi sekitar US$300," tutur Danny di Jakarta, Kamis (24/8).
Baca Juga: Bos Inalum Beberkan Peluang Dan Tantangan Smelter Alumunium
Kemudian untuk mengolah alumina menjadi aluminium, ada faktor conversion cost yang mengakibatkan nilai multiplier mencapai sekitar US$465. Pasalnya, produksi 1 ton aluminium membutuhkan alumina sebesar 2 ton.
Sementara untuk harga aluminium per ton saat ini dipatok di kisaran US$2.200, bahkan sempat mencapai US$2.700 pada tahun 2022. Dari perhitungan itu, Danny menyebut nilai tambah yang tercipta dari produksi bauksit sangat signifikan dan menjanjikan bagi negara.
"Apabila bisa kita manfaatkan produksi bauksit ore di Indonesia, maka added value-nya sangat signifikan," papar dia.
Danny juga menerangkan soal permintaan aluminium global yang diproyeksi meningkat. Tak tanggung-tanggung, peningkatan demand itu diperkirakan mencapai 2,5% pada tahun 2028 mendatang.
Baca Juga: GALUNESIA Diharap Jawab Lima Tantangan Hilirisasi Aluminium
Sementara itu, untuk konsumsi sekunder global, dia memproyeksi akan mencapai 36 juta ton pada 2028. Indonesia pun diperkirakan menguasai pangsa 30% dari total aluminium global.
"Patut dicermati karena aluminium sekunder dinilai lebih green karena energy intencity-nya lebih rendah dibanding aluminium primer," katanya.
Permintaan aluminium primer, sambungnya, masih didominasi kebutuhan sektor transportasi, building/konstruksi, serta elekterikal. Namun demikian, INALUM mengakui masih ada sektor potensial lain yang belum disentuh.
"Alumunium primer masih didominasi kebutuhan transportasi dan building, ini yang belum kita touch ke industri yang lebih advance secara teknologi, seperti aviasi dan pertahanan," tandas Danny Praditya.