08 April 2023
14:41 WIB
NEW YORK CITY – Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan, ekonomi dunia diperkirakan tumbuh kurang dari 3% tahun ini. India serta China diproyeksikan menyumbang setengah dari pertumbuhan ekonomi global pada 2023 tersebut.
"Pertumbuhan masih lemah menurut perbandingan historis, baik dalam jangka pendek maupun menengah," kata Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva Kamis (6/4), dalam pidatonya di Washington DC menjelang pertemuan musim semi IMF-Bank Dunia pekan depan.
Kepala IMF itu mengatakan beberapa momentum datang dari emerging economy dan Asia merupakan titik terang."India dan China diperkirakan menyumbang setengah dari pertumbuhan global pada 2023. Namun, (negara-negara) lainnya menghadapi jalan yang lebih terjal," katanya.
IMF melihat aktivitas ekonomi di Amerika Serikat dan Kawasan Euro melambat. Suku bunga yang lebih tinggi dinilai akan membebani permintaan. Sekitar 90% perekonomian maju diproyeksikan mengalami penurunan tingkat pertumbuhan pada tahun ini, kata Georgieva.
"Dengan meningkatnya ketegangan geopolitik dan inflasi yang masih tinggi, pemulihan yang kuat masih sulit diwujudkan," ujarnya.
IMF memproyeksikan pertumbuhan global tetap berada pada angka sekitar 3% selama lima tahun ke depan. Angka tersebut merupakan perkiraan pertumbuhan jangka menengah terendah sejak 1990 dan jauh di bawah rata-rata 3,8% dari dua dekade terakhir.
"Hal ini membuat semakin sulit untuk mengurangi kemiskinan, memulihkan dampak ekonomi akibat krisis covid-19, serta memberikan peluang baru dan lebih baik untuk semua," kata Georgieva.
IMF sendiri, akan merilis rincian lebih lanjut tentang prospek pertumbuhannya pada saat menerbitkan pembaruan World Economic Outlook (WEO) pekan depan.
Sebelumnya, para ekonom WTO memprediksi, Produk Domestik Bruto (PDB) global pada nilai tukar pasar akan tumbuh 2,4% pada 2023. Sementara itu, proyeksi untuk pertumbuhan PDB dan perdagangan pada 2023 berada di bawah rata-rata untuk 12 tahun terakhir, yakni masing-masing sebesar 2,6% dan 2,7%.
Menurut laporan tersebut, pertumbuhan perdagangan global akan mengalami rebound ke angka 3,2% pada 2024, seiring pertumbuhan PDB global meningkat menjadi 2,6%.
"Dampak covid-19 yang masih dirasakan dan meningkatnya ketegangan geopolitik merupakan faktor utama yang berdampak terhadap perdagangan dan output pada 2022, dan hal itu kemungkinan besar juga akan terjadi pada 2023," ujar Ralph Ossa, Kepala Ekonom WTO.
Kenaikan suku bunga di negara-negara maju, juga menyingkap berbagai kelemahan dalam sistem perbankan yang dapat menyebabkan ketidakstabilan finansial yang lebih luas jika diabaikan.
"Pemerintah dan para pembuat kebijakan harus mewaspadai hal ini dan risiko-risiko keuangan lainnya dalam beberapa bulan ke depan," imbuhnya.
Kebangkitan China
Sementara itu, Kantor Penelitian Makroekonomi ASEAN+3 (The ASEAN+3 Macroeconomic Research Office/AMRO) memperkirakan, ASEAN+3 (ASEAN+China, Jepang, dan Korea Selatan) akan tumbuh 4,6% pada 2023, yang dipimpin oleh rebound (kebangkitan kembali) perekonomian China.
Sementara untuk tahun 2024, perekonomian kawasan ini diproyeksikan sedikit menurun menjadi 4,5%, dengan kemungkinan pertumbuhan ekonomi ASEAN sebesar 4,9% pada tahun ini dan 5,2% pada tahun depan.
"Dorongan pariwisata dan perdagangan intraregional dari pemulihan ekonomi China akan membantu mengurangi permintaan eksternal yang melemah dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa,” kata Kepala Ekonom AMRO Hoe Ee Khor dalam konferensi pers ASEAN+3 Regional Economic Outlook 2023 yang dipantau secara daring di Jakarta, Kamis.
Ia menilai, kawasan ASEAN+3 diperkirakan akan tetap tangguh, terlepas dari tantangan kuat dari permintaan eksternal yang lebih lemah dan kondisi keuangan global yang lebih ketat. Permintaan domestik kemungkinan akan tetap kuat, dengan belanja rumah tangga yang akan ditopang oleh peningkatan pendapatan dan inflasi yang lebih rendah.
AMRO mengantisipasi inflasi kawasan ini akan menjadi moderat dari 6,5% pada tahun lalu menjadi 4,7% pada tahun 2023, sebelum normal menjadi 3% di tahun depan. Dengan pijakan pertumbuhan yang lebih kuat, Khor mengatakan pembuat kebijakan di ASEAN+3 telah mengalihkan fokus untuk menahan inflasi yang tetap tinggi dan memulihkan penyangga kebijakan.
Namun, risiko penurunan berlimpah. Prospek pertumbuhan kawasan ini dapat diredam oleh lonjakan harga energi yang disebabkan oleh eskalasi krisis Ukraina, pemulihan yang lebih lemah dari perkiraan di China, atau pelambatan tajam di AS.
Pengetatan kebijakan moneter AS yang berlanjut di tengah meningkatnya kekhawatiran stabilitas keuangan juga dapat meningkatkan volatilitas pasar keuangan dan memicu kekhawatiran penularan. Kendati demikian,berdasarkan pelajaran dari krisis keuangan Asia, dia mengungkapkan sistem keuangan ASEAN+3 saat ini cenderung lebih tangguh dan diatur dengan baik.
“Meski begitu, kita hidup di masa genting. Pembuat kebijakan perlu tetap waspada dan terus membangun kembali penyangga kebijakan," tegasnya.
Selain itu, lanjut Khor, para pembuat kebijakan diharapkan pula agar tetap fleksibel untuk memberikan dukungan tambahan bagi perekonomian jika diperlukan.