11 September 2023
20:27 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
SOLO - Batik menjadi salah satu pakaian yang bisa dibilang harus dimiliki bagi setiap individu. Bisa digunakan untuk acara formal maupun santai, batik tetap masuk di segala acara.
Hampir semua warga Indonesia menyukai batik dan kerap mengenakannya, lepas dari suku manapun.
Akan tetapi, tahukah Anda, salah satu teknik penciptaan batik konvensional di Indonesia dilakukan dengan menggunakan cap atau stempel.
Jika ada yang belum atau baru tahu, Agus Sriyono selaku perajin cap batik dari Sondakan, Kecamatan Laweyan, Solo bisa memaklumi hal tersebut. Pasalnya, kegiatan teknis membatik dengan canting cap memang lebih jamak diketahui segelintir orang yang berkecimpung dalam proses awal pembuatan batik.
“Produk saya khususnya yang cap batik itu memang untuk segmen tertentu. Istilahnya bukan untuk konsumsi orang umum,” ucap pemilik jenama Agus Stamp dan Desain Batik ini ketika diwawancara Validnews via daring dari Jakarta, Jumat (8/9).
Agus sudah menekuni usaha pembuatan cap batik berbahan dasar logam tembaga sejak 2002 silam. Dia meneruskan usaha sang ayah. Secara umum, industri cap batik sendiri sempat booming pada1970-1980-an di Solo, Jawa Tengah.
Meski meneruskan usaha dari orang tua, Agus tidak menjalankannya secara mudah. Toh, dirinya tetap harus tetap menyelami industri ini dari awal karena background-nya yang sebagai sarjana sosial waktu itu.
“Dulu memang saya sedikit-banyak bisa gambar-gambar, cuma itu saja tidak cukup karena saya juga harus belajar motif batik (keseluruhan),” katanya.
Dia menekankan, motif merupakan nyawa pada sebuah batik yang tak bisa dianggap sepele dan biasa-biasa saja. Apalagi desain pada cap batik dibuat secara unik alias kustomisasi dari pembeli yang beraneka ragam.
Bahkan jika ditilik lebih mendalam, desain yang diminta customer dan pada akhirnya diciptakan menjadi cap batik memiliki makna filosofis masing-masing di belakangnya.
Karena itu, dia selalu menyampaikan, belajar motif bagi perajin cap batik merupakan keharusan yang tak bisa ditawar.
“Apalagi semua desain (cap batik) yang pesan di saya itu sifatnya custom,” ujarnya selaku produsen batik di tingkat hulu.
Agus bercerita, usaha kerajinan ini ditekuni karena alasan utama menjaga keluarga. Yang dilakukannya di langkah awal adalah merangkul karyawan-karyawan berkategori ‘khusus’.
Mereka adalah perajin cap batik yang sudah mulai berumur di wilayahnya.
Rata-rata usia karyawan ini sudah berusia 60 tahunan. Di bawah usia ini, jumlah perajinnya sudah masuk kategori jarang.
“Istilahnya mau enggak mau harus kita rangkul, carikan kerjaan dan bikin desain (cap batik), supaya ada pemasukan setiap minggunya,” ceritanya sebagai penerus usaha keluarga generasi kedua ini.

Pembuatan Cap Batik
Agus biasanya memulai proses pendesainan dan menggambar di secarik kertas terlebih dahulu. Baru kemudian dia membentuk lempengan tembaga menjadi cap batik. Proses ini memakan waktu bisa sampai beberapa hari, karena memerlukan persetujuan dari customer.
Maklum, Agus mesti menggambar, mengarsir, hingga menghitung jarak gambar secara presisi. Dirinya sendiri tidak mau main-main dengan proses ini. Proses pendesainan ini akan berpengaruh pada produk akhir dan akan langsung berdampak pada kualitas batik nantinya.
“Memang pelatnya itu sebagian besar kan custom motifnya sesuai pelanggan dan memang punya karakter sendiri, (dari) perusahaan batik dan seterusnya… (Makanya) saya nunggu motif di-accept dari mereka, karena kalau kita bikin cap batik itu mau enggak mau (motifnya) hak mereka,” sebutnya.
Dari proses ini, Agus menegaskan kepada pemesan, dirinya betul-betul berkomitmen menjaga desain yang telah diberikan, tetap bersifat eksklusif dan tidak dimiliki yang lain.
Meski nantinya tema dari sebuah desain cap batik bisa saja sama, namun karakter yang dimiliki akan berbeda-beda.
“Pertama, kita menjaga konsumen biar motifnya beda. Kedua, menjaga kualitas produk (akhir). Jadi istilahnya kita garansi, baik dari alat maupun motifnya… Kan (customer) beli alat kita untuk selamanya,” paparnya.
Setelahnya, dia akan memberikan salinan hasil gambar tersebut kepada perajin untuk bisa dibentuk sesuai keinginan customer. Prosesnya, perajin akan menggetok dan memilin lembaran tembaga sedemikian rupa agar membentuk cap batik keinginan desain pelanggan.
Di tahapan berikutnya adalah perajin akan mulai menyatukan berbagai lempengan tembaga dari berbagai ukuran mulai. Dari ketebalan tembaga ukuran paling kecil 0,3 milimeter hingga yang paling besar ukuran 0,6 milimeter.
“Pola yang besar pakai (ukuran tembaga) tebal, kalau sedang pakai yang (ukuran tembaga) tanggung. Lha yang paling tebal bisa juga untuk bingkai atau kerangka maupun bagian bawah pada pegangan stamp,” katanya.
Di tahapan ini, perajin bisa makan waktu selama satu hingga dua pekan untuk bisa menyelesaikan sebuah cap. Besar-kecil hingga susah-mudahnya bentuk lekuk desain akan mempengaruhi durasi proses pengerjaan setiap cap batik.
Agus mengatakan, meski ada desain yang dinilai simpel dan mudah, langkah-langkah pengerjaannya tak akan jauh berbeda dengan desain cap batik yang lebih rumit dan sulit. Agus Stamp dan Desain Batik pantang melangkahi proses-proses dalam pengerjaan cap batik.
“Soalnya, aplikasi (cap batik) di kain itu kan diulang-ulang gitu. Maka, tetap harus kita jamin dengan garansi (kualitas). Alat-alat (cap batik) itu bukan sekadar suvenir atau proyek, tapi bisa diaplikasikan di baju, kain, dan seterusnya,” urainya.
Dalam waktu sepekan, 6-7 pegawai yang bekerja di tempatnya bisa membuat hingga sebanyak 10 cap batik. Dengan pola kerja ini, paling mentok, dalam sebulan, Agus Stamp dan Desain Batik bisa memproduksi 40 sampai 50 cap batik seperti yang saat ini dijalani.
Diganjar Penghargaan
Apa yang ditekuninya berbuah manis. Agus juga sempat memamerkan beberapa penghargaan yang didapat dari menekuni usaha cap batik yang sampai hari ini sudah sampai 21 tahun lamanya.
Banyak penghargaan ini diberikan kepada Agus Stamp dan Desain Batik sebagai upaya melestarikan kerajinan cap batik yang sudah mulai langka.
Di antaranya adalah penghargaan sebagai pelestari pengrajin canting cap yang diberikan oleh Chi Award pada 2018. Kedua, penghargaan sebagai tokoh industri cap batik yang diberikan oleh Walikota Surakarta dalam agenda Industry Innovation Award 2019.
Predikat pelestari memang layak disematkan kepadanya. Sekarang ini jumlah perajin stamp atau cap batik di sekitar Solo sangat sedikit jumlahnya. Jika pun ada, pengerjaannya hanya dilakukan perseorangan dan digarap di rumah sendiri-sendiri.
“Jumlahnya benar-benar sangat kecil yang menekuni kerajinan pembuatan stamp/cap batik ini. Soalnya yang pesan stamp batik sendiri untuk produksi semakin jarang,” ungkapnya.
Bisa dibilang, individu-individu perajin cap batik hanya bekerja jika mendapatkan order. Di luar itu, perajin cap batik menjalankan usaha sampingan sebagai penjual di pasar maupun bidang yang lain.
Karena itu, Agus Stamp dan Desain Batik merupakan bentuk ikhtiar Agus dalam menjaga kelestarian kerajinan cap batik.
“Tidak ada (kerajinan cap batik) yang kerjanya dikoordinir seperti di tempat saya,” ujarnya.
Diakuinya, beragam penghargaan dari pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dapat memberikan support moral yang besar kepada perajin. Meski tak dinafikannya, dia membutuhkan lebih dari sekadar penghargaan.
Dia mengaku menunggu Bantuan konkret dari pemerintah untuk bisa melanjutkan kelangsungan industri ini.
“Penghargaan itu memang sangat berarti bagi kita karena berarti ada perhatian. Tapi, kita (butuh) secara riil gimana mau melangkah, biar produsen ini besok-besok itu jangan sampai terputus, itu yang jadi problem terus,” tegasnya.

Kondisi Bisnis
Ditanya soal omzet, Agus tak mau membeber terbuka. Dia enggan memberikan estimasi secara jumlah. Namun, dia menekankan apa yang dihasilkan usaha cap batik ini bisa saling membantu di sekitar.
Terpenting, kegiatan usahanya ini bisa menghidupi sejumlah perajin yang sudah masuk usia senja. Para perajin sendiri kebanyakan berpredikat sebagai pekerja lepas.
Dia sempat bercerita soal pandemi. Seperti kebanyakan pelaku usaha, dia juga mengalami dampaknya. Namun, Agus mengaku bersyukur kondisi usahanya mulai membaik pasca diterpa pandemi covid-19 pada 2020-2022, khususnya sejak pertengahan tahun ini.
Belakangan, dia terus melakukan serangkaian inovasi dengan bekerja sama dengan sejumlah pihak untuk memberikan pelatihan batik cap.
Meski soal omzet dia menutup rapat, tak demikian dengan harga produk. Agus membanderol harga cap batiknya sekitar Rp300-450 ribu untuk ukuran kecil, lalu sekitar Rp600-750 ribu untuk ukuran sedang, dan bisa mencapai Rp1,5 juta untuk desain cap yang lebih sulit dan susah.
Ditanya mengenai motif yang paling laris, Agus mengungkapkan tidak bisa mengeneralisir. Karena motif yang ada di cap batik akan mengikuti permintaan beragam produsen, apakah akan dijual di tingkat daerah atau ekspor.
Misal di tingkat daerah, Agus sering menerima permintaan cap dengan buah atau hewan khasnya. Ada juga yang meng-order cap batik dengan desain ornamen rumah khas di wilayah tersebut.
“Kalau (desain cap) buah atau hewan khas biasanya dari daerah Sleman, Demak, Bojonegoro, Semarang, dan Jambi. (Sementara) ada ornamen hiasan rumah, rata-rata dari daerah Kalimantan, Lampung, Medan, serta Makassar,” jabarnya.
Meski didukung perajin-perajin tua, desain cap batik modern yang cukup jauh dari pakem batik konvensional tetap dilakukan.
Misalnya, desain cap batik bentuk batuan, granit, tebing, biota laut, cagar alam, rumus kimia/matematika, biologi sel dan sebagainya.
Namun dari semua desain itu, menurutnya, desain cap batik untuk logo yang memiliki font khusus seperti yang dimiliki sekolah atau instansi perusahaan menjadi yang paling sulit dikerjakan.
“Yang paling susah buat (cap batik) logo, seperti logo NU, Muhammadiyah, dan sekolah swasta,” katanya.
Soal pelanggan, Agus mengaku masih berpegang pada customer dalam negeri. Dia belum pernah langsung mengekspor cap batik ke luar negeri.
Abu-Abu Masa Depan Cap Batik
Kendati secara bisnis mulai membaik, Agus tetap mengaku was-was dengan kelanjutan industri cap batik konvensional di masa depan. Dia khawatir pada sisi regenerasi SDM perajin yang mulai masuk usia senja.
Adapun upaya untuk membina perajin cap batik konvensional dari pihak keluarganya juga masih belum berhasil.
Diungkapkannya, perajin cap batik muda masih belum ada yang semahir perajin senior di tempatnya. Apalagi kini pemuda di daerahnya lebih melirik profesi lain.
Kedua, industri batik tradisional secara keseluruhan masih belum sepenuhnya pulih dari kelesuan yang terjadi selama pandemi. Khususnya pada cap batik karena mengalami tekanan material yang mengalami kenaikan harga di tingkat dunia.
Hitungannya, biaya modal untuk material saja sudah naik tiga sampai empat kali terjadi selama pagebluk.
Di sisi lain, dirinya juga merasa kesulitan untuk menaikkan harga produk cap batik kepada pembeli karena tahu hal yang sama juga terjadi pada neraca usaha produsen batik cap.
Berasanya efek pandemi, diakuinya berdampak pula terhadap industri batik. Salah satu hal yang dialaminya, adalah keraguan menyiapkan stok cap batik untuk bisa dipasarkan kepada produsen batik.
“Mungkin efek sehabis pandemi itu kayaknya malah (makin) dahsyat. Kayaknya kelihatan sudah normal, tapi kalau kita bikin apa-apa memang agak sulit (penjualannya),” pungkasnya.