26 September 2022
17:00 WIB
Penulis: Nuzulia Nur Rahma
Editor: Dian Kusumo Hapsari
JAKARTA – Seperti yang terungkap di forecast terbaru yang disampaikan di ICAEW Economic Insight Forum Q3, pelaksanaan climate finance dihadapkan dengan dua tantangan, yaitu terkait kondisi anggaran pemerintah dalam tekanan, serta investasi dari sektor swasta akan sangat diperlukan.
Chief Executive ICAEW, Michael Izza mengatakan, kondisi ini dipengaruhi oleh Produk Domestik Bruto (PDB) yang menyusut di kuartal 2, sebagian disebabkan lockdown di China.
Sementara itu, inflasi meningkat di seluruh dunia termasuk Asia dan Timur Tengah, meskipun tekanan di negara Gulf Cooperation Council (GCC) lebih rendah.
Berlawanan dengan latar belakang ini, kebijakan moneter diperkirakan akan lebih ketat karena dunia masih akan terus bergulat menghadapi berbagai tantangan eksternal ini.
Meski begitu, menurutnya dunia telah menunjukkan tanda-tanda pemulihan positif. Karena sebelumnya guncangan lonjakan suplai yang besar menyebabkan laju inflasi memuncak, kondisi sekarang mulai membaik.
Meskipun perang antara Rusia dan Ukraina telah menyebabkan guncangan perdagangan dan membuat pasar negara berkembang mengalami lonjakan harga pangan, harga komoditas secara keseluruhan diperkirakan akan menurun pada tahun 2023.
"Terlebih lagi aturan darurat kebijakan covid mulai melonggar pada akhir tahun 2022 di Asia, sehingga diperkirakan suku bunga akan meningkat kembali ke tingkat yang sama seperti sebelum covid," ujarnya.
Dia memprediksi, kawasan Asia dan Timur Tengah tampaknya memiliki pemulihan ekonomi yang lebih kuat dibandingkan dengan wilayah lain di dunia, yang memberikan kesempatan bagi negara-negara tersebut menanamkan greentransition (transformasi hijau) dalam agenda pembangunan ekonomi mereka.
"Meskipun Asia memiliki performa yang kuat pasca pandemi, tapi pertumbuhan China akan menjadi faktor penentu karena pertumbuhan China diprediksi akan tetap lambat, di bawah 5% pada tahun 2023 dari pertumbuhan tahun 2022 yang berlebih sekitar 3%," jelasnya.
Dalam perkiraan tersebut juga dikatakan eksposur yang tinggi terhadap pertumbuhan Cina yang lemah ini disertai gangguan pasokan masih menjadi potensi risiko bagi pertumbuhan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Namun jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, tingkat risiko yang dimiliki Indonesia yang dipengaruhi lambatnya pertumbuhan China masih lebih baik.
Karena dibandingkan Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam dan Filipina, nilai ekspor Indonesia ke China masih yang terendah.
Selain itu, tingkat kerentanan rantai pasok Indonesia untuk barang setengah jadi pun termasuk di kategori rendah, berbeda jauh dengan Singapura dan Malaysia.
Climate Finance Butuh Investasi Dari Sektor Swasta
Izza mengatakan untuk kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, aksi nyata perubahan iklim masih tergolong rendah, sehingga diperlukan investasi dari sektor swasta. Sementara itu, di kawasan Eurasia dan Timur Tengah lebih intensif untuk urusan energi daripada kawasan lainnya karena kebanyakan pemanfaatan listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan masih tertinggal di banyak negara di kawasan ini.
"Upaya mengalihkan ketergantungan dari bahan bakar berpolusi seperti batu bara ke energi terbarukan akan menjadi tantangan besar untuk mencapai Net Zero. Dengan demikian, repricing energi untuk menggambarkan biaya kerusakan lingkungan disarankan sebagai bentuk insentif yang didorong pasar untuk mempengaruhi lebih banyak bisnis menggunakan energi terbarukan sebagai pengganti bahan bakar yang berpolusi," jelasnya.
Sejalan dengan hal tersebut, menurut Climate Action Tracker, penerapan kebijakan dan aksi nyata menanggapi perubahan iklim di Cina, Asia Tenggara (Indonesia, Singapura, Thailand, Vietnam) dan Timur Tengah (Arab Saudi dan Uni Emirat Arab) dianggap masih belum memadai atau kurang ambisius.
Menurut pengamatan, tidak semua negara siap untuk transisi ini. Karena itu target yang lebih ambisius didorong untuk segera ditetapkan.
Climate Action Tracker mencatat, Indonesia adalah salah satu dari 14 negara yang dikategorikan sebagai negara yang sangat tidak memadai untuk urusan kebijakan iklim dan penerapannya.
Meski begitu, posisi Indonesia ini masih lebih baik ketimbang beberapa negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura, Malaysia dan Vietnam yang berada di kategori kritis.
Di Indonesia sendiri, pada tahun 2015 sumber energi listrik masih didominasi oleh batu bara, gas alam dan minyak. Diprediksi, baru di tahun 2050 nanti Indonesia bisa meninggalkan ketergantungan terhadap batu bara dan minyak.
Sumber energi listrik di tahun 2050 nantinya akan sudah didominasi energi terbarukan dan hanya menyisakan sedikit dari gas alam.
Melihat fakta ini, Izza menegaskan bahwa climate finance dinilai belum mampu memenuhi apa yang diperlukan untuk mencapai tujuannya. Investasi di infrastruktur untuk energi terbarukan, teknologi elektrifikasi dan efisiensi energi menjadi semakin diperlukan.
Dan nilai bruto dari investasi infrastruktur ini, seperti yang diprediksi oleh Climate Policy Initiatives akan menelan biaya sekitar US$4,5 hingga 5 triliun per tahunnya.
Karena anggaran pemerintah cukup membengkak ketika masa pandemi, menurutnya pembiayaan yang cukup besar untuk mencapai tujuan ini membutuhkan dukungan tambahan dari sektor swasta. Meski demikian, pemerintah dapat membantu mengurangi risiko investasi iklim melalui inisiatif blended finance.
“Transisi dari pandemi membuka kesempatan bagi negara-negara untuk membangun kembali perekonomian mereka dengan cara yang lebih ramah lingkungan. Kota-kota yang memiliki pertumbuhan pesat di Asia dan Timur Tengah semakin rentan terhadap risiko fisik seperti kekeringan, banjir dan badai tropis. Karena itu, investasi di mitigasi serta adaptasi sangat diperlukan untuk membangun ketahanan. Green recovery bisa memperkuat daya saing jangka panjang untuk Asia dan Timur Tengah di pasar global yang membutuhkan green practices," ungkapnya.
Sementara itu, Conny Siahaan, ICAEW Head of Indonesia, menyebut Indonesia berpotensi tinggi untuk meningkatkan climate finance. Menurutnya dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, potensi Indonesia untuk memperkuat climate finance sangat tinggi. Pemerintah terus gencar mendorong seluruh pihak, terutama pemain industri dalam menurunkan kadar emisi karbon.
"Salah satunya yang terbaru adalah rencana pemerintah dalam menyiapkan regulasi baru terkait penggunaan mobil listrik di lingkungan pemerintah dan perencanaan penerapan pajak karbon. Ini adalah langkah awal yang signifikan menuju ekonomi hijau," katanya.