25 Maret 2024
21:00 WIB
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Siapa yang tidak mengenal nastar? Tentu nama kue ini sudah tak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Ya, kue kering ini menjadi salah satu yang tak pernah absen jadi sajian pada Hari Raya Idulfitri atau lebaran. Bahkan, tak hanya lebaran saja, nastar juga disuguhkan pada Tahun Baru Imlek sebagai simbol keberuntungan. Nastar juga kerap jadi pelengkap saat Natal dan Tahun Baru. Tak heran penjualan nastar kerap melonjak saat momen-momen ini.
Kudapan ini tentu banyak digemari baik tua maupun muda. Lantaran, memiliki cita rasa yang manis legih, gurih, dan aroma khas dari buah nanas.
Ramainya peminat menghadirkan peluang manis yang ingin dicoba Ekawati (39) yang memang kala itu tengah mencari produk baru untuk bisnisnya.
Alih-alih membuat nastar dalam bentuk pakem alias bulat, perempuan yang lebih akrab disapa Eka ini menghadirkan bentuk nastar yang unik: nastar gepeng. Alasannya sederhana. Di benak Eka, bentuk unik membuat produk dilirik untuk dijadikan oleh-oleh. Alasan lainnya adalah bentuk gepeng membuat nastar tak mudah rusak saat pengiriman.
Eka memulai bisnis nastar gepeng ini dari Pulau Dewata yang menjadi lokasi favorit liburan. Dimulai pada 2017, jadilah nastar gepeng yang berada di bawah bendera jenama House of Kiseki ini sebagai pelopor nastar gepeng di Indonesia.
Eka mengaku, bentuk unik hanyalah salah satu cara menggoda konsumen dan memenangkan persaingan aneka produk nastar yang sangat ketat di pasar. Ada kelebihan lain yang ia tawarkan agar konsumen memilih nastar gepeng House of Kiseki. Menggunakan bahan-bahan premium adalah salah satunya.
Dia juga menjamin nastar buatannya memiliki rasa yang enak dan premium karena sepenuhnya menggunakan butter, bukan margarin.
"Butter dengan margarin itu mau bagaimanapun tetep lebih enak butter. Lebih enak, lebih sehat. Meskipun ada lemaknya, dia (butter.red) juga bisa dibakar dengan olahraga. Tapi, kalau margarin agak susah dibakar dengan olahraga," kata Eka saat berbincang dengan Validnews melalui sambungan telepon, Jumat (22/3).
Eka pun turut melengkapi produknya dengan kemasan yang menarik, sertifikasi Halal MUI, serta menawarkan kompensasi jika barang yang diterima dalam perjalanan mengalami kerusakan, sehingga makin memikat calon konsumen.
Nastar gepeng juga menawarkan rasa yang lebih beragam. Ada yang manis berasal dari belgian choco rum. Ada yang gurih dari keju, kacang, dan wisman. Serta ada yang kombinasi asam, manis, segar dari isian kismis dan berry atau disebut dengan Sultana.
"Memang awalnya itu banyak yang ragu, 'Kamu bisa jualan nastar harga segini? Terus bisa yakin, bisa jalan gitu?" kenang dia.
Selaras waktu, wanita kelahiran Desember 1984 ini mampu membuktikan kepada orang-orang bahwa nastar gepeng premiumnya dapat diterima dengan baik oleh konsumen.
Kini, Eka tak lagi bekerja secara mandiri. Ada enam karyawan dengan posisi berbeda yang membantunya, yakni satu mengurus administrasi, sedangkan lainnya berperan penting di dapur atau bagian produksi.

Dari Hobi
Eka tak pernah menyangka House Kiseki yang telah dikembangkan sejak tahun 2008, atau kini telah genap berusia 15 tahun, masih berdiri kokoh hingga sekarang.
Sejak awal, dia memang memiliki ketertarikan pada makanan manis. Semua berawal dari sang ibu yang sering mengajaknya ke kursus membuat kue seusai sekolah. Dari sekadar lihat-lihat, Eka akhirnya jatuh hati pada aktivitas menyulap aneka tepung, gula dan telur jadi panganan itu.
"Dari dulu suka makan kue, dari kecil suka buat juga. Dulu juga mama suka ikut kursus waktu saya SD, jadi sering diajak pulang sekolah kursus. Mama yang kursus ya, saya cuma lihat. Ya sudah jadinya seneng dan suka," cerita Eka.
Meski berkenalan dengan dunia baking dari kursus, Eka justru tak pernah mengikuti kursus membuat kue secara pribadi. Dia mempelajari berbagai resep secara mandiri atau otodidak dengan bermodalkan buku resep.
Kepiawaiannya diwujudkan lewat pendirian House of Kiseki yang menjual puding dan kue tart di Surabaya. Kala itu, dia tak merogoh kocek dalam untuk modal. Eka hanya mengeluarkan sekitar Rp500 ribu. Modal tersebut pun dibelanjakan untuk membeli mixer dan bahan-bahan seadanya.
Waktu demi waktu usahanya sudah cukup dikenal. Ditambah lagi dirinya diuntungkan berkat konsumen Surabaya yang cukup konsumtif.
Baru berjalan empat tahun, Eka terpaksa harus pindah ke Denpasar, Bali mengikuti jejak suami. Di Pulau Dewata ini semua berbeda. Termasuk konsumen yang tak sekonsumtif di daerah sebelumnya.
Eka pun memutar otak agar usahanya tetap bisa terus berjalan di tempat baru dan berkembang. Pilihannya jatuh pada pembuatan produk yang bisa dijadikan sebagai oleh-oleh dan kemudian memilih mengolah nastar.
"Kue tart sama puding itu kebanyakan untuk pangsa pasar dalam kota. Kita enggak bisa terus ngandelin dalam kota, harus mikir gimana cara narik orang luar kota. Bali banyak turis, jadinya mikir buat oleh-oleh dan target marketnya Indonesia, kan orang Indonesia sukanya nastar. Nastar cuma selama ini di dalam toples, kalau dikirim atau dibawa hancur. Baru kita mikirnya nastar gepeng, bentuknya unik beda, terus aman di pengiriman tapi tetep enggak jauh dari selera orang Indonesia," urainya.
Inovasi Nastar
Meski sudah memutuskan untuk mengupayakan nastar gepeng, untuk memperoleh rasa dan kemasan seperti sekarang, cukup panjang jalan yang ditempuh.
Dia mengakui, tak mudah memperoleh rasa yang ajeg. Eka melakukan proses trial and error selama dua tahun. Perbaikan demi perbaikan dilakukan hingga didapat formulasi yang pas.
Mulanya dia tidak memakai cetakan dan menggepengkan nastar secara manual menggunakan tangan. Akan tetapi, karena bentuknya dirasa tidak bagus, Eka kemudian mulai membeli cetakan.
Trial and error juga dilakukan dengan adonan. Maklum, nastar yang lumer di mulut memang tak memiliki struktur yang kokoh dan mudah ambyar saat pengiriman. Karena itu, dia mencari formulasi adonan yang cukup kokoh untuk pengiriman. Akan tetapi juga tetap terasa empuk dan enak saat digigit.
Urusan packing hingga pengiriman juga terus diperbaiki Eka. Dia menyadari, kemasan jadi kunci agar nastar tetap utuh sampai di tangan pelanggan.
"Merintis nastar gepeng ini lumayan lama sekitar dua tahun, dari tahun 2017-2019 akhir. Dalam dua tahun yang paling sulit adonannya. Awal-awal juga pengiriman hancur karena kita pakai bubble satu-satu manual, terus kadang juga hancur di pengiriman. Kemudian kita putuskan pakai sekat jadi 80-90% aman, kecuali ekspedisinya error," ujar Eka.
Usai urusan formulasi adonan hingga kemasan beres, Eka tancap gas memasarkan produknya. Ibu beranak dua ini rutin memamerkan produk nastar gepengnya ke media sosial dan menitipkan produknya ke toko oleh-oleh di Bali. Gayung bersambut. Banyak konsumen yang tertarik dan membeli nastar gepeng House of Kiseki.
Nastar gepeng ini dijual dalam boks yang berisi sembilan buah. Harganya bervariasi. Untuk nastar gepeng rasa kacang dibanderol harga Rp55.000. Kemudian nastar gepeng original Rp65.000. Lalu rasa keju, Sultana, dan belgian choco rum Rp70 ribu, hingga wisman Rp90 ribu.
Eka mengklaim nastar gepeng buatannya dapat bertahan dua minggu dalam suhu ruang dan bisa satu bulan jika disimpan dalam kulkas.
Kini dalam sebulan, House of Kiseki bisa menerima lebih dari 1.000 pesanan. Sedangkan saat momen lebaran, bisa naik dua kali lipat menjadi 2.000 pesanan. Adapun dalam sehari, House of Kiseki sendiri dapat memproduksi hingga 100 boks.
Berkat reseller, toko oleh-oleh, dan marketplace seperti Tokopedia dan Shopee, nastar gepeng House of Kiseki telah tersebar ke berbagai kota di Indonesia, terjauh pernah dikirim hingga ke Maluku dan Makassar.
Selain dalam negeri, nastar gepeng juga sudah merambah mancanegara, seperti Korea dan Australia. Dengan begitu, Eka dapat mengantongi omzet berkisar Rp50 juta hingga Rp100 juta tiap bulannya.

Pahit Manis Jalani Usaha
Banyak cerita yang bisa dituturkan Eka dari usahanya mengembangkan House of Kiseki selama 15 tahun.
Berbagai ulasan positif yang dikirimkan kepada House of Kiseki, mendapat pesanan yang menumpuk, dan dapat mengatasi berbagai permasalahan yang ada menjadi suka yang dirasakan Eka dalam membesarkan bisnis.
Namun, tak hanya suka yang Eka rasakan dalam membangun bisnis yang dimulai dari nol ini. Tentu di setiap perjalanannya juga ada duka yang menyelimutinya.
Dalam menemukan sumber daya manusia (SDM) atau karyawan yang tepat, misalnya. Dia menilai, jumlah SDM memang melimpah. Akan tetapi, kemampuan atau skill-nya masih dirasa kurang.
Di tengah kesulitan mencari SDM, satu prinsip tetap ia pegang. Eka hanya mempekerjakan karyawan yang sebelumnya tidak ia kenal. Harapannya, agar pegawai tetap bekerja secara profesional.
"Iya SDM yang tidak dikenal untuk profesionalitas aja. Soalnya kan kalau kenal nanti kita ngomong soal kerjaan tersinggungnya merembet ke mana-mana," terang wanita lulusan S1 Manajemen itu.
Musim liburan, termasuk libur lebaran, membuat permintaan SDM melonjak. Padahal di musim liburan itu biasanya pesanan kue juga menumpuk. Di situasi seperti ini Eka biasanya tetap berupaya menambah SDM, dirinya pun akan ikut terjun langsung dalam membuat kue.
"Saya nambah orang dan saya pun ikut turun produksi. Jadi waktu libur lebaran itu anak-anak saya pun bantu buat boks, semua dikerahkan karena musim di Bali tuh ramainya memang saat musim liburan, jadi waktu musim ramai itu susah mencari karyawan," ungkapnya.
Tak hanya sulit menemukan SDM yang tepat, kendala dalam pengiriman juga ada. Pasalnya, selalu ada saja pesanan yang hancur dalam perjalanan.
Demi menjaga kepercayaan konsumen, Eka akan menawarkan kompensasi kepada pesanan yang hancur dalam perjalanan. Meski rugi, dia meyakini cara ini ampuh agar konsumen tak berpaling. Namun, cara ini dia terapkan tergantung kasusnya.
Hambatan lainnya juga datang dari faktor eksternal. Adalah covid-19 yang menjadi batu penguji jalannya bisnis. Upaya menekan angka penyebaran membuat pemerintah memberlakukan pembatasan aktivitas, hingga membuat Bali yang bergantung pada pariwisata sepi dari turis.
Di tengah situasi itu, Eka menerapkan sistem pre-order (PO). Hasilnya, House of Kiseki masih dapat terus bertahan lantaran mendapat pesanan melalui jasa titip (jastip) maupun PO. Bahkan, penjualan justru meningkat di tengah gempuran matinya usaha-usaha lain.
Ke depan, Eka tak muluk-muluk berharap agar usahanya bisa terus maju dan lancar. Dia juga ingin agar viralnya nastar gepeng dapat terus bertahan lama, tak seperti kebanyakan produk saat ini yang cepat viral tapi juga cepat berlalu.
Dia juga masih punya mimpi ingin membuka pabrik sendiri, tak lagi berproduksi rumahan.
Powered by Froala Editor