18 Juni 2022
18:00 WIB
Penulis: Fitriana Monica Sari, Khairul Kahfi, Wiwie Heriyani
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Bagus, salah satu tenaga honorer di sebuah Kementerian di Jakarta, sudah pasrah ketika tempatnya bekerja mendata semua pegawai honorer pada awal tahun ini. Dia sudah mengetahui dari media massa perihal penghapusan pegawai honorer pada akhir 2023 nanti.
Saat itu, pendataan meliputi lamanya bekerja, posisi yang ditempati, hingga pekerjaan yang dilakukan sehari-hari. Dia mendengar, informasi ini nantinya digunakan untuk pengajuan kebutuhan pembukaan posisi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
“Sudah diberikan informasi sejak awal tahun bahwa nantinya sudah tidak ada honorer, jadi pimpinan mempersilahkan kami apabila ada kesempatan di luar yang lebih baik,” kata Bagus yang bukan nama sebenarnya, saat berbincang dengan Validnews di Jakarta, Rabu (15/6).
Dia bersama kolega berstatus pegawai honorer, sudah diinformasikan pada 2023 adalah tahun terakhir mereka sebagai tenaga kerja dengan status itu. Ke depan, Bagus dan yang lainnya didorong untuk mengikuti seleksi PPPK maupun seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang akan datang. Atau bahkan, mencari pekerjaan di tempat lain.
Bagus berpandangan kebijakan penghapusan pegawai honorer di lingkungan pemerintahan bagai dua sisi koin. Pegawai honorer yang lolos PPPK ataupun CPNS nantinya akan memiliki kepastian status kepegawaian. Alias, tidak perlu khawatir tiap awal tahun apakah kontrak diperpanjang atau tidak. Di sisi lain, dia juga jatuh iba lantaran banyak pegawai honorer yang sudah lanjut usia.
“Sebenarnya saya belum tahu persyaratan untuk menjadi PPPK, namun bila syaratnya sama dengan CPNS maka sangat merugikan tenaga honorer yang sudah melewati batas umur, padahal mereka sudah mengabdi lebih dari 10 tahun,” ucap lelaki 27 tahun yang optimistis akan bisa lolos seleksi lepas dari status honorer.
Meski kini nasibnya belum jelas, Bagus mengaku menyukai pengalaman bekerja di pemerintahan. Dia dapat mengetahui bagaimana suatu kebijakan itu berjalan, hingga dapat mengikuti kegiatan instansi baik di dalam kota maupun luar kota.
“Dukanya, kerajaan kami mungkin lebih banyak dari yang PNS, karena kami mengerjakan teknisnya. Kemudian setiap awal tahun selama 2-3 bulan nasib kami seperti digantung, karena belum ada kepastian perpanjangan kontrak. Kalau kami tetap bekerja enggak akan digaji, tapi kalo enggak kerja dianggap mengundurkan diri,” urai pria yang sejak 2017 menjadi tenaga honorer ini.
Demi Kesejahteraan
Polemik penghapusan pegawai honorer di lingkungan pemerintahan dimulai saat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo mengimbau para Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) instansi pemerintah untuk menentukan status kepegawaian pegawai non-ASN (non-PNS, non-PPPK, dan eks-Tenaga Honorer Kategori II).
Tjahjo meminta kebijakan ini dilakukan paling lambat pada 28 November 2023. Hal ini tertuang dalam surat Menteri PANRB No. B/185/M.SM.02.03/2022 perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Hal utama yang diharapkan, PPK diminta untuk menyusun langkah strategis penyelesaian pegawai non-ASN yang tidak memenuhi syarat atau tidak lulus seleksi CPNS dan PPPK sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum batas waktu tanggal 28 November 2023.
Pengangkatan pegawai melalui pola outsourcing sesuai kebutuhan diharapkan dilakukan dengan mempertimbangkan keuangan dan sesuai dengan karakteristik masing-masing kementerian/lembaga/daerah (K/L/D).
Jadi, PPK pada K/L/D tetap bisa mempekerjakan outsourcing sesuai kebutuhannya. Instansi pemerintah yang juga membutuhkan tenaga lain seperti pengemudi, tenaga kebersihan, dan satuan pengamanan dapat dilakukan melalui tenaga alih daya (outsourcing) oleh pihak ketiga.
Deputi Bidang SDM Aparatur Kementerian PANRB Alex Denni kepada Validnews menyatakan penghapusan tenaga honorer ini merupakan salah satu langkah pemerintah untuk membangun sumber daya manusia (SDM) aparatur sipil negara (ASN). Para honorer diharap menjadi lebih profesional dan sejahtera.
Menurutnya, sistem rekrutmen honorer tidak jelas yang otomatis berdampak kepada upah mereka. Hasilnya, gaji pegawai honorer kerap di bawah upah minimum rendah (UMR).
“Dari masalah tersebut, kami pemerintah bersama DPR mencari jalan agar tenaga honorer ini bisa sejahtera dan mendapatkan pengupahan yang layak, makanya usul kami memang tenaga honorer ini dihapuskan,” katanya, Jumat (10/6).
Secara kebijakan, lanjut Alex, sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005 jo PP Nomor 43 Tahun 2007, yang kemudian diubah dalam PP Nomor 56 Tahun 2012 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS. Jadi menurutnya, wacana tersebut bukan baru-baru ini muncul. Sebab, sudah dibahas sejak 2005 lalu.
Menurut catatan Kementerian PANRB, pada 2005 ada 900 ribu tenaga honorer di seluruh instansi pemerintahan. Pada tahun yang sama, pemerintah mengangkat 860 ribu tenaga honorer menjadi PNS melalui CASN dan PPPK.
Dari data tersebut, harusnya tersisa hanya 40 ribuan saja. Namun Alex mengungkapkan, ketika didata ulang di tahun yang sama, jumlah tenaga honorer membengkak. Ada 600 ribuan atau meningkat lebih dari 10 kali lipat yang belakangan tercatat.
“Karena, memang ada masalah sampai terjadi pembengkakan honorer. Makanya kami larang untuk rekrut lagi dan rencananya akan dihapuskan di 2023 nanti,” ujarnya.
Oleh karena itu, Alex mengatakan pemerintah sedang menyiapkan beberapa strategi untuk perekrutan pegawai melalui PPPK dan alih daya untuk SDM di bidang tertentu. Selain itu, ia bilang, pemerintah juga mendorong agar para tenaga kerja honorer ini mengikuti seleksi CPNS.
“Pemerintah punya PR bagaimana menyelesaikan ini dengan baik, karena realitas di lapangan kawan-kawan ini sudah bekerja bertahun-tahun dan perlu diberikan kesempatan untuk diprioritaskan terlebih dahulu,” ucapnya.
Asal tahu saja, pada 2005 hingga 2014, pemerintah telah mengangkat THK-I sebanyak 860.220 dan THK-II sebanyak 209.872. Maka total tenaga honorer yang telah diangkat sebanyak 1.070.092.
Jumlah tersebut mencapai seperempat jumlah total ASN nasional, yang tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan organisasi. Jadi rata-rata 60% rata-rata komposisi ASN di kantor-kantor pemerintah bersifat administratif. Dalam kurun waktu yang sama, pemerintah hanya mengangkat 775.884 ASN dari pelamar umum.

Outsourcing Sejak 2018
Sejatinya sistem alih daya atau outsourcing bukan baru. Meski wacana penggunaan outsourcing baru-baru ini muncul, Kantor Kecamatan Gunung Putri Bogor sudah menggunakan sistem ini sejak 2018.
“Berjalan dari 2018 kita sudah melaksanakan pengambilan outsourcing tapi belum banyak. Mulai banyak 2021 kita hampir semua bagian ada,” kata Kepala Sub Bagian (Kasubag) Umum dan Kepegawaian Kecamatan Gunung Putri Bogor Enang Solihin kepada Validnews, Kamis (16/6).
Saat ini, Kecamatan Gunung Putri Bogor memiliki 31 orang tenaga outsourcing yang terdiri dari 21 orang ahli madya, 4 orang kebersihan, dan 6 orang keamanan.
Solihin mengatakan, ke 21 tenaga dengan sistem kerja itu sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang dibutuhkan masing-masing seksi. Di lingkungan Kecamatan Gunung Putri, terdapat 7 kepala seksi (kasi).
Penggunaan tenaga outsourcing saat itu dilakukan karena banyaknya pegawai yang pensiun. Tidak tanggung-tanggung, saat itu ada 18 orang yang memasuki masa purna tugas. Kemudian, dengan inisiatif Kepala Kecamatan, sistem ini dilakukan.
Menurut Kepala Kecamatan saat itu, tenaga outsourcing dibutuhkan untuk mendukung kasi yang mayoritas sudah berusia tua. “Jadi dengan outsourcing yang bantu kerja walaupun kebijakan dan arahan tetap dari masing-masing PNS,” ujar Solihin.
Di sana, mayoritas tenaga honorer menempati bidang komputerisasi dan aplikasi yang berkaitan langsung dengan pelayanan publik. Ia mengakui, dengan adanya tenaga outsourcing, pelayanan publik lebih cepat.
“Untuk pelayanan publik dengan dibantu outsourcing alhamdulillah berjalan dengan baik mulai dari kependudukan, pelayanan lain juga. Intinya sangat membantu,” imbuhnya.
Dari pengalaman ini, Solihin mengungkapkan bahwa pihaknya telah dipanggil oleh Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Bogor untuk sosialisasi pengadaan tenaga outsourcing pada akhir 2023 nanti.
Dia mengaku, BKPSDM hanya mendata tenaga outsourcing yang ada di masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Selebihnya, kebijakan masih menunggu arahan dari pemerintah pusat.
Bikin Bengkak Anggaran
Berbagai kritik pun muncul. Salah satunya dikemukakan Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah. Dia mengatakan penghapusan tenaga honorer dan diganti dengan outsourcing kurang tepat.
Dia juga menilai perekrutan alih daya membuat beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) maupun anggaran dan pendapatan belanja daerah (APBD) tambah berat.
“Kalau selama ini taruhlah pemerintah hanya membayar gaji pokok sama tunjangan BPJS. Tapi dengan adanya outsourcing, dia harus mengeluarkan 10% untuk lembaga outsourcing. Jadi nambah biaya sebenarnya,” jelasnya kepada Validnews di Jakarta, Selasa (14/6).
Sementara itu, berdasarkan Laporan Perkembangan Ekonomi dan Fiskal Daerah yang diterbitkan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, pada 2021 banyak daerah yang memiliki besaran belanja pegawai yang mendominasi belanja daerah. Hal ini membatasi besaran belanja daerah untuk pembangunan, seperti infrastruktur.
Sejalan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, belanja pegawai kabupaten/kota cenderung lebih tinggi dari provinsi. Ini disebabkan pemkab/pemkot mengampu berbagai urusan layanan publik yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Sementara itu, volume APBD kabupaten/kota relatif lebih kecil ketimbang provinsi.
Terdapat lima kabupaten/kota yang memiliki persentase belanja pegawai paling besar pada 2021. Yakni, Kota Bengkulu dengan porsi 54,68%, Kabupaten Cirebon (52,47%), Kota Palangkaraya (52,42%), Kabupaten Sragen (52,38%) dan Kota Binjai (52,11%).
Sementara untuk provinsi, Bengkulu memiliki porsi belanja pegawai terbesar dengan persentase 39,77%. Diikuti Jambi (37,99%), Sulawesi Tengah (34,30%), Gorontalo (33,81%) dan Sulawesi Utara (33,42%).
Rata-rata persentase Gaji Tunjangan PNS terhadap Belanja Daerah secara nasional adalah 29,69%, sedangkan rata-rata presentasi PNSD Nonguru terhadap Total PNSD nasional adalah 58,87%. Terdapat masih 188 dari 451 daerah dengan persentase Gaji Tunjangan PNS terhadap Belanja Daerah di atas 30%. Selain itu, terdapat 317 dari 451 daerah dengan persentase PNSD Nonguru terhadap Total PNSD di atas 50%. 
Masalah lain adalah potensi pengangguran. Tenaga honorer yang ingin beralih menjadi outsourcing juga perlu memenuhi syarat tertentu. Jika tak lolos, potensi menjadi penganggur pasti sangat besar.
“Iya pihak ketiga, tapi kan masalahnya ini kan nanti jadinya belum tentu rata-rata honorer mau dipakai. Artinya, pihak outsourcing belum tentu mau, perusahaan-perusahaannya atau apa, belum tentu mau. Menggunakan tenaga honorer sudah lama kan tidak mau. Mereka cari yang lebih muda-muda,” imbuhnya.
Sebagai informasi, per Februari 2022, BPS mencatat jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,4 juta orang. Angka ini 5,83% dari jumlah angkatan kerja sebanyak 144,01 juta orang.
Berdasar hitungan itu, ia juga menilai penghapusan tenaga honorer bukan jawaban dari persoalan yang ada. Menurutnya, outsourcing sebagai pihak ketiga tidak akan efektif mengatasi permasalahan tenaga honorer.
Oleh karena itu, ia meminta tenaga honorer agar didorong untuk mengikuti seleksi PPPK dan CPNS. “Iya memang itu solusinya. Jadi outsourcing itu sebenarnya bukan solusi. Itu hanya bentuk pemerintah lepas tangan saja dari persoalan ini,” sambung Trubus.
Secara kebijakan, kesepakatan penanganan tenaga honorer oleh pemerintah diatur dalam PP No. 48/2005 jo PP No. 43/2007 dan terakhir diubah dalam PP No. 56/2012 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS. Dalam PP tersebut, tertulis bahwa THK-II diberikan kesempatan untuk seleksi satu kali. Hasilnya dari 648.462 THK-II yang ada di-database tahun 2012 terdapat 209.872 THK-II yang lulus seleksi dan 438.590 THK-II yang tidak lulus.
Pada tahun 2018-2020,ada 438.590 THK-II mengikuti seleksi CASN (CPNS dan PPPK). Per Juni 2021 (sebelum pelaksanaan seleksi CASN 2021), terdapat sisa THK-II sebanyak 410.010 orang.
Dari 410.010 orang THK-II tersebut terdiri atas tenaga pendidik sebanyak 123.502, tenaga kesehatan 4.782, tenaga penyuluh 2.333, dan tenaga administrasi 279.393.
Pada seleksi CASN (CPNS dan PPPK) 2021, terdapat 51.492 THK-II yang mengikuti seleksi. Sementara yang lulus seleksi masih dalam proses penetapan NIP dan pengangkatan. Dengan ketatnya seleksi dan besarnya proporsi mereka yang tak lagi muda di kalangan tenaga honorer, momok bakal bertambahnya pengangguran, mau tak mau tetap ada. Bukan cuma membayangi, tapi pasti.