15 April 2025
08:00 WIB
Hilirisasi Batu Bara, Proyek PTBA Yang Penuh Dilema
PT Bukit Asam Tbk telah mendapat alternatif hilirisasi batu bara menjadi grafit sintetis, tetapi pemerintah tetap ingin melancarkan proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME).
Penulis: Yoseph Krishna
Petugas mengoperasikan stekker recliming untuk memindahkan batu bara ke conveyor belt di kawasan tambang batubara airlaya milik PT Bukit Asam Tbk di Tanjung Enim, Muara Enim, Sumatra Selatan. ANTARAFOTO/Nova Wahyudi
JAKARTA - PT Bukit Asam Tbk dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memiliki perspektif yang berbeda terkait proyek hilirisasi batu bara.
Di satu sisi, pemerintah ingin batu bara diolah menjadi Dimethyl Ether (DME) sebagai substitusi impor LPG yang terus naik setiap tahunnya. Tetapi, proyek tersebut 'mandek' setelah Air Products sebagai mitra dari PT Bukit Asam Tbk menyatakan mundur beberapa waktu lalu.
Alhasil, emiten pertambangan pelat merah berkode saham PTBA itu harus mencari mitra baru untuk menggarap gasifikasi batu bara menjadi DME. Tapi nyatanya, hingga kini PTBA tak kunjung mendapat pengganti Air Products.
Banyak yang menganggap mundurnya Air Products dari proyek gasifikasi batu bara menjadi DME itu karena faktor keekonomian.
PTBA pun tak tinggal diam. Sembari mencari mitra pengganti Air Products untuk memenuhi mimpi pemerintah, Anggota Holding BUMN Pertambangan PT Mineral Industri Indonesia (MIND ID) itu mengulik alternatif lain untuk menjalankan proyek hilirisasi batu bara.
Salah satunya, ialah artificial graphite atau grafit sintetis. Bersama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Universitas Gadjah Mada (UGM), PTBA telah melancarkan pilot project coal to artificial graphite.
Grafit sintetis itu bakal menjadi bahan baku pembuatan anoda, yakni komponen penting dalam pembuatan baterai kendaraan listrik. Selain anoda, komponen lain yang diperlukan untuk baterai EV ialah katoda.
Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk Arsal Ismail meyakini pilot project konversi batu bara menjadi artificial graphite dan anode sheet merupakan terobosan yang penting dalam hilirisasi batu bara.
"Jadi, pengembangan batu bara menjadi artificial graphite dan anode sheet itu merupakan wujud komitmen Bukit Asam dalam mendukung kebijakan pemerintah yang mendorong hilirisasi batu bara," tegas Arsal dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (14/4).
Arsal menilai, proyek artificial graphite itu bakal menopang penciptaan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Nantinya, PTBA akan menyuplai anode sheet yang diolah dari grafit sintetis, sedangkan katoda bakal disuplai oleh anggota MIND ID yang lain.
"Kita ada Inalum, PT Timah, sangat terintegrasi. Paling tidak lebih dari 90% komponen (baterai EV) sudah disiapkan di dalam negeri. Kalaupun ada impor, sedikit sekali. Ini yang kami jalankan," kata dia.
Gasifikasi Batu Bara Menjadi DME
Di lain sisi, pemerintah lewat Kementerian ESDM tetap ingin batu bara diolah menjadi DME. Tujuannya, ialah untuk menggantikan Liquified Petroleum Gas (LPG) yang angka impornya semakin mengkhawatirkan.
Gasifikasi batu bara menjadi DME itu sendiri merupakan salah satu proyek hilirisasi kebanggaan Presiden Ke-7 Joko Widodo yang saat ini akan dihidupkan kembali pada era Prabowo Subianto.
"Hilirisasi batu bara kita dorong kepada gas juga, ada DME dan sekarang masih dalam proses pembahasan," ucap Menteri ESDM Bahlil Lahadalia saat ditemui beberapa waktu lalu.
Meski Air Products mundur dari proyek gasifikasi batu bara, pemerintah bakal tetap mendorong PTBA agar mencari mitra baru.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung pada kesempatan berbeda menilai seandainya PTBA punya keterbatasan dalam melancarkan proyek gasifikasi batu bara, pemerintah akan mendorong terbentuknya joint venture dengan perusahaan swasta.
Yuliot memastikan, pemerintah akan memberi prioritas kepada perusahaan pelat merah untuk menggarap gasifikasi batu bara menjadi DME.
"Tapi kalau untuk BUMN itu ada keterbatasan ya mungkin kita dorong akan ada joint venture antara BUMN dengan badan usaha," kata dia, Jumat (14/3).
Ruwetnya Bisnis Gasifikasi
Mandeknya proyek gasifikasi batu bara menjadi DME bukan tanpa alasan. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno mengakui proses bisnis gasifikasi batu bara pada dasarnya memang rumit.
Dia mengilustrasikan, ada tiga kotak beruntun yang menggambarkan peranan masing-masing perusahaan pada proses gasifikasi batu bara menjadi DME.
Kotak pertama, ialah dari hulu tambang batu bara oleh PT Bukit Asam Tbk. Lalu kotak selanjutnya, adalah pemrosesan batu bara yang dahulu digawangi oleh Air Products. Terakhir, ialah PT Pertamina sebagai offtaker DME.
Tri menyebut Air Products tak bisa menurunkan harga teknologi pemrosesan batu bara yang kala itu masih terbilang cukup tinggi. Di lain sisi, PT Pertamina juga tidak bisa menaikkan tawaran untuk produk DME.
Kondisi itu mengakibatkan ketidakcocokkan keekonomian dan berimbas pada mundurnya perusahaan asal Negeri Paman Sam itu dari kerja sama dengan PTBA untuk menggarap gasifikasi batu bara.
"Karena mau tidak mau, suka atau tidak suka, yang digeser hanya satu, harga batu bara. Harga batu bara bahkan sampai ke minimal, di angka yang minimum, sampai kemungkinan perusahaan itu rugi," kata Tri.
Dirinya melanjutkan, pemerintah telah mengundang empat perusahaan yang seluruhnya berasal dari Tiongkok. Salah satu dari mereka meyakini proyek hilirisasi batu bara menjadi DME tidak feasible untuk dijalankan.
Sedangkan tiga lainnya, juga punya pandangan yang berbeda. Ia memaparkan, ada perusahaan yang menilai tingkat Internal Rate of Return (IRR) dari proyek gasifikasi batu bara berada di angka 22%, tetapi ada juga yang bilang hanya 12%.
Karena itu, Tri Winarno menegaskan saat ini pemerintah terus melakukan exercise mendalam sebelum mengeksekusi proyek gasifikasi batu bara.
"Terus kita mikir ini kok bisa begini ya? maksud saya adalah gap-nya itu kok tinggi sekali antara mereka ini? Nah, ini kan kita musti exercise," jabarnya.
Keekonomian Grafit Sintetis
Lebih lanjut, Arsal mengungkapkan pihaknya memang terus mengkaji mana yang lebih ekonomis antara gasifikasi batu bara menjadi DME atau hilirisasi batu bara menjadi artificial graphite.
Dia menerangkan, produk grafit sintetis sendiri sudah bisa dikomersialisasikan. Tanpa diolah menjadi baterai EV, grafit sintetis digadang-gadang bakal memberi keuntungan tambahan untuk PTBA.
"Kalau kita sampai artificial graphite, hanya sampai lembaran-lembaran, kalau dijual secara komersial tetap menguntungkan. Pasarnya berdasarkan analisa kawan-kawan Kemenperin itu ada, dan ada prospek," imbuh Arsal.
Saat ini, PT Bukit Asam Tbk masih fokus menggarap piloting project konversi batu bara menjadi grafit sintetis. Diharapkannya, feasibility study bisa rampung pada tahun ini, diikuti pembangunan pabrik.
"Sudah mulai tahap FS, mudah-mudahan tahun ini selesai. Tahun depan diharapkan sudah selesai dan mulai bangun. Dalam kurang lebih tiga tahun, kita harapkan bisa komersial," pungkas Arsal Ismail.