11 Desember 2023
09:17 WIB
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Harga minyak mentah tak beranjak dari posisi Jumat atau Sabtu WIB (9/12). Pengumuman Pemerintah Amerika Serikat akan membangun kembali cadangan minyak strategisnya mendukung harga, di tengah keraguan akan pemangkasan pasokan oleh OPEC+.
Brent naik 5 sen menjadi US$75,89 per barel, sementara minyak mentah AS stabil di US$71,23 di pasar Asia.
Sebelumnya, harga minyak mentah merosot 3,9% minggu lalu ke posisi terendah lima bulan di tengah keraguan bahwa semua anggota OPEC+ akan tetap melakukan pengurangan pasokan.
Baca Juga: Harga Minyak Mentah Rebound Didukung Data AS
Pasar juga akan mengamati hasil pertemuan puncak iklim COP28, yang berupaya mencapai kesepakatan pertama untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil di dunia.
Namun, harga minyak mentah rebound lebih dari 2% pada Sabtu (9/12) setelah data AS mendukung ekspektasi permintaan.
Kenaikan kembali setelah terus melemah selama enam sesi, dinilai Phil Flynn, analis di Price Futures Group, sebagai penanda pasar telah menemukan pijakan.
Data Departemen Tenaga Kerja AS yang dirilis menunjukkan pertumbuhan lapangan kerja yang lebih kuat dari perkiraan. Penguatan pasar tenaga kerja dinilai mendukung permintaan bahan bakar di pasar minyak terbesar di dunia.
Senada, Rob Haworth, direktur strategi investasi senior di A.S. Bank Asset Pengelolaan menyebut laporan tenaga kerja yang kuat membuat laporan Administrasi Informasi Energi (EIA) menjadi tidak terlalu mengkhawatirkan.
EIA pada Rabu melaporkan permintaan bensin AS minggu lalu tertinggal dari rata-rata musiman 10 tahun sebesar 2,5% dan stok bensin naik 5,4 juta barel, lebih dari lima kali lipat perkiraan yang menyebabkan harga bensin anjlok.
Baca Juga: Produksi Minyak Global Melimpah, ICP November Turun Jadi US$79,63
Terkait cadangan minyak strategis, Departemen Energi AS pada Jumat (8/9) mengumumkan akan membeli hingga 3 juta barel minyak mentah untuk Cadangan Minyak Strategis (SPR) untuk pengiriman pada bulan Maret 2024. AS memanfaatkan harga yang lebih rendah untuk mulai mengisi kembali persediaan tersebut.
Pemerintahan Presiden Joe Biden tahun lalu melakukan penjualan SPR sebesar 180 juta barel, terbesar hingga saat ini. Langkah ini untuk membatasi kenaikan harga minyak setelah perang Rusia melawan Ukraina dimulai pada Februari 2022.