21 Juni 2025
18:00 WIB
Gelar Pendidikan Bergengsi Tak Jamin Nasib Pasti
Gap antara sistem pendidikan dan kebutuhan pasar tenaga kerja menjadi alarm yang tidak bisa diabaikan. Gelar pendidikan bergengsi ternyata tak cukup.
Penulis: Fitriana Monica Sari, Siti Nur Arifa, Erlinda Puspita
Editor: Rikando Somba, Novelia,
Petugas mengecek kelengkapan berkas pencari kerja saat bursa kerja di Kota Tangerang, Banten, Rabu (23/4/2025). Antara Foto/Putra M. Akbar
JAKARTA – Pendidikan tinggi masih jadi harapan masyarakat Indonesia sebagai bekal menaklukan dunia kerja. Terutama untuk mendapatkan pekerjaan kantoran dengan penampilan rapi, jam kerja nine to five, dan gaji di atas UMR (upah minimum regional).
Sayangnya, harapan itu tak lagi mudah terwujud. Alih-alih mudah mendapatkan pekerjaan kerah putih, banyak yang harus berjibaku mengirim hingga puluhan lamaran dengan hasil nihil.
Tak jarang, lulusan pendidikan tinggi seperti diploma dan sarjana terpaksa banting setir menjadi pembantu rumah tangga, pengasuh anak (baby sitter), hingga cleaning service. Bahkan ada lulusan S2 terpaksa bekerja menjadi pengemudi ojel daring. Ya, ini kenyataan. Semua ini dilakukan demi menyambung hidup dan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Salah satunya dirasakan oleh Dirga Masri Trianggono (30 tahun). Lulusan Sarjana Ekonomi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka) ini banting setir menjadi cleaning service di Internasional Service System (ISS).
Dirga mengakui sulitnya untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan lulusan saat ini. Dia pernah coba melamar beberapa pekerjaan di Job Fair, namun tak ada satu pun panggilan datang.
"Saya dari lulus kuliah di September 2018 sampai saya kerja jadi cleaning di Maret 2019, cuma apply engak lebih dari 10 lamaran di Job Fair, memang semua itu enggak ada panggilan satu pun," cerita Dirga kepada Validnews, Sabtu (21/6).
Akhirnya, dengan memegang prinsip yang diajarkan orang tua bahwa pendidikan itu bagian dari ibadah, sedangkan pekerjaan bagian dari rezeki, dia menekan egonya. Dirga memutuskan tidak terlalu pilih-pilih dalam mencari pekerjaan. Asalkan, upahnya sesuai atau minimal UMR, pekerjaan yang halal akan diembat.
"Jadi, jangan pernah berpikir saya sudah sekolah tinggi tinggi, tapi kenapa susah dapet kerja yang sesuai atau sulit dapat kerja. Ya mungkin, memang rezeki kita ya pekerjan yang kita dapat itu sekarang," pesan dia.
Secara makro, kondisi tenaga kerja sepanjang tahun 2025 terus mengalami tekanan. Ketidakpastian situasi ekonomi makro global turut menekan kondisi domestik. Hal ini berpengaruh pada situasi wait and see kalangan dunia usaha untuk meneruskan operasional bisnis, bahkan tidak sedikit mengalami tekanan keberlanjutan usaha.
Alhasil, kondisi tenaga kerja nasional sepanjang tahun 2025 terus mengalami tekanan pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun keterbatasan dalam pembukaan lapangan kerja baru.
Namun, jika dilihat dalam periode lima tahun terakhir pasca-covid 19 dalam data Badan Pusat Statistik (BPS), memang kondisi ketenagakerjaan menunjukan tingkat resiliensi yang baik dengan penurunan jumlah pengangguran. Tepatnya dari sekitar 9,7 juta jumlah pengangguran menjadi hampir 7,2 juta jumlah pengangguran.
Tercatat, per Februari 2025, angkatan kerja di Indonesia mencapai 153,05 juta pekerja. Jumlah ini terdiri dari 145,77 juta penduduk bekerja dan 7,28 juta pengangguran.
Selain itu, Tingkat Penggangguran Terbuka (TPT) juga terus menurun pada 2025, di mana menjadi 4,76%, turun 0,06% poin dibanding Februari 2024 yang sebesar 4,82%.
Kendati demikian, persentase penduduk bekerja menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan justru masih didominasi SD ke bawah sebesar 35,89%. Kemudian baru diikuti lulusan SMA sebesar 20,63%, SMP 17,81%, dan SMK 12,84%.
Di sisi lain, pendidikan tinggi seperti diploma dan sarjana belum dapat menyerap banyak tenaga kerja, di mana Diploma I/II/III hanya sebesar 2,39%, sedangkan Diploma IV, S1, S2, S3 sebesar 10,44%.
Adapun, sektor usaha dengan pekerja terbanyak per Februari 2025, antara lain Pertanian, Kehutanan, Perikanan (28,54%); Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor sebesar (19,26%); dan Industri Pengolahan (13,45%).
Adanya Ketimpangan
Lantas, apakah latar belakang pendidikan masih mempengaruhi dalam mencari kerja? Head of PR and Social Indonesia Jobstreet by SEEK Adham Somantrie mengatakan latar belakang pendidikan masih berpengaruh dalam proses rekrutmen, namun dengan konteks yang lebih beragam tergantung situasi dan posisi yang dilamar.
"Untuk pekerja yang sudah berpengalaman, kemampuan dan track record pengalaman kerja menjadi faktor yang lebih penting dibandingkan latar belakang pendidikan. Perusahaan lebih fokus pada apa yang sudah pernah dicapai dan skill praktis yang dimiliki kandidat," jelas Adham kepada Validnews, Rabu (18/6).
Namun untuk fresh graduate yang belum memiliki pengalaman kerja, latar belakang pendidikan masih menjadi pertimbangan penting . Ini akan menjadi indikator kemampuan akademis dan fondasi pengetahuan yang dimiliki.
Akan tetapi latar belakang pendidikan saja juga tidak mencukupi.
Menurut Adham, selain latar belakang pendidikan formal dan pengalaman kerja, sertifikasi tambahan seperti kursus online, training profesional, atau bootcamp yang relevan dengan posisi yang dilamar juga semakin menjadi pertimbangan penting bagi rekruter.
"Sertifikasi ini menunjukkan inisiatif kandidat untuk terus belajar dan mengembangkan diri," tegas dia.
Sementara itu, pengecualian berlaku untuk profesi-profesi tertentu yang memang membutuhkan sertifikasi profesi khusus seperti dokter, pengacara, arsitek, akuntan, dan profesi yang diregulasi lainnya. Untuk posisi-posisi ini, latar belakang pendidikan yang sesuai dan sertifikasi profesi menjadi syarat mutlak yang tidak bisa diabaikan karena berkaitan dengan regulasi dan standar profesi yang ketat.
Melengkapi, kepada Validnews, Kamis (19/6), Ketua ALFI Institute Yukki Nugrahawan Hanafi menilai latar belakang pendidikan juga masih menjadi kunci. Saat ini dunia usaha masih berhadapan dengan produktivitas sumber daya manusia (SDM) nasional yang rendah.
Bahkan, tingkat produktivitas SDM Indonesia menjadi salah satu yang rendah di ASEAN jika dibandingkan dengan negara dengan industri yang kuat di kawasan, seperti Singapura, Malaysia, Thailand.
Menurut data ILO, di tingkat global, produktivitas Indonesia masih berada pada peringkat 111 dunia, lebih rendah dibandingkan Singapura (10), Brunei Darussalam (34), Malaysia (67), dan Thailand (107).
Tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia tergolong minim, karena sebagian besar masih berketerampilan rendah dan sebaran tenaga kerja masih tidak merata, khususnya di wilayah Indonesia Timur.
"Saya melihat terdapat korelasi antara kualitas pendidikan dengan tingkat produktivitas maupun kualitas SDM Indonesia," kata Yukki.
Dari skor PISA pada pendidikan menengah, Indonesia masih berada di bawah rata-rata OECD, bahkan di bawah rata-rata Malaysia, Thailand, dan Singapura.
Perbandingan pada tingkat partisipasi perguruan tinggi Indonesia juga baru mencapai angka 43%, di mana hal ini masih di bawah Singapura 97% dan Thailand 49%.
"Kedua fakta ukuran pendidikan ini menjadi salah satu hambatan ketersediaan tenaga kerja terampil. Bagi dunia usaha dan pelaku usaha nasional serta global, ketersediaan tenaga kerja terampil memengaruhi pertimbangan dalam menentukan lokasi ekspansi usaha di kawasan," terang dia.
Kualifikasi Tak Memadai
Center of Economic and Law Studies (Celios) pun turut menyoroti hal ini sebagai alarm yang tak dapat diabaikan. Gap antara sistem pendidikan dan kebutuhan pasar tenaga kerja ini ibarat menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung usai.
Direktur Kebijakan Publik CELIOS Media Wahyudi mengatakan, ada banyak faktor yang membuat tenaga kerja Indonesia underqualified. Menurutnya, yang paling signifikan adalah kurikulum pendidikan di Indonesia yang tidak adaptif, terutama di level tingkat vokasi atau universitas. Sehingga, lulusan-lulusan pendidikan tinggi di Indonesia tidak siap kerja. Selain itu, skill yang dimiliki juga tidak relevan dengan kebutuhan industri.
Adapun saat ini, terjadi surplus tenaga kerja, sehingga ada jutaan pelamar dan pada saat yang bersamaan perusahaan makin mengalami kesulitan karena populasi penganggurannya sangat besar.
"Perusahaan pasti akan sangat kesulitan menemukan calon karyawan yang secara 100% qualified dengan kebutuhan mereka. Kadang meskipun sudah dilakukan rekrutmen, ibarat mancing ikan, untuk mendapat ikan yang benar-benar berkualitas itu kan tidak gampang, di tengah banyaknya tenaga kerja dengan skill dan kemampuan yang tidak relevan," ungkapnya kepada Validnews, Kamis (19/6).
Di sisi lain, pencari kerja mengeluh bahwa mereka sudah kuliah, tapi malah susah mencari kerja. Hal ini salah satunya disebabkan karena skill yang dibutuhkan oleh perusahaan tidak diajarkan secara formal.
Dia memberikan contoh, bahasa mandarin atau kemampuan menggunakan software tertentu tidak diajarkan di level kampus, sehingga terjadi miss match.
Direktur CELIOS Nailul Huda mengamini masalah yang terjadi di tenaga kerja Indonesia, salah satunya adalah dari sisi fit and match-nya.
"Jadi dari sisi perusahaan yang dibutuhkan apa, tapi pelamar kerja itu tidak sesuai. Salah satu yang terjadi ketika kita bicara di industri kadang tidak match dengan pendidikan yang ada di sana," kata Huda kepada Validnews, Kamis (19/6).
Huda memberikan contoh, ketika industri ataupun kawasan industri di suatu tempat membutuhkan banyak tenaga kerja untuk kimia terapan, tapi yang disediakan oleh pendidikan di tempat itu lebih banyak akuntansi, ekonomi, dan sebagainya. Maka hal ini akan menimbulkan masalah.
"Ini yang kita lihat di beberapa daerah seperti itu, karena akurasi, dari pendidikannya tidak melakukan assessment ataupun melakukan diskusi dengan industri di situ. Apa sih kebutuhannya, apa sih yang dibutuhkan," jelas dia.
Huda mengatakan bahwa kerap kali banyak ditemui sekolah baik SMA/SMK maupun vokasi yang dibangun tanpa mengerti kebutuhan industri dan tidak adanya koordinasi spesifik antara industri dan sektor pendidikan untuk mengisi kebutuhan. Dengan demikian, hal ini memang menjadi salah satu loophole pendidikan di Indonesia yang belum bisa menyesuaikan antara kebutuhan dunia usaha dan suplai dari dunia kerja.
Hal ini utamanya banyak terjadi di daerah-daerah yang memang fokusnya ke industri-industri yang spesialis, seperti kertas, industri kimia, dan sebagainya.
Huda berharap banyak pada sistem pendidikan yang pengajar berupa profesionalnya berasal dari industri. Lantaran, mereka dinilai mampu memberikan ilmu bagi murid-murid sesuai di lapangan.
Jobstreet by SEEK mengungkapkan, tenaga kerja di Indonesia yang masih underqualified disebabkan beberapa hal. Pertama, terdapat ketidaksesuaian antara skill yang ditawarkan kandidat dengan kebutuhan aktual perusahaan.
"Masalah ini berkaitan erat dengan lemahnya link and match antara dunia industri dan sektor pendidikan atau akademis. Kurikulum pendidikan seringkali belum mengikuti perkembangan kebutuhan industri yang dinamis," beber Adham.
Kedua, lanjut dia, rendahnya soft skill terutama kemampuan komunikasi menjadi tantangan serius. Banyak kandidat yang memiliki hard skill memadai namun kesulitan dalam berkomunikasi efektif, presentasi, atau berkolaborasi dalam tim. Padahal, dunia kerja modern sangat membutuhkan keseimbangan antara hard skill dan soft skill.
Ketiga, adanya kebutuhan mendesak industri terhadap skill teknologi digital yang tidak terbatas hanya di sektor teknologi. Hampir semua sektor kini membutuhkan literasi digital dasar, mulai dari retail, manufaktur, hingga layanan publik. Sayangnya, tingkat literasi digital tenaga kerja Indonesia masih relatif rendah.
Keempat, keterbatasan akses terhadap pendidikan dan pelatihan skill yang berkualitas, terutama bagi masyarakat di daerah. Hal ini diperparah oleh fakta bahwa berdasarkan data BPS, lebih dari 50% tenaga kerja Indonesia masih berpendidikan SMP ke bawah, yang tentunya mempengaruhi kemampuan adaptasi terhadap perkembangan teknologi dan tuntutan industri modern.
"Tantangan-tantangan ini memerlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan pemerintah, dunia pendidikan, dan industri untuk menciptakan ekosistem pengembangan SDM yang lebih efektif," tegas dia.
Pencari kerja melintasi spanduk bergambar barcode lowongan kerja luar negeri saat bursa kerja di Gedung Juang, Kota Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (29/8/2024). Antara Foto/Henry Purba
Skill yang Dibutuhkan
Kendati demikian, Adham menyebutkan, Laporan Eksklusif Jobstreet by SEEK: “Laporan Rekrutmen, Kompensasi, dan Tunjangan 2025” menunjukkan indikasi positif pada pasar kerja di Indonesia.
"Terlepas dari kondisi ketidakpastian global dan pasca-pemilu Indonesia pada tahun 2024, pasar kerja tetap kuat dengan 75% responden survei kami yang menganggap rekrutmen tetap aktif. Lapangan kerja tumbuh sebesar 4,7 juta pada tahun 2024, dan 94% perusahaan telah merekrut pegawai," kata Adham.
Menurutnya, harapan untuk tahun 2025 tetap tinggi, dengan 36% perusahaan memprediksi peningkatan aktivitas pasar kerja di awal tahun dan 49% memperkirakan situasi akan tetap stabil.
Sebanyak 44% perusahaan berencana menambah jumlah pegawai untuk mendukung pertumbuhan dan keterampilan baru, sementara 51% berniat mempertahankan jumlah pegawai yang ada.
Rekrutmen pegawai sementara diperkirakan akan meningkat, terutama di kalangan perusahaan kecil dan besar, meskipun beberapa perusahaan menengah dan besar mungkin mengurangi posisi fleksibel untuk menghemat biaya dan melakukan restrukturisasi.
Untuk itu, Adham menyebutkan beberapa skill yang diperlukan bagi para pencari kerja agar dapat segera diterima bekerja. Ia menuturkan, skill dasar yang sangat diperlukan saat ini meliputi literasi digital, kemampuan analisa data dasar, dan adaptabilitas terhadap teknologi baru.
Untuk soft skills, yang paling dibutuhkan adalah komunikasi efektif, kolaborasi tim, critical thinking, dan kemampuan belajar mandiri. Skill ini penting karena dunia kerja semakin dinamis dan membutuhkan pekerja yang bisa beradaptasi dengan cepat.
Kemudian, merujuk pada Laporan Eksklusif Jobstreet by SEEK: “Laporan Rekrutmen, Kompensasi, dan Tunjangan 2025”, salah satu skill yang mulai banyak diperhatikan oleh rekruter dan Perusahaan adalah kemampuan untuk menggunakan AI tools.
"Sebanyak 71% perusahaan kini mempertimbangkan pengetahuan AI kandidat saat melakukan rekrutmen. Namun, sebagian besar dari mereka melihat hal ini sebagai ‘nilai tambah’ atas kualifikasi utama kandidat, bukan sebagai persyaratan utama. Perusahaan-perusahaan ini umumnya menilai pengetahuan AI melalui perkenalan diri kandidat, pertanyaan teknis, atau dengan menilai proyek atau contoh karya yang ada di portofolio kandidat," jelasnya.
Selain beberapa skill yang telah disebutkan, Adham mengatakan saat ini terdapat tren peningkatan kebutuhan multi skill, namun ini lebih akurat disebut sebagai "versatility" atau kemampuan beradaptasi.
"Perusahaan mencari kandidat yang tidak hanya ahli di bidangnya, tapi juga mampu berkolaborasi lintas fungsi. Hal ini bukan berarti seseorang harus menguasai semua hal, melainkan memiliki pemahaman dasar yang cukup untuk berkomunikasi dengan berbagai departemen," terang dia.
Huda menambahkan, skill atau kemampuan dalam dunia kerja tidak bisa dipukul rata untuk semua pekerjaan, karena bidangnya berbeda.
"Sekarang kan pandangannya kebutuhan dasar adalah excel dan lain sebagainya. Padahal kan di lapangan misal dia bekerja teknik ngelas besi, industri otomotif, enggak mungkin juga orang bengkel disuruh bikin excel," ungkapnya.
Huda tak menampik bahwa di dunia kerja dan secara profesional, multitasking dibutuhkan. Asalkan, selama masih berhubungan dengan lingkup kerjanya.
Pencari kerja antre memasuki gedung pada bursa kerja di Grand Lodakara Hall, Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/6/2024). Antara Foto/Raisan Al Farisi
Peran Pemerintah dan Dunia Pendidikan
Ketua ALFI Institute Yukki menyampaikan dunia usaha nasional mendorong agar pemerintah dapat berbenah dalam menyediakan tenaga kerja terampil yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan industri nasional.
“Tingkat produktivitas dan peningkatan kualitas menjadi prasyarat agar geliat industri dan kesempatan usaha dapat diambil oleh pelaku usaha nasional dan investor global yang ingin melakukan ekspansi pasar di Indonesia,” ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, dunia usaha juga berharap agar serapan tenaga kerja semakin tinggi. Untuk itu, pemerintah juga perlu memberi perhatian pada industri padat karya atau manufaktur yang kontribusinya per PDB semakin menurun dalam 10 tahun terakhir, yaitu dari 20,99% pada tahun 2014 menjadi 18% pada 2024 lalu.
“Dengan fokus pada upaya memperkuat menarik investasi masuk pada sektor padat karya, dunia usaha juga berharap pemerintah membenahi iklim usaha dan investasi” ungkap Yukki.
Melihat proyeksi dengan perkembangan industri baru dari sisi teknologi AI dan energi hijau, dunia usaha nasional berharap bahwa kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, akademisi atau universitas, serta organisasi publik non-pemerintah bisa mendukung ketersediaan tenaga kerja yang bersifat future-ready dalam menangkap peluang pada industri baru tersebut.
Hal ini juga sesuai dengan proyek WEF pada tahun 2023 lalu yang menempatkan kemampuan AI dan Big Data, serta Creative and Analyticial Thinking sebagai salah satu prasyarat wajib yang perlu menjadi fokus reskilling tenaga kerja.
Di sisi lain, Jobstreet by SEEK mengaku mengapresiasi berbagai inisiatif pemerintah dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja Indonesia, seperti program Kartu Prakerja dan berbagai upaya digitalisasi.
Kendati demikian, sebagai bagian dari ekosistem ketenagakerjaan, Jobstreet by SEEK ingin berbagi beberapa observasi yang mungkin dapat menjadi masukan konstruktif. Pertama, peningkatan kecocokan link and match antara industri dan dunia pendidikan melalui beberapa pendekatan.
“Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong penyesuaian kurikulum pendidikan agar lebih selaras dengan kebutuhan industri terkini, serta memfasilitasi program kerjasama yang lebih intensif antara sektor pendidikan dan industri. Program seperti magang, guest lecture dari praktisi industri, dan project-based learning dengan perusahaan dapat menjadi jembatan efektif untuk mempersiapkan lulusan yang siap kerja,” kata Adham.
Kedua, kebijakan pemerintah yang semakin memudahkan perusahaan dalam berbisnis dan membuka lapangan pekerjaan yang luas akan sangat berdampak positif. Simplifikasi regulasi, kemudahan perizinan, dan iklim investasi yang kondusif tidak hanya akan menarik lebih banyak investor, tetapi juga mendorong pertumbuhan sektor UMKM yang merupakan penyerap tenaga kerja terbesar. Ketika ekosistem bisnis berkembang dengan baik, secara otomatis akan tercipta lebih banyak peluang kerja di berbagai tingkatan skill.
Penyedia laman lowongan sekaligus head hunter ini optimistis dengan pendekatan yang tepat dalam kedua aspek ini, Indonesia dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sambil menciptakan lapangan kerja berkualitas yang dapat menyerap tenaga kerja dengan berbagai tingkat kualifikasi.
CELIOS menambahkan, pentingnya sekarang itu kolaborasi triple-helix. Artinya, kolaborasi dunia usaha, dunia pendidikan, dan juga pemerinta untuk mencari model/talent/pipe-line yang adaptif.
"Ini harus dilakukan segera, karena kalau tidak dampaknya pasti jangka panjang, angka pengangguran terdidik makin banyak produktivitas kita juga akan semakin turun, termasuk juga daya saing kita akan semakin melemah karena talenta yang dimiliki tidak high qualified," pungkas Media.